VIVAnews
- Indonesia ke depan menghadapi tantangan yang cukup berat, pertama
turbulensi ekonomi dunia yang berkepanjangan belum menunjukkan
tanda-tanda akan berakhir, sangat mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi
Indonesia, kedua kondisi ini berdampak secara cepat pada sektor
perdagangan luar negeri, permintaan akan barang dan jasa dari Indonesia
juga mengalami penurunan signifikan, ketiga membanjirnya produk-produk
impor di pasar dalam negeri sebagai konsekuensi liberalisasi perdagangan
dunia.
Arus liberalisasi perdagangan dunia tersebut pada hampir semua komoditi telah membuat posisi perdagangan internasional kita semakin tertekan. Kinerja perdagangan Indonesia dengan beberapa negara mitra utama telah menunjukkan defisit yang cukup tinggi, di antaranya dengan Australia, China, Jepang dan Korea Selatan. Sedangkan perdagangan dengan ASEAN, kita mengalami defisit dengan Singapura, Malaysia, Thailand dan bahkan Vietnam (data terlampir).
Dari sisi jenis produk, daya saing produk-produk industri barang modal dan barang konsumsi Indonesia masih relatif lebih rendah. Ini ditandai dengan neraca defisit pada kedua jenis produk industri tersebut dengan negara-negara mitra utama. Satu-satunya komoditi dengan neraca positip/surplus adalah bahan baku, yang hanya memberikan nilai tambah yang relatif rendah dibandingkan dengan eskpor produk industri.
Instrumen Tarif bea masuk untuk membendung laju pertumbuhan impor praktis sudah tidak dapat digunakan lagi. Tarif rata-rata MFN (Most Favoured Nation) Indonesia sudah sangat rendah, bahkan dibandingkan dengan negara maju sekalipun, yakni rata-rata dikisaran 6,8 persen. Walaupun sudah demikian rendahnya, Indonesia masih terus diminta untuk menurunkan tarif lebih rendah lagi melalui forum bilateral, regional, dan plurilateral. Sementara itu defisit perdagangan produk industri dalam 5 (lima) tahun terakhir semakin melebar, terutama untuk barang modal termasuk produk komponen/penunjang.
Dengan tarif rata-rata MFN seperti ini, Indonesia dapat dikatakan lebih liberal dari pada negara-negara dengan kekuatan ekonomi yang hampir sama atau lebih besar, seperti negara Cina tarif MFN 9,1 persen, Brazil 13,7 persen, India 13 persen dan Korea 12,1 persen. Dengan tarif MFN yang demikian rendah ini, Indonesia dengan potensi pasar domestiknya merupakan tujuan ekspor yang menarik bagi negara lain. Dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 6,31 persen sejak tahun 2010 – 2012 paska krisis global pada tahun 2009, dan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,02 persen pada Triwulan 1 tahun 2013 menjadikan Indonesia sebagai Captive Market yang menarik bagi negara mitra dagang.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka untuk melindungi pasar dalam negeri dari serangan impor maka diperlukan SMART Regulations berupa kebijakan teknis NTMs (Non Tariff Measures) dan instrumen kebijakan lainnya. Klasifikasi langkah-langkah Non- Tariff adalah :
1. Technical measures : penerapan Sanitary and Phytosanitary (SPS) misalnya untuk produk pangan, Technical Barrier to Trade misalnya melalui penerapan Standar;
2. Non-Technical Measures : misalnya melalui penerapan
• Pre-shipment inspection and other formalities
• Price control measures
• Licences, Quotas, Prohibitions
• Charges, taxes and other para-tariff measures
• Finance measures
• Anti Competitive measures
• Trade related investment measures
• Distribution restrictions
• Restrictions om Post-sales services
• Subsidies (excluding export subsidies)
• Government procurement restrictions (penggunaan produksi dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa pemerintah)
• Intellectual property
• Rules of Origin
3. Export measures : penerapan pemberian insentip ekspor termasuk memberikan subsidi ekspor)
Penerapan instrumen-instrumen untuk mengamankan pasar dalam negeri dari serbuan barang-barang impor perlu dilakukan koordinasi lintas sektoral dan harus dikawal agar dapat dilaksanakan secara konsekwen dan konsisten tanpa dipengaruhi oleh tekanan-tekanan negara mitra dagang serta menghindari praktek-praktek penyeludupan (smuggling).
Disamping itu penerapan instrumen kebijakan tersebut harus didampingi dengan kebijakan-kebijakan jangka menengah dan panjang, yang bersifat sektoral seperti kebijakan pengembangan komoditas pertanian, perkebunan dan kehutanan; minyak dan gas serta Minerba, mendorong hilirisasi industri mengolah bahan baku menjadi barang setengah jadi dan barang jadi untuk mendapatkan nilai tambah yang lebih tinggi sehingga memperkuat struktur industri di dalam negeri.
Arus liberalisasi perdagangan dunia tersebut pada hampir semua komoditi telah membuat posisi perdagangan internasional kita semakin tertekan. Kinerja perdagangan Indonesia dengan beberapa negara mitra utama telah menunjukkan defisit yang cukup tinggi, di antaranya dengan Australia, China, Jepang dan Korea Selatan. Sedangkan perdagangan dengan ASEAN, kita mengalami defisit dengan Singapura, Malaysia, Thailand dan bahkan Vietnam (data terlampir).
Dari sisi jenis produk, daya saing produk-produk industri barang modal dan barang konsumsi Indonesia masih relatif lebih rendah. Ini ditandai dengan neraca defisit pada kedua jenis produk industri tersebut dengan negara-negara mitra utama. Satu-satunya komoditi dengan neraca positip/surplus adalah bahan baku, yang hanya memberikan nilai tambah yang relatif rendah dibandingkan dengan eskpor produk industri.
Instrumen Tarif bea masuk untuk membendung laju pertumbuhan impor praktis sudah tidak dapat digunakan lagi. Tarif rata-rata MFN (Most Favoured Nation) Indonesia sudah sangat rendah, bahkan dibandingkan dengan negara maju sekalipun, yakni rata-rata dikisaran 6,8 persen. Walaupun sudah demikian rendahnya, Indonesia masih terus diminta untuk menurunkan tarif lebih rendah lagi melalui forum bilateral, regional, dan plurilateral. Sementara itu defisit perdagangan produk industri dalam 5 (lima) tahun terakhir semakin melebar, terutama untuk barang modal termasuk produk komponen/penunjang.
Dengan tarif rata-rata MFN seperti ini, Indonesia dapat dikatakan lebih liberal dari pada negara-negara dengan kekuatan ekonomi yang hampir sama atau lebih besar, seperti negara Cina tarif MFN 9,1 persen, Brazil 13,7 persen, India 13 persen dan Korea 12,1 persen. Dengan tarif MFN yang demikian rendah ini, Indonesia dengan potensi pasar domestiknya merupakan tujuan ekspor yang menarik bagi negara lain. Dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 6,31 persen sejak tahun 2010 – 2012 paska krisis global pada tahun 2009, dan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,02 persen pada Triwulan 1 tahun 2013 menjadikan Indonesia sebagai Captive Market yang menarik bagi negara mitra dagang.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka untuk melindungi pasar dalam negeri dari serangan impor maka diperlukan SMART Regulations berupa kebijakan teknis NTMs (Non Tariff Measures) dan instrumen kebijakan lainnya. Klasifikasi langkah-langkah Non- Tariff adalah :
1. Technical measures : penerapan Sanitary and Phytosanitary (SPS) misalnya untuk produk pangan, Technical Barrier to Trade misalnya melalui penerapan Standar;
2. Non-Technical Measures : misalnya melalui penerapan
• Pre-shipment inspection and other formalities
• Price control measures
• Licences, Quotas, Prohibitions
• Charges, taxes and other para-tariff measures
• Finance measures
• Anti Competitive measures
• Trade related investment measures
• Distribution restrictions
• Restrictions om Post-sales services
• Subsidies (excluding export subsidies)
• Government procurement restrictions (penggunaan produksi dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa pemerintah)
• Intellectual property
• Rules of Origin
3. Export measures : penerapan pemberian insentip ekspor termasuk memberikan subsidi ekspor)
Penerapan instrumen-instrumen untuk mengamankan pasar dalam negeri dari serbuan barang-barang impor perlu dilakukan koordinasi lintas sektoral dan harus dikawal agar dapat dilaksanakan secara konsekwen dan konsisten tanpa dipengaruhi oleh tekanan-tekanan negara mitra dagang serta menghindari praktek-praktek penyeludupan (smuggling).
Disamping itu penerapan instrumen kebijakan tersebut harus didampingi dengan kebijakan-kebijakan jangka menengah dan panjang, yang bersifat sektoral seperti kebijakan pengembangan komoditas pertanian, perkebunan dan kehutanan; minyak dan gas serta Minerba, mendorong hilirisasi industri mengolah bahan baku menjadi barang setengah jadi dan barang jadi untuk mendapatkan nilai tambah yang lebih tinggi sehingga memperkuat struktur industri di dalam negeri.
Oleh karena langkah
pemerintah menghentikan ekspor bahan mentah sudah tepat, sehingga
industri dalam negeri akan dapat semakin berkembang dan memproduksi
produk yang berkualitas agar mampu bersaing di pasar dalam negeri maupun
global.
Langkah-langkah kebijakan di atas akan berhasil apabila Pemerintah, BUMN/BUMD, Swasta dan Masyarakat menyadari pentingnya menghargai produk dalam negeri karya anak bangsa. Apabila semua stakeholders menyadari hal ini maka produksi dalam negeri yang dibeli, dipakai dan bangga digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat, mampu menempatkan sebagai wahana membangun kemandirian ekonomi bangsa.
Langkah-langkah kebijakan di atas akan berhasil apabila Pemerintah, BUMN/BUMD, Swasta dan Masyarakat menyadari pentingnya menghargai produk dalam negeri karya anak bangsa. Apabila semua stakeholders menyadari hal ini maka produksi dalam negeri yang dibeli, dipakai dan bangga digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat, mampu menempatkan sebagai wahana membangun kemandirian ekonomi bangsa.
Kebijakan Peningkatan
Penggunaan Produksi Dalam Negeri (P3DN) yang dicanangkan Pemerintah
merupakan instrumen untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya nasional
dalam meningkatkan nilai tambah perekonomian di dalam negeri. Maka P3DN
harus melekat dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari kebijakan
industri, investasi dan perdagangan. P3DN dalam jangka panjangnya
mentransformasi kedalam kebijakan yang bersifat mensubstitusi impor,
bukan hanya diproduk hilirnya saja, tetapi juga diproduk hulu dan produk
antara.
Dengan demikian kebijakan P3DN dapat turut menjadi salah satu solusi mengurangi ketergantungan Indonesia dari impor baik itu berupa bahan baku/penolong, barang modal maupun komponen/suku cadang. Keberhasilan ini menjadi penting dan relevan dengan upaya untuk mencapai target amannya posisi neraca pembayaran, yang sekaligus dapat menghemat penggunaan devisa. (Webtorial)
Dengan demikian kebijakan P3DN dapat turut menjadi salah satu solusi mengurangi ketergantungan Indonesia dari impor baik itu berupa bahan baku/penolong, barang modal maupun komponen/suku cadang. Keberhasilan ini menjadi penting dan relevan dengan upaya untuk mencapai target amannya posisi neraca pembayaran, yang sekaligus dapat menghemat penggunaan devisa. (Webtorial)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar