BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Senin, 22 Desember 2014

Maaf Istri Selamatkan Suami dari Bui, Ini Kata MA Atas Kritik Meutya Hafid

Andi Saputra - detikNews
Jakarta - Ketua International Forum of Parlementarian on Population and Development (IFPPD) Indonesia, Meutya Hafid menilai putusan MA di kasus Sidarta merupakan langkah mundur. MA meminta anggota DPR tersebut jangan memakai kacamata kuda.

Putusan Mahkamah Agung (MA) ini menerima maaf dan pencabutan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami Kamini, istri Sidarta. Padahal pencabutan aduan itu telah habis masa tenggang waktu yang ditentukan Pasal 75 KUHP.

"Perkara KDRT harus dilihat dan dipahami secara holistik, tidak kacamata kuda menghukum penjara pelaku," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur kepada detikcom, Senin (22/12/2014).

Kamini dianiaya Sidarta karena tidak mau diajak berhubungan badan dan dituduh mempunyai pria idaman lain (PIL). Selain itu, Sidarta juga menendang, memukul dan mencakar Kamini supaya mau bercinta dengannya. Puncak penolakan itu, Kamini lalu ditampar. Sidarta yang ditutupi amarah lalu menarik baju Kamini hingga terlepas dan Kamini hanya memakai BH lari ke luar rumah dan berteriak-teriak minta tolong.

Meski mengalami kekerasan, tapi Kamini memaafkan suaminya, enam bulan setelah ia melaporkan ke aparat kepolisian. MA menerima pencabutan perkara itu dan Sidarta pun lolos dari ancaman 5 tahun penjara.

"Kepentingan korban dan relasi domestik (anak-anak dan lain-lain) harus menjadi pertimbangan seperti nafkah, kelanjutan biaya anak-anak sekolah, yang dalam banyak perkara KDRT/ domestic violence, banyak persoalan itu," ujar hakim tinggi peraih doktor di bidang mediasi penal terhadap perkara KDRT itu.

Trio hakim agung, Zaharuddin Utama-Surya Jaya-Suhadi, dalam putusannya menyatakan secara das sollen seharusnya pencabutan pengaduan tidak harus dibatasi dengan jangka waktu. Sebab pencabutan pengaduan merupakan hak asasi korban yang dapat dilakukan setiap waktu sebelum perkara diputus pengadilan dengan putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

"Keterlambatan pencabutan pengaduan saksi korban, jangan dimaknai secara legalistic positivic, tetapi lebih dimaknai penyelesaian secara damai berkeadilan yang menguntungkan saksi korban dan terdakwa demi terciptanya kebenaran dan keadilan," putus Zaharudin, Surya Jaya dan Suhadi dengan suara bulat.

Sebelumnya, Meutya menyesalkan putusan MA yang melepaskan Sidarta dari ancaman 5 tahun penjara, meski Kamini telah memaafkan penganiayaan yang dilakukan Sidarta kepadanya.

"Kita sedang melawan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan memberi edukasi untuk perempuan untuk melapor kekerasan. Ini malah begini putusannya, kemunduran terhadap perlawanan KDRT di tanah air," kata Meutya.

Qonstitutional Question

Buntut dari putusan di atas,pakar hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono mengusulkan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memiliki kewenangan 'qonstitutional question'. Hal ini supaya mencegah para hakim di bawah MA dalam menerapkan hukum tidak melanggar UU karena yang berhak menafsirkan konstitusi adalah MA. Kasus di atas telah menafsirkan Pasal 75 bertentangan dengan UUD 1945.

Namun usulan itu dinilai belum tepat oleh pakar hukum tata negara lainnya, Margarito Kamis. "Tentu sangat tidak sehat dan sekaligus membahayakan demokrasi konstitusional yang kita kembangkan saat ini. Sebaiknya bangsa ini tidak mengada-ada," ujar Margarito.

Sebab hak 'qonstitutional question' akan mengubah skema keseimbangan relatif antarlembaga negara. Dengan hak 'qonstitutional question' maka memberi hak bagi MA dapat mempertanyakan segala ihwal yang dilakukan oleh lembaga negara lain, termasuk DPR, Presiden, DPR, bahkan MA.

"Bila hak itu dipositifkan, maka MK menjadi Tuhan bagi Indonesia," cetus Margarito.

Tidak ada komentar: