VIVAnews
- Skandal penyadapan pihak intelijen AS terus menimbulkan kehebohan.
Sejak dibocorkan mantan kontraktor Badan Keamanan Nasional AS (NSA),
Edward Snowden, banyak negara jadi gusar dan media massa internasional
terus mengorek lebih dalam skandal itu.
Majalah Jerman, Der Spiegel,
kembali mengungkap praktik penyadapan oleh NSA. Praktik itu ternyata
dijalankan oleh suatu unit khusus NSA, Tailored Access Operation (TAO).
Pengungkapan ini berasal dari bocoran dokumen internal NSA dan pengakuan
seorang pejabatnya, yang tidak mau diungkap namanya.
Unit
peretas khusus itu mampu menyadap berbagai perangkat komputer untuk
mendapatkan data sekaligus melancarkan sabotase. Dilansir laman majalah Time, yang mengutip laporan Der Spiegel,
unit khusus NSA ini mampu mendapatkan data yang selama ini mustahil
didapat dengan cara konvesional. Dibentuk pada 1997, TAO dikabarkan
telah meretas 258 target di hampir setiap negara di dunia.
Cara
kerja unit ini canggih, bahkan disebut mirip dengan cara-cara yang
dipakai jagoan di film, James Bond. Unit ini memanfaatkan berbagai macam
kabel komputer-monitor yang khusus dibuat untuk merekam data dalam
waktu nyata (real time).
TAO juga menggunakan perangkat
batang data USB, yang memiliki transmitor khusus untuk mengirim data
curian melalui gelombang radio. Unit ini juga mampu menyadap data di
laptop dan menangkap sinyal ponsel dari jarak jauh.
Tim ini
juga mencuri data dengan mengeksploitasi celah-celah keamanan di
Internet dan piranti lunak di sejumlah perusahaan seperti Cisco Systems
dan Huawei Technologies asal China. Bahkan muncul kabar bahwa TAO bisa
menyusup ke komputer-komputer berbasis Windows dengan memanfaatkan
laporan-laporan gangguan operasional dari konsumen (crash reports).
Microsoft
tidak langsung menanggapi kabar sabotase dari TAO itu. Namun raksasa
piranti lunak itu termasuk dari perusahaan-perusahaan teknologi AS yang
menuntut pemerintah Amerika agar lebih transparan soal metode penyadapan
NSA.
Der Spiegel tidak mengungkap identitas siapa yang
membocorkan dokumen NSA itu. Selama ini masalah tersebut mengandalkan
liputan penyadapan NSA dari Edward Snowden, yang tengah bersembunyi di
Rusia. Namun salah satu penulis artikelnya adalah Laura Poitras, seorang
pembuat film dokumenter yang dekat dengan Snowden.
Majalah itu
mengungkapkan bahwa TAO diperkuat oleh sekumpulan peretas unggul. Dalam
beberapa tahun terakhir, sebagai Direktur NSA, Keith Alexander tampil di
sejumlah konferensi yang dihadiri para peretas, yang rata-rata kaum
muda anti kemapanan.
Di kantor, jenderal berbintang empat itu
sering mengenakan seragam militer. Namun, dalam upaya merekrut para
hacker, dia biasa bercelana jins dan berkaos oblong agar bisa dekat
dengan mereka.
Strategi itu tampak membuahkan hasil. Unit itu
berhasil merekrut para peretas sehingga TAO perlu membuka cabang di
beberapa kota. Selain markas besar NSA di Fort Meade, TAO bertebaran di
Wahiawa (Hawaii), Fort Gordon (Georgia), Pangkalan Angkatan Udara
Buckley dekat Kota Denver (Colorado) dan San Antonio.
Bahkan TAO
juga memperluas cabang di luar negeri. Menurut sebuah dokumen NSA,
terdapat daftar para penghubung utama TAO berikut alamat surel (email)
dan nomor telepon khusus, serta kantor penghubung di dekat Kota
Frankfurt, Jerman. Lokasi persisnya berada di barak militer AS di Kota
Darmstadt.
Sejumlah unit cabang TAO di AS juga mencakup target
di negara-negara lain. Contohnya, kantor di San Antonio menangani
penyadapan di Timur Tengah, Kuba, Venezuela, Meksiko, dan Kolombia.
Salah satu operasi terkenal dari TAO adalah proyek Stuxnet. Ini merupakan "cacing komputer" (worm)
yang keberadaannya ditemukan pada Juni 2010. Virus itu proyek patungan
badan intelijen AS dan Israel untuk menyabot program nuklir Iran.
Operasi
ini berhasil karena membuat program nuklir Iran mundur selama
bertahun-tahun setelah Stuxnet memanipulasi teknologi komputer yang
digunakan di fasilitas pengolahan uranium di Kota Natanz. Sebanyak 1.000
sentrifugal di reaktor itu menjadi tidak berguna.
Unit khusus
NSA ini juga memiliki tim riset khusus untuk menguji teknologi-teknologi
baru yang baru dikeluarkan ke pasaran maupun yang masih diuji. Para
staf di tim ini memiliki kemampuan luar biasa dalam mengoprek komputer
dan membangun jaringan, mirip dengan tokoh Q dalam seri James Bond.
Aksi Global
Aksi
penyadapan yang dilakukan oleh agen intelijen Amerika Serikat (NSA)
ternyata dilakukan secara masif. Hal itu terungkap dari dokumen yang
dibocorkan oleh mantan kontraktor NSA, Edward J. Snowden.
Apabila dalam wawancara awal yang dilakukan Snowden dengan harian Inggris, The Guardian,
pada Juni lalu, dia hanya mengungkap program NSA bertajuk PRISM yang
memungkinkan NSA memantau semua aktivitas warga AS di telepon dan
internet, perlahan dokumen yang dibocorkan oleh Snowden dan dimuat di
media menunjukkan agen intel NSA tidak hanya menyadap komunikasi warga
AS, tetapi turut mencuri dengar percakapan warga dunia.
Warga Spanyol pun yang notabene merupakan sekutu AS, ikut disadap. Harian El Mundo pada
Oktober lalu menulis bahwa NSA telah memata-matai 60,5 juta nomor
telepon di Spanyol periode 10 Desember 2012 hingga 8 Januari 2013.
El Mundo mendapatkan data ini dari jurnalis yang pernah bekerja di The Guardian, Gleen Greenwald. Dia mengatakan NSA hanya melacak durasi dan riwayat lokasi serta penelepon, tanpa menyadap isi percakapan.
Puluhan
juta warga Prancis pun turut menjadi sasaran sadap agen intel NSA.
Dokumen yang lagi-lagi bersumber dari Snowden dan dilansir harian Le Monde,
menulis sebanyak 70,3 juta telepon warga Prancis telah disadap NSA
dalam waktu 30 hari, terhitung tanggal 10 Desember 2012 hingga 8 Januari
2013.
Saking kesalnya terhadap
isi pemberitaan itu, Menteri Luar Negeri Prancis, Laurent Fabius, sampai
memanggil Duta Besar AS untuk Prancis, sebagai bentuk protes.
Namun,
dokumen lain yang dibocorkan oleh Snowden jauh lebih mencengangkan,
karena yang dijadikan target penyadapan tidak hanya warga biasa, tetapi
sampai masuk ke ranah pemimpin negara.
Laporan itu kembali dimuat di harian
The Guardian,
akhir Oktober lalu. Dalam laporan itu, dikutip sebuah memo rahasia yang
diserahkan pria berusia 31 tahun itu. Isinya perintah bagi para pejabat
senior beberapa instansi "pelanggan" seperti Gedung Putih, Kementerian
Luar Negeri dan Pentagon untuk memberikan nomor telepon para politisi
dunia agar dimasukkan ke dalam sistem mata-mata mereka.
Dalam
dokumen itu, ditulis bahwa seorang pejabat AS memberikan lebih dari 200
nomor, termasuknya di dalamnya ada 35 pemimpin dunia. Tidak disebutkan
pemimpin mana saja yang disadap, namun NSA disebut langsung melakukan
operasi intelijen.
Aksi semacam ini bahkan rutin dilakukan oleh
NSA. Dua pemimpin yang secara terang-terangan disadap dan murka akan
aksi tersebut yaitu Kanselir Jerman, Angela Merkel dan Presiden Brasil,
Dilma Rousseff.
Merkel mengetahui dirinya disadap setelah Majalah
Der Spiegel
memberitakan pada Oktober lalu, bahwa nomor ponselnya sudah masuk ke
dalam daftar Layanan Kumpulan Data Khusus NSA (SCS). Bahkan, sejak satu
dekade lalu. Dalam daftar itu, nomor ponsel Merkel ditandai dengan kode
"Kanselir GE Merkel".
Namun,
Der Spiegel tidak menyebut
secara jelas apa yang disadap oleh agen NSA melalui komunikasi Merkel.
Berang, Merkel pun langsung mengklarifikasi pemberitaan itu kepada Obama
melalui telepon.
Hasilnya, Obama mengaku tidak tahu NSA telah menyadap komunikasi Merkel. Namun, pernyataan itu dimentahkan oleh harian Jerman,
Bild am Sonntag.
Di sana tertulis Obama sudah mengetahui soal operasi penyadapan sejak
tiga tahun lalu, termasuk ketika dia berkunjung ke Berlin pada Juni
lalu.
Sementara Rousseff kesal karena pola komunikasinya dengan
dua penasihat utamanya disadap AS. Sebagai balasannya, Rousseff
membatalkan kunjungan kenegaraan ke Negeri Paman Sam, yang semula
dijadwalkan bulan Oktober lalu.
Menteri Luar Negeri Brasil, Luiz
Alberto Figueiredo, mengaku telah meminta penjelasan tertulis soal
laporan spionase tersebut. Saat itu Obama yang tengah dalam perjalanan
menuju ke Rusia, mengatakan badan intel AS tidak mengintip isi surat
elektronik atau mendengarkan isi pembicaraan telepon seseorang.
Kurang
puas, Rousseff lantas meluapkan kemarahannya dalam forum sidang Dewan
Keamanan PBB yang dihelat pada 24 September lalu. Di sana, Rousseff
secara tegas menyatakan Pemerintah dan warga Brasil mengaku tidak terima
dengan sikap AS yang menyadap surel pribadinya. Alasan AS yang menyebut
aksi penyadapan itu untuk melindungi Brasil dari serangan teroris,
sangat tak berdasar.
Indonesia DisadapDi
setiap dokumen Snowden, tertulis, bahwa agen intel NSA tidak bekerja
seorang diri. Mereka turut dibantu oleh agen intelijen dari empat negara
sekutunya yaitu Australia (DSD), Kanada (CSEC), Inggris (GCHQ), dan
Selandia Baru (NZSIS). Dalam sandi intelijen, kelimanya dinamai "five
eyes".
Aksi penyadapan yang dilakukan DSD inilah yang membuat
Pemerintah Indonesia berang. Bagaimana tidak, benua yang dianggap
sebagai sahabat terdekat, pada tahun 2009 silam menyadap komunikasi
ponsel Nokia E90-1 Presiden SBY dan Ani Yudhoyono. Beberapa pejabat
tinggi pun, tidak ikut ketinggalan disadap juga.
Semua itu dimuat koran
Sydney Morning Herald (SMH) dan
The Guardian dengan
lagi-lagi bersumber kepada bocoran dokumen Snowden. Menanggapi
pemberitaan ini, Perdana Menteri Tony Abbott, malah bersikap arogan dan
tidak meminta maaf.
Walhasil, Presiden SBY semakin kesal dan
langsung memberikan serangan balasan. Duta Besar RI untuk Australia,
Nadjib Riphat Kesoema, pada 18 November lalu ditarik kembali. Dua hari
kemudian, Presiden SBY lantas membekukan sementara tiga bidang kerja
sama dengan Negeri Kangguru. Salah satunya di bidang penanggulangan
pencari suaka.
Merasa senasib dan sepenanggungan, Indonesia
lantas bergabung dengan Jerman dan Brasil dalam menggolkan resolusi PBB
soal anti spionase ke Majelis Umum. Di sini, Indonesia turut berperan
sebagai
co-sponsor. Delegasi Jerman dan Brasil telah bekerja untuk memasukkan draf ini di Majelis Umum PBB, menurut beberapa diplomat PBB kepada
Reuters."Resolusi
ini akan didukung penuh di Majelis Umum, karena tak ada yang suka NSA
memata-matai mereka," kata seorang diplomat Barat di PBB yang tak mau
diungkap namanya.
Walaupun resolusi itu tidak mengikat, namun
memiliki bobot moral dan politik, karena bisa didukung oleh 193 negara
anggota PBB. Impian itu pun segera menjadi kenyataan, karena Komite Hak
Asasi Manusia (HAM) PBB pada Selasa, 26 November 2013 meloloskan
resolusi hak privasi yang diajukan sebelumnya oleh kedua negara
tersebut.
Duta Besar Jerman untuk PBB, Peter Wittig mengatakan
ini merupakan kali pertama sebuah badan PBB telah menunjukkan sikap
terkait HAM di dunia maya. Selain itu Wittig menilai resolusi yang
diloloskan kemarin, memiliki pesan politik yang penting.
Dalam
resolusi itu menekankan bahwa pengawasan yang dilakukan secara
semena-mena dan tak berdasarkan hukum merupakan pelanggaran berat
terhadap hak privasi. (eh)