VIVAnews -
Pemerintah Amerika Serikat tengah dipusingkan dengan tidak turunnya
anggaran akibat tidak mufakatnya DPR dan Senat. Akibatnya, pemerintah
kekurangan dana untuk membiayai operasional negara, membuat Paman Sam
masuk dalam situasi shutdown, atau matinya layanan publik.
Drama shutdown
ini dimulai pekan lalu saat pembahasan anggaran setahun ke depan di
Kongres AS di Washington. Saat itu DPR yang dikuasai Republikan
meluluskan anggaran pengeluaran, namun tidak menyertakan Affordable Care
Act atau Undang-undang kesehatan yang digagas Barack Obama, yang tenar
disebut Obamacare.
Republikan
mengajukan dua amandemen, yaitu penundaan anggaran Obamacare selama
setahun, dan pencabutan pajak perangkat medis Obamacare. Namun langkah
ini harus terlebih dulu disetujui Senat, yang tentu saja menolak karena
mendukung program presiden yang mereka usung.
Senat
yang dikuasai Demokrat menolak proposal DPR yang menafikan Obamacare.
Senat menginginkan Kongres meluluskan anggaran yang murni CR (continuing resolution), atau tanpa adanya perubahan program sama sekali.
Sejak
Jumat hingga Senin, terjadi ping-pong proposal antara DPR dan Senat.
Penolakan dibalas dengan penolakan. Para pemimpin partai Demokrat
menegaskan bahwa mereka tidak akan goyah menghadapi taktik pemerasan
yang dilakukan oleh Republikan. Menurut mereka, Republikan telah
menyandera negara hanya dengan dasar ideologi penghematan ekstrem
mereka, atau yang dikenal dengan kelompok Tea Party.
"Kami tidak akan tunduk pada para anarkis Tea Party," kata Ketua Senat, Harry Reid, dilansir Reuters.
Obamacare mengharuskan setiap warga negara memiliki asuransi kesehatan. Republikan yang digawangi Senator
Ted Cruz, mengajukan amandemen Obamacare dengan alasan skema ini
merugikan pengusaha dan pemerintah federal. Beberapa Republikan juga
mengeluhkan pajak tinggi yang dikenakan pada perangkat kesehatan, yang
berujung hengkangnya pengusaha ke luar negeri.
Republikan
berharap anggaran yang kian sedikit jumlahnya dapat digunakan dengan
proporsional, tanpa memasukkan Obamacare yang dinilai merugikan.
Republikan berharap, anggaran tahun ini bisa lebih dihemat lagi.
Anggaran
tahun fiskal 2013 seyogyanya berjumlah US$1.043 triliun yang disetujui
Kongres untuk jangka enam bulan. Namun karena penghematan otomatis atau sequester pada 1 Maret lalu, anggaran hanya tersisa US$988 miliar sampai akhir tahun ini.
Memasuki
jatuh tempo penetapan anggaran, yaitu pukul 00.00 tanggal 1 Oktober
2013, kesepakatan belum juga diraih. AS akhirnya pada pukul 00.01 masuk
ke tahap shutdown yang pertama kali sejak 17 tahun lalu.
Pembiayaan tidak bisa dilakukan sehingga berbagai lembaga terpaksa
ditutup sementara dan ratusan ribu PNS dirumahkan tanpa gaji.
Dirumahkannya hampir 1 juta PNS gaji harian tanpa dibayar adalah dampak terbesar dari shutdown.
Sebanyak 1.265 PNS di antaranya bekerja di Gedung Putih, hanya 436 yang
dipertahankan. Mereka yang tetap bekerja juga hanya mendapatkan
tunjangan minimal.
PNS
yang menganggur juga berasal dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA),
Kementerian Kehakiman, kantor perdagangan dan Badan Perlindungan
Lingkungan. Tidak terkecuali NASA yang terpaksa menghentikan operasi
karena ketiadaan biaya.
Berbagai tempat tujuan pariwisata
seperti Taman Nasional dan museum ditutup. Padahal, per harinya
tempat-tempat ini bisa kedatangan 750.000 pengunjung. Diperkirakan
kerugian bisa mencapai US$30 juta setiap harinya.
Sektor
yang tidak berhenti beroperasi adalah pertahanan. Para tentara tetap
akan bertugas, tapi sekitar 800.000 pegawai sipil terpaksa dirumahkan.
Obama menjamin para tentara tetap akan mendapatkan gaji mereka tepat
waktu.
Tentara ini digaji dua kali sebulan, setiap tanggal 1 dan 15 tiap bulannya. Diperkirakan gaji tanggal 15 akan tertunda jika shutdown masih berlangsung hingga 7 Oktober mendatang.
Selain merumahkan PNS, shutdown
juga menyebabkan The Internal Revenue Service (IRS) atau dinas pajak AS
tidak bisa bekerja. Seluruh audit pajak akan dihentikan karena
ketiadaan sumber daya manusia.
Selain
itu, kredit perumahan juga tidak akan beroperasi, membuat sektor
perumahan negara itu yang tengah bangkit kembali terpuruk. Museum
nasional, kebun binatang dan taman nasional juga akan ditutup. Hal ini
akan berdampak pada pemasukan di sektor pariwisata. Belum lagi warga yang tidak dapat mengurus paspor dan visa mereka karena pelayanan mandek.
Pasalnya,
proses paspor dan visa akan terhenti. Saat peristiwa ini terjadi tahun
1995-1996 lalu, 20.000-30.000 aplikasi visa tidak diproses, 200.000
warga AS yang ingin membuat paspor juga gigit jari.
Rugi Rp3,4 Triliun per Hari
Baik Republik dan Demokrat saling menyalahkan atas drama shutdown
yang pertama sejak tahun 1995 ini. Hal ini akan berdampak pada
pemilihan anggota kongres tahun depan, saat kedua kubu berlomba-lomba
merebut suara.
Namun, berdasarkan survei yang digagas Reuters/Ipsos,
sepertiga dari warga Amerika menyalahkan Republikan dalam hal ini, 14
persen menyalahkan Obama dan hanya 5 persen menyalahkan Demokrat.
Ini adalah shutdown yang dialami pemerintah AS ke-18 sejak tahun 1976. Shutdown
terakhir terjadi pada kepemimpinan Bill Clinton pada Desember
1995-Januari 1996 selama 21 hari. Saat itu, Clinton berseteru dengan
oposisi yang dipimpin Ketua DPR seorang Republikan New Gingrich terkait
pemotongan anggaran.
Saat
itu selama tiga minggu, 800.000 PNS dirumahkan, 368 taman nasional
tutup, paspor tidak dikeluarkan, Biro Hubungan AS-India ditutup, layanan
veteran mati. Kerugian total mencapai US$1,5 miliar atau lebih dari
Rp17,3 triliun. Jika dihitung dengan kurs sekarang, setara US$2,1
miliar.
Menurut perusahaan konsultan IHS Inc, shutdown
bisa merugikan AS hingga sedikitnya US$300 juta per hari atau lebih
dari Rp3,4 triliun. Jumlah ini memang jauh jika dibandingkan ekonomi AS
senilai US$15,7 triliun, tapi jika dibiarkan, maka kepercayaan pengusaha
dan konsumen akan merosot, membuat dampaknya semakin melebar.
IHS memperkirakan, akibat shutdown, pertumbuhan AS sebesar 2,2 persen per tahun akan berkurang 0,2 persen jika shutdown
terjadi selama sepekan. Namun, jika seperti yang terjadi 1996 lalu,
yaitu 21 hari, pengurangan bisa mencapai 0,9 atau 1,4 persen.
Goldman Sachs memperkirakan, jika shutdown terjadi tiga minggu, maka dampaknya akan mengurangi GDP AS sebanyak 0,9 persen.
Tak Pengaruhi Pasar Asia
Kendati
menimbulkan kehebohan di pasar saham AS, namun dampak serupa tidak
terjadi di Indonesia. Indeks harga saham gabungan (IHSG) malah menguat.
Pada pukul 14.15 WIB, Selasa 1 Oktober 2013, IHSG naik dan mencapai
level tertinggi 4.379,68.
Di
Tokyo, indeks saham utama Nikkei dibuka menguat 0,4 persen. Indeks saham
patokan Asia Pasifik di luar Jepang, MSCI, bergerak mendatar. Aktivitas
perdagangan regional diharapkan bergerak positif, karena bursa China
dan Hong Kong tutup untuk memperingati Hari Libur Nasional.
Sementara
itu, nilai tukar rupiah siang kemarin juga menguat. Rupiah berada di
posisi Rp11.340 per dolar AS atau menguat 155 poin. Selasa pagi,
berdasarkan data transaksi aktual antar bank, Bank Indonesia menetapkan
kurs referensi dalam Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) di
level Rp11.593 per dolar AS.
Kurs referensi itu menguat dibanding sehari sebelumnya di posisi Rp11.613 per dolar AS.
Pengamat
saham dari Kiwoom Investment Management Indonesia, Ryan Ariadi Suwarno,
mengatakan bahwa pasar saham cenderung dipengaruhi sentimen positif
dalam negeri, yakni laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengumumkan
terjadi deflasi sebesar 0,35 persen selama September 2013.
"Itu kan masalah internal AS dan shutdown tidak akan berlangsung lama," kata dia kepada VIVAnews. (eh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar