Macet ibu Kota makin parah! Setidaknya dalam tiga minggu terakhir. Tidak pagi, siang, sore, malam, hari kerja, hari libur, kecepatan kendaraan rata-rata di bawah 10 kilometer per jam. Tak peduli di jalan protokol, jalan tol, underpass, flyover, sampai ke jalan tikus di kampung-kampung, semuanya pamer susu –padat merayap, susul menyusul–. Semua media, baik media mainstream maupun media sosial, penuh dengan caci maki dan sumpah serapah gara-gara mobilitas mereka tersendat. Sampai-sampai, siapa saja disalahkan! Tidak ada yang benar.
Pemerintah Pusat menyalahkan provinsi, sebaliknya provinsi melempar ke pusat. Tak ada yang bertanggung jawab, tak ada yang merasa harus menghandle dengan segera menerapkan formulasi yang konkret. Asyik, mengikuti FGD –Focus Group Discussion— di Gedung Indopos, Jumat siang kemarin. Banyak ide berseliweran, ada gagasan yang baru, ada pula yang usang, dan modifikasi antara logika lama dan baru. Banyak impian, banyak konsep, tetapi tak satupun pihak yang berdiri gagah dan menyatakan: “Yes! Ini tanggung jawab saya, dan akan saya tuntaskan 100 persen!”
Bahkan, pemerhati transportasi Jakarta, Alvinsyah dan Darmaningtyas menyebut: kekhawatiran seperti ini sudah didiskusikan sejak 15-20 tahun yang silam. Soal public transportation, soal pembatasan mobil pribadi, penambahan busway, manajemen angkutan umum, MRT, monorel, kereta listrik, penataan, pendisiplinan, feeder, parkir di stasiun, dan lainnya. Tapi, solusi ide-ide itu jalan di tempat, alias mandek dan menjadi tidak konkret. Baru ramai lagi kalau mulai musim macet tiba. Begitu seterusnya, sampai sekarang ini.
Seolah, tak ada yang berani menanggung risiko dicaci maki warga Jakarta. Tidak ada yang siap menjadi bamper, yang berada di baris terdepan sekalipun dicemooh, dikritik, dan sumpahin orang. Tidak ada yang konsisten menjaga rencana kerja dengan tangan besi! Tak ada yang teguh pendirian dan berani dengan segala risiko konflik. Yang ada hanya pengulangan-pengulangan, semacam obat pelipur lara. Maklum, bisingnya keluhan warga dan pengguna jasa transportasi di Jakarta, lebih berisik dari suara ribuan knalpot yang setiap hari merayap di jalan-jalan Jakarta.
Misalnya, menarik ide AKBP Irvan Prawira dari Polda Metro, soal pemberlakuan “Jakarta Darurat Macet.” Memindahkan status Jakarta ke dalam suasana “Darurat.” Namanya juga darurat, harus ada langkah khusus, kebijakan by pass, tindakan cepat, mungkin cenderung keras, dan pasti tidak populis. Kalau perlu diterbitkan semacam “Supersemar – Surat Perintah 11 Maret—untuk menyelamatkan Jakarta dari teror macet. Butuh status: extra ordinary macet.
Boleh saja di semua provinsi menyebut Tahun 2014 sebagai Tahun Politik, Tahun Pilpres, Tahun Pileg, tapi bukan untuk ibu kota. Jakarta lebih pantas memasuki Tahun Darurat Macet, Tahun Parkir di Jalan protokol. Teori, kajian, pemikiran ahli, sudah banyak bertumpuk, tinggal diintegrasikan, diuji coba, dijalankan di lapangan, dan dijaga konsistensinya. Namanya juga darurat, segala cara bisa diterapkan demi mengatasi macet dalam waktu cepat.
Apa ada jaminan sukses? Tidak ada yang bisa menjamin sukses cepat, apalagi kalau tidak ada political will. Harus ada kemauan yang sangat kuat dan prioritas. Bagaimana kalau dikritik, dikuliti, dicerca? Ya, itu risiko yang harus dihadapi, jika ingin lepas dari situasi “darurat.” Tidak ada darurat yang tidak mencemaskan? Lepaskan baju “kepentingan politik” dulu, tinggalkan “pencitraan” dulu, saatnya bekerja profesional untuk melawan macet. Toh kalau bisa menyelamatkan Jakarta dari “darurat macet” juga menjadi komoditas image yang spektakuler kok?
Semua sepakat, harus ada mandat untuk menyelesaikan problem darurat macet itu. Dan semua pihak harus tunduk pada pemilik mandat itu, apapun kebijakan yang bakal diterapkan. Toh tujuannya hanya satu, mengobati demam macet di Jakarta.
Langkah kecil sterilisasi jalur busway saja, suara sumbangnya sudah cetar membahana badai. Keluhan dilempar melalui jalur apa saja. Memang, semua pihak mengakui, sterilisasi itu dampaknya menambah sempit dan sesak area jalan, sementara jumlah pengendara mobil dan sepeda motor terus bertambah setiap hari. Di perempatan, per tigaan, traffic light mengular ke mana-mana. Waktu tempuh menjadi bertambah lama. Jam kerja molor. Appointment selalu ngaret. Pemborosan BBM makin menjadi-jadi. Ekonomi biaya mahal.
Tetapi, positifnya, penumpang busway naik 20 ribu sampai 30 ribu orang per hari? Tinggal menunggu penambahan jumlah armada saja? Dengan begitu jumlah penumpang yang terangkut semakin missal, sehingga sebagai moda angkutan public, busway semakin diminati. Daripada harus berlama-lama berkubang di kemacetan yang “makan ati.” Hindari penggunaan mobil pribadi, agar populasi kendaraan di jalan raya terkendali pada indeks 0,8 sampai 0,7 seperti tol. Dengan begitu, mobil bisa bergerak dengan kecepatan ideal dalam kota.
Ide Mantan Wagub DKI Prijanto lebih asyik lagi. Agar polisi tidak sibuk tilang menilang, bisa juga diberlakukan bus karyawan, bus pengangkut orang masuk ke jalur busway? Sambil menunggu bus transjakarta ditambah? Jika perlu taxi berpenumpang 3 orang, boleh menggunakan jalur busway? Maksudnya, agar jalur busway tidak kelihatan kosong dan mengguirkan pengguna jalan yang lain untuk menerobos. Teorinya, di mana ada peluang, di situ bercokol potensi pelanggaran. Cara ini untuk memaksimalkan “jalur melompong” yang sering bikin iri dan sakit hati pengguna jalan umum lain yang harus antre mengular panjang.
Ini hanyalah cara mengobati perasaan “tidak adil” buat pengguna jalan pemilik mobil pribadi, yang merasa sudah membayar pajak kendaraan mereka ke Jakarta? Sementara mereka macet-macet, jalur sebelah kosong? Dengan cara itu, jalur busway lebih optimal untuk mengangkut manusia secara massal. Dari sinilah, disiplin berlalulintas itu tidak melulu mencari salah, menangkap pelanggar jalur busway, tetapi memaksimalkan penggunakan jalur busway itu untuk mobilisasi warga.
Dulu juga ada ide contraflow. Jalur busway diganti arah, berlawanan dengan jalur umum. Pasti, 100 persen tidak ada yang berani melanggar, karena sangat berbahaya. Bisa bertabrakan muka v muka dengan busway. Tetapi, ide ini banyak ditentang karena potensi kecelakaannya terlalu besar. Level disiplin orang kita masih belum cukup untuk langkah ekstrim ini.
AKBP Irvan mengakui, melompongnya “jalur kanan” di tengah stagnansi jalur kiri itu saja masih merepotkan aparat lapangan. Sekalipun aturannya jelas, menyerobot jalur busway, tilang. Denda maksimal, mobil Rp 1 juta, sepeda motor Rp 500 ribu. Tetapi, begitu aturan di koridor 1-3-5-6-9-10 ini diterapkan, ada-ada saja peristiwa yang membuat geli. Misalnya, pria bersorban melanggar, justeru menceramahi polisi? Dia menyebut: dirinya sedang menjalankan tugas Tuhan, mengurus akhirat, ditunggu jamaah, mau mengaji, waktunya mepet, ini sudah urusan jihad! Kalau sudah kepepet, itu yang haram pun bisa jadi halal. Apalagi ini hanya urusan duniawi? Mengurus lalulintas!
Ada pula orang yang marah-marah dan melawan petugas? Karena kemarin-kemarin tidak seketat ini? Kenapa sekarang diketati? Petugas sedang nyari-nyari ya? Ada juga yang berdebat, demi alasan kemanusiaan, ada urusan urgen, jika tidak menerobos bisa mengakibatkan orang lain celaka? Dan sebagainya? “Orang kita ini pintar-pintar pak?” kata AKBP Irvan, yang acap menghadapi dinamika lapangan yang unik.
Ada pula orang yang marah-marah dan melawan petugas? Karena kemarin-kemarin tidak seketat ini? Kenapa sekarang diketati? Petugas sedang nyari-nyari ya? Ada juga yang berdebat, demi alasan kemanusiaan, ada urusan urgen, jika tidak menerobos bisa mengakibatkan orang lain celaka? Dan sebagainya? “Orang kita ini pintar-pintar pak?” kata AKBP Irvan, yang acap menghadapi dinamika lapangan yang unik.
Adakah wartawan yang nerobos jalur busway? “Ada, banyak! Ceritanya juga lucu-lucu,” jawab Irvan. Oke, tak usah dijawab. Saya tahu, kira-kira alasannya begini: Buru-buru kejar peristiwa? Lagi liputan khusus, menuju Mabes Polri? Atau janjian sama Kapoltabes, Kapolres, Kapolsek mana? Ada yang menunjukkan ID Card media? Ada yang menunjukkan foto bersama Kapolri? Ada yang mempertontonkan phonebook-nya pejabat-pejabat berbintang di Trunojoyo? Ada yang mempertontonkan wajah sedih, pilu, dan mengesankan harus ditolong cepat? Ada juga yang SKSD – Sok Kenal Sok Dekat. Menyapa petugas, dengan ramah dan friendly! Yang pasti, kalau ada wartawan Indopos masih menerobos jalur busway, jangan dikasih ampun! Tiada maaf. Tilang saja, titik. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar