Majelis eksaminasi publik ini, terdiri dari bekas Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein, dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Wanodyo Sulistyani, praktisi hukum Ari J Gema dan dosen Fakultas Hukum Paramadina Agus Surono.
Dalam jumpa pers di Kantor Indonesia Corruption Watch, Kalibata, Jakarta Selatan, Yunus Husein menyatakan, putusan majelis hakim belum mengarah pada aktor di balik layarnya. Menurutnya, yang masih perlu ditelusuri adalah siapa sponsor di balik perkara tersebut.
“Saya menduga, kemungkinan, sponsornya adalah bank-bank bermasalah, maka yang harus didalami adalah siapa di balik orang-orang ini,” kata pria yang tahu banyak mengenai transaksi-transaksi keuangan mencurigakan lantaran pernah menjadi orang nomor satu di PPATK ini.
Hal senada disampaikan Sekjen LSM Transparency International Indonesia (TII) Teten Masduki yang juga hadir dalam acara tersebut. Menurut dia, terpilihnya Miranda sangat diinginkan lembaga perbankan tertentu. “Dengan harapan, nanti bank itu memiliki relasi ke Miranda jika Miranda terpilih,” tandas bekas Koordinator LSM ICW ini.
Nah, salah satu poin dalam eksaminasi publik ini, hakim Pengadilan Tipikor kurang menggali masalah sponsor tersebut. Majelis eksaminasi ini berharap, hakim mematuhi KUHAP, seperti berperan aktif menggali fakta dalam persidangan dan mendalami keterangan para saksi.
Koordinator Divisi Hukum ICW Febri Diansyah menambahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi perlu mencermati beberapa pihak yang diduga terlibat, tapi sampai saat ini belum ditetapkan sebagai tersangka.
Selain itu, menurut Febri, perkara suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGSBI) diduga tidak hanya menguntungkan Miranda semata. Pihak-pihak yang diuntungkan atas keterpilihan Miranda, lanjutnya, diduga memanfaatkan informasi mengenai tindakan yang akan diambil Bank Indonesia kepada bank bermasalah.
“Untuk itu, KPK mesti serius menemukan dan menjerat pihak perbankan yang diuntungkan terkait kebijakan BI pasca terpilihnya Miranda,” tandas dia.
Kata Febri, Komisi Pemberantasan Korupsi juga perlu melakukan evaluasi terhadap penyidik dan penuntut yang bertugas menangani kasus tersebut. “Pada rekomendasi majelis eksaminasi, KPK perlu melakukan evaluasi terhadap penyidik dan jaksa penuntut umum dalam kasus cek pelawat. Mereka mesti menggali data lebih dalam agar tidak menemukan jalan buntu,” ujarnya.
Berdasarkan hasil eksaminasi ini, jaksa penuntut umum (JPU) KPK tidak optimal dan tidak cermat mengajukan tuntutan. Soalnya, JPU hanya menjerat terdakwa dengan Pasal 5 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun.
Padahal, JPU dapat menggunakan Pasal 12 huruf b UU 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2010, yang ancaman pidananya maksimal 20 tahun.
Febri mengingatkan, dalam kasus jaksa Urip Tri Gunawan, JPU KPK sudah melakukan hal yang benar dengan menggunakan Pasal 12 huruf b dan e, sehingga jaksa penerima suap itu dijatuhi hukum 20 tahun penjara.
Menurut majelis eksaminasi, unsur-unsur pada kasus cek pelawat ini terbukti memenuhi Pasal 12 huruf b itu. “Jika KPK menggunakan pasal ini, ancaman untuk penerima cek pelawat lebih tinggi dan dapat memberikan efek jera,” tandas dia.
Febri berharap, hasil eksaminasi publik tersebut akan menjadi pertimbangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menuntaskan kasus cek pelawat secara utuh. “Hasil eksaminasi ini akan kami bawa ke KPK,” katanya.
Poin lain dalam eksaminasi ini, pertimbangan hakim yang meringankan terdakwa karena sudah memiliki anak dan tidak pernah terlibat pidana, tidak lumrah.
“Terdakwa yang berprofesi sebagai penyelenggara negara dan perbuatannya bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi, semestinya dijadikan pertimbangan yang memberatkan, tapi malah tidak,” tegasnya.
Febri menambahkan, putusan hakim yang sangat ringan akan berdampak negatif bagi pemberantasan korupsi, yakni tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku dan masyarakat luas. hakim menjatuhkan vonis tiga tahun penjara dan denda Rp 100 juta kepada Dudhie.
REKA ULANG
Divonis 2 Tahun, Dibebaskan April 2011
Bekas anggota Fraksi PDIP DPR Dudhie Makmun Murod dihukum dua tahun penjara dan denda Rp 100 juta oleh hakim Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta. Ketua Majelis Hakim Nani Indrawati menegaskan Dudhie terbukti bersalah karena menerima suap berupa traveller cheque (TC) 10 lembar dengan nilai total Rp 500 juta saat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) tahun 2004.Dalam persidangan pembacaan vonis itu, terungkap adanya kerja sama di antara anggota FPDIP di Komisi IX DPR periode 1999-2004. Majelis menyimpulkan Dudhie maupun anggota fraksi PDIP di Komisi IX telah terbukti bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi.
Penerimaan hadiah atau janji ini, kata hakim, berkaitan dengan kekuasaaan serta kewenangan jabatan yang bersangkutan sebagai anggota DPR. Dudhie pun dijerat dengan dakwaan kedua, yakni Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi.
Selain vonis penjara, Dudhie juga diwajibkan membayar uang denda sebesar Rp 100 juta subsider 3 bulan penjara. Hal yang meringankan, Dudhie belum dihukum dan mengakui terus terang perbuatannya. Selain itu dia ada tanggungan keluarga.
27 April 2011, Dudhie mendapatkan pembebasan bersyarat dari Ditjenpas Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). “Iya sudah bebas bersyarat, dia (Dudhie) sudah kembali ke keluarganya,”kata Kepala Humas Ditjenpas, Akbar Hadi Prabowo saat dihubungi wartawan, Kamis (9/6/2011).
Menurut Akbar, perhitungan waktu pembebasan bersyarat tersebut juga telah dikurangi remisi atau potongan masa tahanan yang diterima mantan anggota Komisi IX DPR itu. Dudhie mendapatkan remisi umum selama satu bulan pada peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 2010. Putra mendiang Jendral Makmun Murod itu juga menerima remisi khusus dalam rangka hari raya keagamaan selama 15 hari.
Akbar menjelaskan, Dudhie dibebaskan secara bersyarat mengacu Surat Keputusan nomor PAS.2.XIII.2847.PK.01:05:06 tertanggal 15 Maret 2011. Keputusan tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa Dudhie telah menjalani dua per tiga masa tahanannya.
“Remisi umum tahun 2010 selama satu bulan dan remisi khusus tahun 2010 selama 15 hari, tapi tetap wajib lapor ke Balai Pemasyarakatan sebulan sekali,” pungkas Akbar.
Ada Pembajakan Otoritas Kebijakan
Yunarto Wijaya, Peneliti Charta Politika
Peneliti Charta Politika, Yunarto Wijaya mengatakan, kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGSBI) sangat kental nuansa politisnya.“Aroma politiknya sangat kental, karena tertuju pada satu partai politik dan orang-orangnya,” katanya. Dia menilai, dari kasus DGSBI tersebut terlihat sekali pembajakan otoritas kebijakan melalui proses demokratisasi di DPR.
“Eksekutif dan kekuatan lain seperti pengusaha ada didalamnya dan kemungkinan juga ada orang politik juga.”
Tanpa menyebutkan nama partai politik tersebut, Yunarto menjelaskan, ada dugaan Partai politik tersebutlah yang menjadi aktor utama dalam menjalankan proses ini.
“Ini terlihat dari adanya upaya secara sadar dalam membangun monopoli pemilihan di parlemen,” ungkapnya. Dia berharap, KPK harus bisa mengusut tuntas siapa saja yang terlibat. Termasuk di dalamnya, kader partai atau pengusaha yang diduga berkolaborasi dalam kasus cek pelawat ini.
Yunarto berpendapat penangkapan Nunun Nurbaeti seharusnya bisa dijadikan momen penting bagi perbaikan kinerja KPK. “Tertangkapnya Nunun harus dijadikan momentum buat KPK agar kasus ini tidak jadi blunder sehingga menyulitkan KPK masuk pada kasus-kasus lainnya.
KPK Diprediksi Bakal Berhadapan Dengan Kekuatan Besar
Nudirman Munir, Anggota Komisi III DPR
Anggota komisi III DPR, Nudirman Munir menilai, untuk melihat siapa yang menjadi sponsor Miranda S. Goeltom, relatif mudah. Hal itu bisa ditelusuri lewat alur pembelian sampai penerimaan cek pelawat tersebut.“Melihatnya gampang dari mana sumber cek pelawat itu. Kemungkinan besar, itulah sponsor Miranda,” katanya.
Menurutnya, siapa yang membeli cek pelawat menjadi penting. Karena dari sana kasus ini berawal. Untuk itu dia menyarankan agar pemodal alias orang yang membeli cek pelawat dibongkar terlebih dahulu.
Nudirman menambahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus bisa merunut kasus ini secara cermat. Hal itu ditujukan agar, dugaan keterlibatan semua pihak bisa diketahui. Politisi Partai Golkar ini juga mengapresiasi tindakan KPK dalam menetapkan Miranda sebagai tersangka kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI .
“Itu kemajuan KPK. Tapi jangan senang dulu, sekarang masalahnya belum semua tuntas,” tegasnya. Dia meyakini, pasca penetapan status tersangka terhadap Miranda, KPK akan berhadapan dengan kekuatan besar di balik Miranda.
Dia mendesak agar KPK lebih transparan dalam menyingkap kasus ini. Dengan begitu, publik menjadi tahu apa ada janji-janji tertentu jika Miranda terpilih. Dia mendorong KPK untuk meminta data dari Bank Indonesia (BI) guna memastikan atas nama siapa cek pelawat tersebut dibeli. [Harian Rakyat Merdeka]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar