Prins David Saut - detikNews
Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki imunitas
dari pengawasan Komisi Yudisial (KY). Padahal pengawasan tersebut bisa
membantu hakim MK menjauh dari beragam godaan.
"UU No 22 Tahun
2004 tentang KY sudah benar, tapi oleh MK dibatalkan pada tahun 2006.
Itu malapetaka," kata Ketua KY Suparman Marzuki kepada detikcom, Kamis
(3/10/2013).
Sebagai informasi, pada Agustus 2006, MK menghapus
kewenangan Komisi Yudisial (KY) untuk mengawasi kinerja hakim agung dan
hakim konstitusi. Pada Agustus 2013 muncul wacana permintaan pengawasan
hakim MK oleh KY yang kembali ditolak mentah-mentah.
Suparman
berharap dengan peristiwa penangkapan Ketua MK Akil Mochtar oleh KPK
menjadi momentum untuk membuka kembali RUU pengawasan hakim konstitusi.
Ia menilai putusan MK yang sederajat dengan konstitusi harus diawasi
dengan dilakukannya perubahan konstitusi.
"Tidak ada jalan lain
selain perubahan konstitusi, putusan MK itu sederajat konstitusi
sehingga perlu amandemen konstitusi untuk KY. Jadi harapan kita ini
membuka jalan untuk membuat UU dan melihat kembali posisi ini dan
masukan dalam agenda perubahan konstitusi," ujar Suparman.
Menanggapi
Majelis Kehormatan yang akan dibentuk MK untuk menentukan nasib Akil
Mochtar, Suparman mengingatkan kepentingan masyarakat luas harus
diprioritaskan. Ia berharap anggota Majelis Kehormatan adalah orang yang
benar-benar ingin membersihkan MK.
"Yang dibutuhkan oleh
masyarakat adalah Majelis Kehormatan yang benar-benar patut dipercaya,
laik dipercaya, sehingga tepat saat duduk di Majelis Kehormatan MK itu.
Majelis Kehormatan itu bukan sekadar menelisik apa yang terjadi pada
ketua MK khususnya, tapi juga menelisik dalam rangka membersihkan MK
dari kemungkinan-kemungkinan yang diduga publik," tutup Suparman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar