Bahkan berdasarkan Research Colliers International Indonesia selama tahun 2012- 2013 di Jakarta akan ada tambahan 21 pusat perbelanjaan baru. Total luas lantainya mencapai 827.376 meter persegi yang 45 persen di antaranya berada di Jakarta. Di antara pasokan mal-mal baru tersebut, separuhnya sudah melebihi 50 persen tahap konstruksi.
Colliers melansir, mal-mal yang dalam tahap konstruksi dan direncanakan diluncurkan tahun ini antara lain Kemang Village, Menteng Square, Kota Kassablanka, Pulomas X-’Venture, Ciputra World Jakarta, dan Pondok Indah Street Gallery. Kecuali Pulomas X-’Venture, sisanya masih berlokasi di Jakarta Selatan dan Pusat. Ditambah lagi, Agung Podomoro baru meluncurkan proyeknya, Kuningan City Mall, pada akhir tahun lalu.
Selain itu, Agung Podomoro juga tengah meneruskan pembangunan fasilitas perbelanjaan di kawasan residensialnya di Kalibata, yang berdiri di atas lahan seluas 60-90 ribu hektar. Proyek yang ditargetkan selesai tahun depan ini bisa menampung 120 hingga 180 tenant.
Colliers menghitung, tahun ini pasokan kumulatif mal di Jakarta akan tumbuh hingga 5,6 persen atau seluas 335.456 meter persegi. Pertumbuhan yang diramalkan bahkan lebih tinggi dibanding tahun lalu, di mana pasokan bertambah 4,5 persen menjadi 5,95 juta meter persegi.
Meski Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menghentikan sementara izin pembangunan mal, namun aturan itu tidak berlaku surut. Tahun ini sedikitnya 21 mal baru siap dibangun di penjuru ibu kota.
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengatakan, Izin Mendirikan Bangunan bagi mal-mal tersebut dikeluarkan sebelum diterbitkannya kebijakan moratorium mal di DKI Jakarta.
“Kalau yang sudah memperoleh izin, tentu saja tidak bisa menerapkan moratorium itu, karena mereka sudah mengantongi izinnya. Memang ada yang masih berjalan, tapi saya tidak tahu jumlah persisnya berapa,” katanya, belum lama ini.
Fauzi menegaskan, pihaknya akan terus melakukan evaluasi perizinan mal yang luasnya lebih dari 5 ribu meter persegi. Sebab, masih banyak wilayah di DKI Jakarta yang belum terisi dengan pusat perbelanjaan seperti di Jakarta Barat. (Oleh karena itu, pembangunan pusat perbelanjaan tersebut akan dialihkan ke wilayah yang belum banyak memiliki mal.
“Itulah yang menjadi pertimbangan untuk melakukan moratorium mal. Kami ingin melakukan penataan mal di Jakarta. Yang jelas, sesuai dengan komitmen saya mengeluarkan moratorium. Itu berarti tidak akan keluarkan izin lagi. Nanti kami evaluasi,” ujarnya.
Kepala Dinas Tata Ruang DKI Jakarta Wiriyatmoko mengakui, saat ini ada proses pembangunan puluhan mal di Jakarta. Hanya saja, dirinya tidak mengetahui pasti berapa jumlah mal yang akan dibangun tahun ini.
“Jumlahnya puluhan, saya tidak tahu jumlah pasti berapa. Jangan dilebih-lebihkan. Yang dibangun hingga tahun ini sudah mendapat izin lebih dulu sebelum moratorium mal diberlakukan tahun lalu,” pintanya.
Dijelaskan, kebijakan moratorium diberlakukan untuk mengantisipasi kemacetan di Jakarta yang semakin hari kian parah. Untuk itu, kata dia, DKI Jakarta memprioritaskan pembangunan mal di kawasan pinggiran Jakarta.
“Berdasarkan kajian kita sebenarnya masih bisa memberikan izin mal diperuntukan komersial di JORR. Mal ditarik ke pinggiran. Prioritas utama di Jakarta Timur, karena sangat kurang mal disana. Paling tidak pada 2013 kita berikan izin mal baru,” ujarnya.
Meski begitu, Wiriyatmoko mengakui banyak permohonan dari sejumlah pengembang untuk mendapatkan izin pembangunan mal di Jakarta usai moratorium selesai diberlakukan. “Yang memohon banyak tapi saya tak bisa sebutkan titik dan nama, itu tak mudah. Tapi saya lihat ada sekitar di atas 20-an,” ucap dia.
Untuk dapat mendirikan mal, pengusaha harus mengajukan izin ke Dinas Tata Ruang untuk melihat kesesuaian lokasi. Jika disetujui, mereka harus melanjutkan ke Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) guna mengurus Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) sebagai syarat meminta Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B). Selain persyaratan birokrasi, lokasi yang dipilih untuk pendirian mal juga harus dilalui fasilitas angkutan umum.
Sarinah Mal Pertama di Indonesia
Mal adalah kata serapan dari bahasa Inggris “Mall” yang diterjemahkan menjadi gedung atau kelompok gedung yg berisi macam-macam toko dengan dihubungkan oleh lorong/koridor (jalan penghubung). Selain mal, fasilitas gedung kawasan belanja kadang disebut plasa, dan square.Sarinah mal pertama yang ada di Indonesia. Nama Sarinah diberikan Presiden Sukarno. Dalam buku Sarinah, Sukarno mengaku nama itu adalah nama pengasuhnya, pengasuh keluarganya. Mbok Sarinah, begitu Sukarno biasa memanggil perempuan yang diakui telah ikut mendidiknya, dan membantu ibu bapaknya. Sarinah, kata Sukarno, “…mendidik mengerti bahwa segala sesuatu di negeri tergantung daripada rakyat jelata.”
Sarinah, nama seorang wanita yang mengasuh dan membesarkan Sukarno. Sarinah pula yang mengajarkan Sukarno menjadi manusia yang mengerti arti penting rakyat. Pendek kata, nama Sarinah begitu lekat di benak Sukarno, sehingga ia terinspirasi mengabadikannya menjadi sebuah nama department store pertama di Republik Indonesia.
Proyek Sarinah, masuk dalam agenda pembangunan 10 Juli 1959 dan 6 Maret 1962. Selain Sarinah, proyek lain yang digarap perode itu adalah asembling radio transistor, TV dan bemo, penambangan marmer di Kediri, tekstil, alat pertanian, dan lain-lain.
Dibangun sejak 23 April 1963, Gedung Sarinah dimaksudkan oleh Sukarno menjadi sebuah pusat perbelanjaan modern yang bisa memenuhi keinginan rakyat mendapatkan barang-barang murah tapi dengan mutu yang bagus. Gagasannya berasal dari Sukarno, menyusul lawatannya ke sejumlah negara yang sudah lebih dulu memiliki pusat belanja modern.
Ketika inflasi membubung pada masa itu, pembangunan Sarinah bukan nihil kritikan. Suara oposan ketika itu menuding, Sukarno antara lain dianggap hanya meneruskan proyek mercusuar dan Sarinah adalah salah satu proyek gagah-gagahan ciptaan Sukarno. Hampir bersamaan waktu, ketika itu Sukarno memang sedang membangun Gelanggang Olahraga Bung Karno seluas 300 hektar pada 8 Februari 1960 untuk menyongsong pelaksanaan Asian Games IV.
Apa komentar Sukarno? Kepada R. Soeharto, dokter pribadi yang ketika itu menjabat Menteri Muda Perindustrian Rakyat dan ditugaskan mewujudkan pembangunan Sarinah Dept. Store, Bung Karno memberi penjelasan panjang. “Jangan terlalu menghiraukan kecaman itu. Sarinah harus merupakan pusat sales promotion barang-barang produksi dalam negeri, terutama hasil pertanian dan industri rakyat. Pembangunan department store itu perlu dikaitkan dengan pendidikan tenaga terampil dan ahli konstruksi gedung bertingkat tinggi.
Mengenai bidang manajemennya sejalan dengan apa yang kita lakukan mengenai pembangunan Hotel Indonesia. Bangunannya dirancang dengan arsitek Abel Sorensen dari Denmark, dibangun oleh kontraktor Jepang, dan pembiayaannya dari rampasan perang Jepang.”
Tidak cukup dengan penjelasannya, Bung Karno menambahkan, “Kita harus memandang jauh ke depan. Saya sudah mengajukan ketetapan, semua gedung di tepi Jalan Thamrin dan Jenderal Sudirman harus bertingkat, paling sedikit terdiri dari lima tingkat. Arsitek dan insinyur kita sendiri kelak harus dapat mengerjakannya tanpa bantuan tenaga asing.”
Sarinah Dept Store, oleh Bung Karno ditargetkan pembangunannya selama 5 tahun, dan harus sudah bisa diresmikan 17 Agustus 1966. Berkat bantuan aktif dr Sumarno, Gubernur Jakarta waktu itu, pembangunan berjalan lancar, dan sudah bisa diresmikan 15 Agustus 1966, maju dua hari dari target.
Peresmian pada 15 Agustus itu sebetulnya terlambat hampir setahun dari keinginan Sukarno yang bermaksud meresmikan Sarinah pada Hari Ibu 1965, 22 Desember. Ketika diresmikan, Sukarno sedang berada di bawah tekanan politik yang cukup berat menyusul peristiwa politik berdarah yang mengakibatkan banyak nyawa melayang pada akhir 1965. Dia berada di ujung akhir kekuasaan. Sebelum akhirnya menjalani tahanan politik Orde Baru hingga kematiannya pada 1970, Sukarno hanya bisa menikmati Sarinah sekitar 2 tahun sejak diresmikan
Pembangunan Sarinah, adalah gagasan yang sangat maju pada zamannya. Sukarno yang mengetahui potensi besar negaranya, menghendaki adanya show case yang modern. Dengan begitu, potensi bangsa dan negara Indonesia dapat dilihat di Sarinah Dept. Store. Bukan sembarang potensi, melainkan potensi sebuah bangsa yang digali dari semangat nasionalisme yang tinggi, bukan karena modal asing, tenaga asing, dan manajemen asing. Alhasil, jika pada akhirnya sekarang kita mendapati Sarinah justru jadi show case bisnis kapitalis.
Moratorium Berbeda Dengan Tidak Memberikan Izin
Muhammad Sanusi, Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta
Pemprov DKI Jakarta tidak serius memberlakukan penundaan perizinan alias moratorium mal, sekadar lips service saja. Buktinya, masih banyak pembangunan mal-mal baru.Pemberian izin pembangunan mal sepenuhnya ada di tangan Gubernur. Nah, Fauzi Bowo bisa saja tidak mengeluarkan izin kepada pihak pengembang, dengan begitu tidak perlu ada kebijakan moratorium izin pembangun mal.
Menurut saya, bila pemprov memilih kebijakan moratorium sebaiknya melibatkan seluruh stakeholder, seperti DPRD dan masyarakat. Saat ini pemprov masih menggunakan patokan Perda Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) yang memperbolehkannya pembangunan mal.
Perlu diketahui saat ini Perda RTRW sedang menunggu penomoran di Kementerian Dalam Negeri, sedangkan Perda RDTR pemprov sama sekali belum menyusun naskah akademiknya.
Seharusnya komitmen moratorium itu disampaikan setelah ada perubahan peruntukan dalam RTRW dan RDTR yang baru. Moratorium itu beda dengan tidak memberikan izin. Moratorium itu betul-betul melibatkan seluruh stakeholder.
Setahun Ini Tidak Ada Izin Baru
A Stefanus Ridwan, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia
Kalangan pengusaha tidak khawatir dengan kebijakan moratorium pembangunan mal yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sebab, pemberlakuannya tidak akan lama.Kami memahami kebijakan pemprov itu, tapi harus konsisten. Pemprov berjanji sampai akhir 2012 tidak akan dikeluarkan izin baru. Artinya, setahun ini tidak ada izin baru.
Dengan jeda waktu satu tahun itu bisa dimanfaatkan membenahi mal-mal yang ada, sehingga akan dapat bersaing dengan mal-mal baru yang akan muncul di kemudian hari.
Sebelumnya, Stefanus menanyakan kepastian kebijakan moratorium pembangunan mal. Karena kebijakan tersebut hingga saat ini belum dituangkan dalam bentuk peraturan gubernur atau dasar hukum yang lebih tinggi, yakni peraturan daerah (perda). Untuk itu, para pengembang mempertanyakan kebenaran moratorium tersebut.
Sudah Mencapai 170 Bangunan
Yayat Supriatna, Pakar Planologi Universitas Trisakti
Tidak ada satupun kota-kota megapolitan di dunia yang memiliki mal di atas 100 buah seperti Jakarta. Ini sebuah konsep pembangunan yang kebablasan. (Akibatnya tata ruang kota menjadi kacau balau.Jumlah pusat perbelanjaaan di Jakarta saat ini diperkirakan mencapai 170 lebih dan telah melebihi batas ideal dari jumlah penduduknya. Seharusnya ada skala untuk mengatur agar jumlah mal tidak tumbuh dengan sangat pesat.
Banyak mal dibangun ditengah pemukiman, sehingga mengaburkan batasan wilayah hunian dan komersial. Pembangunan mal di kawasan strategis menjadi biang keladi kemacetan.
Singapura saja yang dikenal dunia sebagai surga bagi orang-orang yang gemar berbelanja hanya terdapat 130-an mall. Kuala Lumpur dan Selangor, Malaysia yang ratting jumlah wisatawannya lebih tinggi dibanding Jakarta hanya memiliki 100-an mal.
Pembangunan mal memang berizin, tapi kenapa bisa terkesan menginvansi dan meringsek ke kawasan yang semula hunian menjadi kawasan komersial.
Hanya saja warga Jakarta menjadikan mal sebagai obat depresi dan stres. Kondisi ini dapat dipahami karena kini di kota ini memang sangat minim ruang publik yang aman dan nyaman selain mal.
Pesatnya pembangunan mal mengabaikan peningkatan fasilitas bagi pejalan kaki. Bisa dibandingkan dengan Singapura, yang tengah mempercantik trotoar Orchard Road, dari segi taman, fasilitas pejalan kaki, dan tata lampu sehingga trotoar Orchard Road menjadi lebih lebar, hijau, menyala, dan menghibur. (Berbeda dengan kondisi mal di Jakarta yang menjadi magnet kemacetan. Mal di Jakarta tidak ramah bagi pejalan kaki, tetapi sangat memanjakan pengguna kendaraan pribadi.
Terkait wacana moratorium izin mal, saya pesimis bisa efektif menekan pertumbuhan mal. Sebab, pembangunan mal berkaitan erat dengan kepentingan Pemprov DKI Jakarta untuk mengeruk keuntungan. [Harian Rakyat Merdeka]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar