Jpnn
JAKARTA - Wacana
memangkas kewenangan DPR RI dalam memilih Hakim Agung di Mahkamah Agung
RI yang sempat dilontarkan Ketua DPR Marzuki Ali disambut positif pakar
hukum tata negara, Margarito Kamis. Dia mendukung bila kebijakan itu
direalisasikan.
Bicara mengenai praktik dugaan suap yang
sempat mewarnai seleksi hakim agung, Margarito menilai suap menyuap
sebenarnya tidak hanya terjadi di DPR dan tidak saja dalam kasus
pemilihan hakim agung, tapi juga dalam penganggaran.
"Nah, menurut saya, ini harus hati-hati
dipikirkan. Mengapa? Oleh karena pengangkatan hakim agung di Amerika,
misalnya, itu juga memerlukan persetujuan dari senat. Di kita ya di DPR.
Tapi, di sana tidak sesering di Indonesia," kata Margarito, Selasa
(24/9) di Jakarta.
Dalam kerangka itu, pakar hukum
Universitas Khairun Maluku Utara itu berpendapat, akan lebih baik para
seleksi hakim agung di MA sepenuhnya diikuti hakim karir dan diseleksi
serta diputuskan sepenuhnya oleh Komisi Yudisial (KY).
"Karena itu, pemilihan calon hakim agung
di MA tidak perlu lewat DPR, karena kelewat sering. Sehingga, tidak
lagi menjadi hal yang hebat. Berbeda dengan yang di Amerika. Di Amerika
itu kan seumur hidup hakimnya sedikit," ujarnya.
Karenanya, Margarito berharap, sudah
seharusnya dipikirkan pemilihan hakim agung di MA tidak lagi diserahkan
fit and propertestnya kepada DPR meski para wakil rakyat tetap
dibutuhkan konfirmasi atau persetujuannya dalam keadaan apapun. Nah,
proses seleksinya sendiri cukup dilakukan oleh KY sesuai fungsinya.
"Jadi tidak perlu dengan DPR. Walaupun
tidak ada jaminan, bahwa lembaga-lembaga itu akan steril dari praktek
suap-menyuap. Karena tidak ada lembaga apapun yang steril dari suap,"
tandas Margarito.(Fat/jpnn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar