RMOL. Anak perusahaan PT Indosat, yakni PT Indosat Mega Media (IM-2) diduga beroperasi sebagai penyelenggara jaringan bergerak seluler tanpa izin pemerintah, sehingga negara diperkirakan mengalami kerugian sebesar Rp 3,8 triliun.
“PT IM-2 hanya memiliki izin sebagai internet service provider, bukan penyelenggara jaringan bergerak seluler,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung) Noor Rochmad, kemarin.
Seharusnya, menurut Noor, PT IM-2 membayar biaya-biaya yang diwajibkan kepada penyelenggara jaringan seluler sebagaimana ketentuan perundang-undangan, antara lain Pasal 33 Undang Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Peraturan Menteri Nomor 7 Tahun 2006.
Namun, kata dia, PT IM-2 dalam melaksanakan kegiatan tersebut tidak pernah membayar biaya up front fee dan badan hak penggunaan (BHP) frekuensi kepada pemerintah sebagaimana yang diwajibkan dalam undang-undang. “Ketentuan perundang-undangan menjelaskan bahwa mereka harus membayar kepada pemerintah sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak,” tandasnya.
Lantaran itulah, Kejaksaan Agung kemudian menetapkan bos PT IM-2 yang berinisial IA sebagai tersangka kasus pengunaan jaringan frekuensi 2,1 Ghz. Tersangka IA dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Penyidik kejaksaan menaksir, kerugian negara dalam perkara tersebut mencapai 3,8 triliun rupiah. Persisnya, Rp 3.834.009.736.400.00 (tiga triliun, delapan ratus tiga puluh empat miliar, sembilan juta tujuh ratus tiga puluh enam ribu, empat ratus rupiah).
Menurut Noor, kasus ini awalnya ditangani Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat, namun karena cakupan perkaranya tidak hanya di Jawa Barat, maka dibawa ke Kejaksaan Agung. Dari hasil penyelidikan di Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Agung dan setelah ekspose perkara, perkara tersebut kemudian dilanjutkan ke tingkat penyidikan.
Maka, lanjutnya, berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor PRINT-04/F.2/Fd.1/01/2012 tanggal 18 Januari 2012, tersangka IA selanjutnya diproses. Akan tetapi, belum ada penahanan. “Semua itu nantinya tergantung penyidik, apakah perlu ditahan atau tidak,” kata Noor.
Menurut Kapuspenkum Kejagung, PT IM-2 tidak pernah mengikuti seleksi pelelangan pita jaringan bergerak seluler IM2-2000 pada pita frekuensi 2,1 GHz. Akan tetapi, perusahaan itu menyelenggarakan jaringan tersebut melalui kerjasama yang dibuat antara PT IM-2 dengan Indosat Tbk. “PT IM-2 itu sebenarnya hanyalah anak perusahaan dari Indosat Tbk,” ujarnya.
Dalam bidang usahanya, jelas Noor, PT IM-2 hanyalah bergerak dalam layanan internet. “IM2 ini sebagai penyelenggara jasa telekomunikasi telah menyalahgunakan jaringan bergerak seluler frekuensi 3G. Mereka telah menggunakan jaringan 3G tanpa izin pemerintah,” katanya.
Ketika ditanya, apakah ada kemungkinan tersangka lain dalam kasus ini, Noor menyampaikan bahwa proses penyidikan masih berjalan dan tidak tertutup kemungkinan akan ada tersangka baru.
“Tergantung perkembangan hasil penyidikan. Kalau memang memenuhi kualifikasi tindak pidana korupsi dan didukung alat bukti yang cukup, tentu akan dimintai pertanggungjawban sebagai tersangka,” ujar Noor.
Menurut anggota Majelis Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Sandi Ebeneser Situngkir, semestinya kejaksaan sudah memiliki sejumlah bukti kuat untuk menjerat para pemain yang terlibat di dalam kasus ini, saat penetapan tersangka.
“Seharusnya mereka sudah yakin betul bahwa ada pihak-pihak lain yang juga harus dijadikan tersangka. Tapi, apakah mereka sengaja membuat peluang-peluang untuk bermain? SDM Kejagung itu cukup untuk mengusut sebuah perkara sampai tuntas,” tegasnya.
Lantaran itu, Sandi mengingatkan Kejaksaan Agung agar mengusut juga pihak Kementerian Komunikasi dan Informatika. Sebab, Kementerian Kominfo semestinya mengetahui adanya layanan 3G tanpa izin.
“Melacak nomor telepon kita saja bisa, sebab mereka memiliki alat yang canggih. Patut diduga, ada juga pejabat yang bermain di dalam,” ujarnya.
REKA ULANG
Diambil Alih Kejagung Dari Kejati Jabar
Kejaksaan Agung telah melakukan gelar perkara atau ekspos kasus dugaan korupsi di anak perusahaan PT Indosat, yakni PT Indosat Mega Media (IM-2) yang diperkirakan merugikan keuangan negara sebesar Rp 3,84 triliun.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung mengambil alih kasus tersebut dari Kejaksaan Tinggi Jawa Barat (Kejati Jabar), mengingat lokasi kejadian (locus delicti) tidak hanya di wilayah Jawa Barat, tapi juga di DKI Jakarta.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Andhi Nirwanto membantah kasus dugaan korupsi pada penyalahgunaan pita frekuensi 2,1 Ghz itu diambil alih Kejaksaan Agung karena nilai kerugian negaranya mencapai triliunan rupiah.
“Bukan karena kerugian negaranya lebih besar. Kalau hanya level Jawa Barat, wilayah hukumnya hanya Jawa Barat. Tapi kalau kami yang tangani, wilayah hukumnya akan lebih luas,” katanya.
Awalnya, kasus ini dilaporkan LSM Konsumen Telekomunikasi Indonesia (KTI) ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. KTI melaporkan Indosat dan anak perusahaannya, yakni IM-2 atas dugaan penyalahgunaan pita frekuensi 3G. Indosat, Telkomsel dan XL merupakan pemenang tender frekuensi 3G pada tahun 2007.
Namun, menurut KTI, Indosat melakukan pelanggaran dengan menjual internet bergerak (broadband) kepada IM-2 yang tidak ikut tender. IM-2 merupakan perusahaan penyelenggara broadband yang saat itu masih berstatus perusahaan private, walau kemudian pada November melakukan migrasi ke Indosat.
Menurut KTI, Indosat telah mengeluarkan biaya lelang yang tidak sedikit, padahal proyek kemudian dikerjakan IM-2.
Dugaan kerugian negara juga ditemukan karena ada potensi kehilangan pajak nilai badan hak penggunaan (BHP) jasa telekomunikasi sejak tahun 2007. KTI menduga ada pelanggaran Pasal 33 Undang Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Pasal 58 ayat 3, dan Peraturan Menteri Nomor 7 Tahun 2006.
Kejaksaan Agung Kerap Kandas Di Tengah Jalan
Sandi Ebeneser, Aktivis PBHI
Perkara korupsi yang ditangani Kejaksaan Agung banyak yang kandas di tengah jalan. Demikian penilaian anggota Majelis Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Sandi Ebeneser Situngkir.
“Kinerja kejaksaan dalam mengusut perkara korupsi kerap tidak clear and clean,” tandas Sandi, kemarin.
Lantaran itu, kata dia, pengusutan dugaan korupsi pengunaan jaringan frekuensi 2,1 Ghz oleh anak perusahaan PT Indosat, yakni PT Indosat Mega Media (IM-2) ini belum tentu berakhir sukses di pengadilan.
Bahkan, lanjut dia, bisa jadi tersangka kasus ini ujung-ujungnya akan mendapatkan surat perintah penghentian penyidikan (SP-3). “Sebab, selama ini terlalu banyak perkara yang ditangani kejaksaan tidak tuntas. Faktornya masalah kemauan saja, mau atau tidak mereka menuntaskannya,” kata dia.
Dalam penanganan perkara ini pun, menurut Sandi, publik layak mencurigai kinerja Kejaksaan Agung. “Patut dicurigai, kenapa perkara ini dicicil. Misalnya ada bukti-bukti, ada pihak-pihak lain yang semestinya juga bertanggung jawab, tapi yang jadi tersangka satu orang. Ini mencurigakan,” tegasnya.
Mengenai posisi perkaranya, Sandi menjelaskan, apabila tidak ada izin menyelenggarakan layanan 3G dari Kementerian Komunikasi dan Informatika atau pemerintah, maka hal itu adalah pelanggaran Undang Undang Telekomunikasi, yang sanksinya bisa denda, kurungan atau administrasi, karena menggunakan frekuensi secara tidak sah.
“Unsur korupsinya diduga terjadi karena hasil penjualan produk 3G yang menggunakan frekuensi tersebut, tidak ada yang masuk sebagai PNBP, tidak disetorkan kepada negara. Sehingga, negara diduga mengalami kerugian,” ujarnya.
Kejagung Jangan Main Mata Untuk Keluarkan SP3
Pieter Zulkifli, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Pieter Zulkifli mengingatkan Kejaksaan Agung agar tidak hanya heboh di awal, tapi ujung-ujungnya perkembangan penanganan perkara ini tidak jelas atau malah berbuah Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP-3).
Pieter menegaskan, nama baik kejaksaan selalu menjadi pertaruhan setiap kali Korps Adyhaksa menangani perkara. Apalagi, menangani kasus korupsi yang nilai kerugian negaranya besar. Lantaran itu, Kejaksaan Agung mesti obyektif menangani perkara tanpa pandang bulu, dan menyampaikan perkembangannya kepada masyarakat.
“Agar publik melihat dengan jelas bahwa kejaksaan serius dan berani mengambil langkah-langkah konkret untuk menjawab keraguan masyarakat,” sarannya, kemarin.
Pieter menilai, sejauh ini Kejaksaan Agung belum begitu bersinar di mata masyarakat. “Terutama dalam penuntasan kasus-kasus korupsi,” kata anggota DPR dari Partai Demokrat ini.
Dia pun mengingatkan Kejaksaan Agung agar tidak “bermain mata” untuk mengeluarkan SP3. “Lembaga hukum harus jujur dan profesional menangani semua perkara korupsi, tidak boleh menjadi alat kekuasaan untuk memanipulasi perkara karena tujuan-tujuan tertentu. Intinya, siapa pun yang terbukti, ya harus ditindak,” ujarnya.
Pieter menambahkan, tuntutan bagi para terdakwa perkara korupsi pun belum menunjukkan keseriusan dalam menegakkan hukum. Padahal, terdakwa itu banyak yang didakwa merugikan negara miliaran, bahkan ada yang triliunan rupiah.
“Fungsi dan peran hukum harus dapat memberikan efek jera terhadap siapa pun yang terbukti merugikan keuangan negara, termasuk dalam perkara Indosat yang sedang ditangani Kejagung ini,” katanya. [Harian Rakyat Merdeka]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar