Rancangan Undang-Undang (RUU) Aparatur Sipil Negara
(ASN) yang telah disetujui DPR-RI untuk disahkan sebagai Undang-Undang
(UU) pada Rapat Paripurna, Kamis (19/12) lalu, membagi jabatan ASN dalam
tiga kelompok, yaitu: a. Jabatan Administrasi; b. Jabatan Fungsional;
dan c. Jabatan Pimpinan Tinggi.
Jabatan
Administrasi terdiri atas: a. Jabatan Administrator, yaitu jabatan yang
diisi oleh pejabat yang bertanggung jawab memimpin pelaksanaan seluruh
kegiatan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan
pembangunan; b. Jabatan Pengawas, dimana pejabatnya bertanggung jawab
mengendalikan pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh pejabat
pelaksana; dan c. Jabatan Pelaksana, dimana pejabatnya bertanggung jawab
melaksanakan kegiatan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan
dan pembangunan.
“Setiap jabatan sebagaimana
dimaksud ditetapkan sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan, yang akan
diatur dengan Peraturan Pemerintah,” bunyi Pasal 16, 17 RUU ASN ini.
Adapun
Jabatan Fungsional terdiri atas jabatan fungsional keahlian, yang
terdiri dari: a. Ahli utama; b. Ahli madya; c. Ahli muda; dan d. Ahli
pertama; dan jabatan fungsional ketrampilan, yang terdiri dari: a.
Penyelia; b. Mahir; c. Terampil; dan d. Pemula. “Ketentuan lebih lanjut
mengenai Jabatan Fungsional diatur dengan Peraturan Pemerintah,” bunyi
Pasal 18 Ayat (4) RUU ASN.
Sedangkan Jabatan
Pimpinan Tinggi terdiri atas: a. Jabatan pimpinan tinggi utama; b.
Jabatan pimpinan tinggi madya; dan c. Jabatan pimpinan tinggi pratama.
“Jabatan
Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud berfungsi memimpin dan memotivasi
setiap Pegawai ASN pada Instansi Pemerintah, melalui a. Kepeloporan
dalam bidang keahlian profesional, analisis dan rekomendasi kebijakan,
dan kepemimpinan manajemen; b. Pengembangan kerjasama dengan instansi
lain; dan c. Keteladanan dalam mengamalkan nilai dasar ASN dan
melaksanakan kode etik dan kode perilaku ASN,” bunyi Pasal 19 Ayat (2)
RUU ASN.
Menurut RUU ini, Jabatan ASN diisi
dari Pegawai ASN, namun untuk Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari
prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Polri).
Pengisian Jabatan
RUU
ASN yang disetujui DPR-RI untuk menjadi UU ASN ini menegaskan pengisian
jabatan pimpinan tinggi utama dan madya pada kementerian,
kesekretariatan lembaga negara, lembaga nonstruktural dan Instansi
Daerah dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan Pegawai
Negeri Sipil (PNS) dengan memperhatikan syarat kompetitif, kualifikasi,
kepangkatan, pendidikan dan latihan, rekam jejak jabatan, dan integritas
serta persyaratan lain yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
“Pengisian
jabatan pimpinan tinggi utama dan madya sebagaimana dimaksud dilakukan
pada tingkat nasional,” bunyi Pasal 108 RUU tersebut.
Adapun
pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama dilakukan secara terbuka dan
kompetitif di kalangan PNS pada tingkat nasional atau
antarkabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi dengan memperhatikan syarat
kompetitif, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan latihan, rekam
jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan lain yang dibutuhkan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut
RUU ASN ini, jabatan pimpinan tinggi utama dan madya tertentu dapat
berasal dari kalangan non-PNS dengan persetujuan Presiden yang
pengisiannya dilakukan secara terbuka dan kompetitif serta ditetapkan
dalam Keputusan Presiden. “Jabatan
Pimpinan Tinggi dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggita Polri setelah
mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan sesuai dengan
kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan
kompetitif,” bunyi Pasal 109 Ayat (2) RUU ASN ini.
RUU
ini menegaskan, bahwa pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi dilakukan oleh
Pejabat Pembina Kepegawaian dengan terlebih dahulu membentuk panitia
seleksi Instansi Pemerintah, dan dalam pembentukan kepanitiaan harus
berkoordinasi dengan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). “Panitia
seleksi terdiri dari unsur internal maupun unsur eksternal Instansi
Pemerintah yang berangkutan,” bunyi Pasal 100 Ayat (2) RUU ASN.
Ketentuan
mengenai pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud dapat
dikecualikan pada Instansi Pemerintah yang telah menerapkan Sistem Merit
dalam pembinaan Pegawai ASN dengan persetujuan KASN. “Instansi
Pemerintah yang telah menerapkan Sistem merit dalam pembinaan Pegawai
ASN wajib melaporkan secara berkala kepada KASN untuk mendapatkan
persetujuan,” bunyi Pasal 111 Ayat (2) RUU ASN itu.
Untuk
pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan/atau madya, panitia seleksi
Instansi Pemerintah memilih 3 (tiga) nama calon untuk setiap 1 (satu)
lowongan jabatan. Tiga nama calon pejabat pimpinan tinggi itu
disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian, selanjutnya diusulkan
kepada Presiden. “Presiden memilih 1 (satu) nama dari 3 (tiga) nama
calon yang disampaikan untuk ditetapkan sebagai pejabat pimpinan tinggi
utama dan/atau madya,” bunyi Pasal 112 Ayat (4) RUU ini.
Untuk
pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama dilakukan oleh Pejabat
Pembina Kepegawaian dengan terlebihd ahulun membentuk panitia seleksi.
Selanjutnya, panitia seleksi memilih 3 (tiga) nama calon pejabat
pimpinan tinggi pratama untuk setiap 1 (satu) lowongan jabatan untuk
disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian melalui Pejabat yang Berwenang.
“Pejabat
Pembina Kepegawaian memilih 1 (satu) dari 3 (tiga) nama yang diusulkan
dengan memperhatikan pertimbangan Pejabat yang Berwenang untuk
ditetapkan sebagai pejabat pimpinan tinggi pratama,” bunyi Pasal 113
Ayat (4) RUU ASN ini.
Untuk tingkat provinsi
Pejabat Pembina Kepegawaian mengusulkan 3 (tiga) nama calon pejabat
pimpinan tinggi madya yang dipilih panitia seleksi kepada Presiden
melalui Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya, Presiden memilih 1 (satu)
dari 3 (tiga) nama calon yang disampaikan untuk ditetapkan sebagai
pejabat pimpinan tinggi madya.
Adapun untuk
pejabat tinggi pratama di instandi daerah, Pejabat Pembina Kepegawaian
memilih 1 (satu) nama dari 3 (tiga) calon yang diusulkan panitia seleksi
melalui Pejabat yang Berwenang untuk ditetapkan dan dilantik sebagai
pejabat pimpinan tinggi pratama.
RUU ASN ini
menegaskan, Pejabat Pembina Kepegawaian dilarang mengganti Pejabat
Pimpinan Tinggi selama 2 (dua) tahun terhitung sejak pelantikan, kecuali
Pejabat Pimpinan Tinggi tersebut melanggar ketentuan peraturan
perundang-undangan dan tidak lagi memenuhi syarat jabatan yang
ditentukan.
“Penggantian pejabat pimpinan
tinggi utama dan madya sebelum 2 (dua) tahun dapat dilakukan setelah
mendapat persetujuan Presiden,” bunyi Pasal 116 Ayat (2) RUU ini.
Sementara pada Pasal 117 ditegaskan, bahwa Jabatan Pimpinan Tinggi hanya dapat diduduki paling lama 5 (lima) tahun.
Mengenai
Jabatan Pimpinan Tinggi itu, Pasal 131 RUU ASN menyebutkan, pada saat
Undang-Undang ini mulai berlaku, terhadap jabatan PNS dilakukan
penyetaraan:
a. Jabatan eselon Ia kepala lembaga pemerintah non kementerian setara dengan jabatan pimpinan tinggi utama;
b. Jabatan eselon Ia dan Ib setara dengan jabatan pimpinan tinggi madya;
c. Jabatan eselon II setara dengan jabatan pimpinan tinggi pratama;
d. Jabatan eselon III setara dengan jabatan administrator;
e. Jabatan eselon IV setara dengan jabatan pengawas; dan
f. Jabatan eselon V dan fungsional umum setara dengan jabatan pelasana.
(Ketentuan mengenai penyetaraan jabatan ini berlaku sampai dengan berlakunya peraturan pelaksana mengenai Jabatan ASN dalam Undang-Undang ini).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar