BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Rabu, 02 Oktober 2013

Drama "Shutdown" Lumpuhkan Pemerintah AS

VIVAnews - Pemerintah Amerika Serikat tengah dipusingkan dengan tidak turunnya anggaran akibat tidak mufakatnya DPR dan Senat. Akibatnya, pemerintah kekurangan dana untuk membiayai operasional negara, membuat Paman Sam masuk dalam situasi shutdown, atau matinya layanan publik.
Drama shutdown ini dimulai pekan lalu saat pembahasan anggaran setahun ke depan di Kongres AS di Washington. Saat itu DPR yang dikuasai Republikan meluluskan anggaran pengeluaran, namun tidak menyertakan Affordable Care Act atau Undang-undang kesehatan yang digagas Barack Obama, yang tenar disebut Obamacare.
Republikan mengajukan dua amandemen, yaitu penundaan anggaran Obamacare selama setahun, dan pencabutan pajak perangkat medis Obamacare. Namun langkah ini harus terlebih dulu disetujui Senat, yang tentu saja menolak karena mendukung program presiden yang mereka usung.
Senat yang dikuasai Demokrat menolak proposal DPR yang menafikan Obamacare. Senat menginginkan Kongres meluluskan anggaran yang murni CR (continuing resolution), atau tanpa adanya perubahan program sama sekali.
Sejak Jumat hingga Senin, terjadi ping-pong proposal antara DPR dan Senat. Penolakan dibalas dengan penolakan. Para pemimpin partai Demokrat menegaskan bahwa mereka tidak akan goyah menghadapi taktik pemerasan yang dilakukan oleh Republikan. Menurut mereka, Republikan telah menyandera negara hanya dengan dasar ideologi penghematan ekstrem mereka, atau yang dikenal dengan kelompok Tea Party.
"Kami tidak akan tunduk pada para anarkis Tea Party," kata Ketua Senat, Harry Reid, dilansir Reuters.
Obamacare mengharuskan setiap warga negara memiliki asuransi kesehatan. Republikan yang digawangi  Senator Ted Cruz, mengajukan amandemen Obamacare dengan alasan skema ini merugikan pengusaha dan pemerintah federal. Beberapa Republikan juga mengeluhkan pajak tinggi yang dikenakan pada perangkat kesehatan, yang berujung hengkangnya pengusaha ke luar negeri.
Republikan berharap anggaran yang kian sedikit jumlahnya dapat digunakan dengan proporsional, tanpa memasukkan Obamacare yang dinilai merugikan. Republikan berharap, anggaran tahun ini bisa lebih dihemat lagi.
Anggaran tahun fiskal 2013 seyogyanya berjumlah US$1.043 triliun yang disetujui Kongres untuk jangka enam bulan. Namun karena penghematan otomatis atau sequester pada 1 Maret lalu, anggaran hanya tersisa US$988 miliar sampai akhir tahun ini.
Memasuki jatuh tempo penetapan anggaran, yaitu pukul 00.00 tanggal 1 Oktober 2013, kesepakatan belum juga diraih. AS akhirnya pada pukul 00.01 masuk ke tahap shutdown yang pertama kali sejak 17 tahun lalu. Pembiayaan tidak bisa dilakukan sehingga berbagai lembaga terpaksa ditutup sementara dan ratusan ribu PNS dirumahkan tanpa gaji.
Dirumahkannya hampir 1 juta PNS gaji harian tanpa dibayar adalah dampak terbesar dari shutdown. Sebanyak 1.265 PNS di antaranya bekerja di Gedung Putih, hanya 436 yang dipertahankan. Mereka yang tetap bekerja juga hanya mendapatkan tunjangan minimal.
PNS yang menganggur juga berasal dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA), Kementerian Kehakiman, kantor perdagangan dan Badan Perlindungan Lingkungan. Tidak terkecuali NASA yang terpaksa menghentikan operasi karena ketiadaan biaya.
Berbagai tempat tujuan pariwisata seperti Taman Nasional dan museum ditutup. Padahal, per harinya tempat-tempat ini bisa kedatangan 750.000 pengunjung. Diperkirakan kerugian bisa mencapai US$30 juta setiap harinya.
Sektor yang tidak berhenti beroperasi adalah pertahanan. Para tentara tetap akan bertugas, tapi sekitar 800.000 pegawai sipil terpaksa dirumahkan. Obama menjamin para tentara tetap akan mendapatkan gaji mereka tepat waktu.
Tentara ini digaji dua kali sebulan, setiap tanggal 1 dan 15 tiap bulannya. Diperkirakan gaji tanggal 15 akan tertunda jika shutdown masih berlangsung hingga 7 Oktober mendatang.
Selain merumahkan PNS, shutdown juga menyebabkan The Internal Revenue Service (IRS) atau dinas pajak AS tidak bisa bekerja. Seluruh audit pajak akan dihentikan karena ketiadaan sumber daya manusia.
Selain itu, kredit perumahan juga tidak akan beroperasi, membuat sektor perumahan negara itu yang tengah bangkit kembali terpuruk. Museum nasional, kebun binatang dan taman nasional juga akan ditutup. Hal ini akan berdampak pada pemasukan di sektor pariwisata. Belum lagi warga yang tidak dapat mengurus paspor dan visa mereka karena pelayanan mandek.
Pasalnya, proses paspor dan visa akan terhenti. Saat peristiwa ini terjadi tahun 1995-1996 lalu, 20.000-30.000 aplikasi visa tidak diproses, 200.000 warga AS yang ingin membuat paspor juga gigit jari.
Rugi Rp3,4 Triliun per Hari
Baik Republik dan Demokrat saling menyalahkan atas drama shutdown yang pertama sejak tahun 1995 ini. Hal ini akan berdampak pada pemilihan anggota kongres tahun depan, saat kedua kubu berlomba-lomba merebut suara.
Namun, berdasarkan survei yang digagas Reuters/Ipsos, sepertiga dari warga Amerika menyalahkan Republikan dalam hal ini, 14 persen menyalahkan Obama dan hanya 5 persen menyalahkan Demokrat.
Ini adalah shutdown yang dialami pemerintah AS ke-18 sejak tahun 1976. Shutdown terakhir terjadi pada kepemimpinan Bill Clinton pada Desember 1995-Januari 1996 selama 21 hari. Saat itu, Clinton berseteru dengan oposisi yang dipimpin Ketua DPR seorang Republikan New Gingrich terkait pemotongan anggaran.
Saat itu selama tiga minggu, 800.000 PNS dirumahkan, 368 taman nasional tutup, paspor tidak dikeluarkan, Biro Hubungan AS-India ditutup, layanan veteran mati. Kerugian total mencapai US$1,5 miliar atau lebih dari Rp17,3 triliun. Jika dihitung dengan kurs sekarang, setara US$2,1 miliar.
Menurut perusahaan konsultan IHS Inc, shutdown bisa merugikan AS hingga sedikitnya US$300 juta per hari atau lebih dari Rp3,4 triliun. Jumlah ini memang jauh jika dibandingkan ekonomi AS senilai US$15,7 triliun, tapi jika dibiarkan, maka kepercayaan pengusaha dan konsumen akan merosot, membuat dampaknya semakin melebar.
IHS memperkirakan, akibat shutdown, pertumbuhan AS sebesar 2,2 persen per tahun akan berkurang 0,2 persen jika shutdown terjadi selama sepekan. Namun, jika seperti yang terjadi 1996 lalu, yaitu 21 hari, pengurangan bisa mencapai 0,9 atau 1,4 persen.
Goldman Sachs memperkirakan, jika shutdown terjadi tiga minggu, maka dampaknya akan mengurangi GDP AS sebanyak 0,9 persen.
Tak Pengaruhi Pasar Asia
Kendati menimbulkan kehebohan di pasar saham AS, namun dampak serupa tidak terjadi di Indonesia. Indeks harga saham gabungan (IHSG) malah menguat. Pada pukul 14.15 WIB, Selasa 1 Oktober 2013, IHSG naik dan mencapai level tertinggi 4.379,68.
Di Tokyo, indeks saham utama Nikkei dibuka menguat 0,4 persen. Indeks saham patokan Asia Pasifik di luar Jepang, MSCI, bergerak mendatar. Aktivitas perdagangan regional diharapkan bergerak positif, karena bursa China dan Hong Kong tutup untuk memperingati Hari Libur Nasional.
Sementara itu, nilai tukar rupiah siang kemarin juga menguat. Rupiah berada di posisi Rp11.340 per dolar AS atau menguat 155 poin. Selasa pagi, berdasarkan data transaksi aktual antar bank, Bank Indonesia menetapkan kurs referensi dalam Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) di level Rp11.593 per dolar AS.
Kurs referensi itu menguat dibanding sehari sebelumnya di posisi Rp11.613 per dolar AS.
Pengamat saham dari Kiwoom Investment Management Indonesia, Ryan Ariadi Suwarno, mengatakan bahwa pasar saham cenderung dipengaruhi sentimen positif dalam negeri, yakni laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengumumkan terjadi deflasi sebesar 0,35 persen selama September 2013. 
"Itu kan masalah internal AS dan shutdown tidak akan berlangsung lama," kata dia kepada VIVAnews. (eh)

Tidak ada komentar: