BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Senin, 09 Desember 2013

Hari Anti Korupsi Jangan Dianggap Hanya Seremoni

RMOL. Hari Anti Korupsi Se-dunia yang jatuh setiap 9 Desember selalu dirayakan secara seremonial dan meriah. Namun, setiap tahunnya kasus korupsi selalu muncul baik di lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif. 

Aktivis dari Transparency International Indonesia (TII) Ibrahim Fahmi Badoh berharap ada perbaikan kinerja dari pemerintah dalam tugasnya mencegah dan memberantas korupsi. Mengingat, pemerintah sudah mempunyai lembaga yang menangani kasus korupsi, seperti satuan tugas (satgas) pemberantasan korupsi. 

“Sudah ada satgas, sudah ada undang-undang. Pemerintah juga sudah menandatangani ratifikasi Konvensi PBB tentang Pemberantasan Korupsi (UNCAC) dan Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi. Akan tetapi, semuanya itu belum bekerja dengan maksimal. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) harus menunjukkan komitmennya,” katanya kepada Rakyat Merdeka, kemarin. 

Menurutnya, dengan diratifikasinya UNCAC melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006. Maka perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian kembali langkah-langkah strategis yang diperlukan dalam rangka pemberantasan korupsi di Indonesia.

“Strategi yang dimaksud harus dirumuskan melalui pelibatan aktif dari berbagai pemangku kepentingan, seperti masyarakat sipil dan kalangan dunia usaha, selain peran aktif dari pemerintahan,” ujarnya. 

Kata Fahmi, momentum Hari Anti Korupsi Internasional (HAKI) setiap 9 Desember tidak hanya bersifat seremonial, tetapi bagaimana upaya melibatkan masyarakat secara luas agar menghasilkan dampak pada penyadaran isu antikorupsi. “Kita memerlukan dukungan dari banyak pihak untuk melawan praktek korupsi. Inisiatif untuk melakukan kampanye bersama menjadi bagian dari sebuah rangkaian gerakan antikorupsi,” katanya. 

Apalagi, kata Badoh, tahun politik menjadi tahun yang sangat penting untuk melakukan pendidikan antikorupsi di kalangan anak muda. Setidaknya publik memahami bahwa, korupsi terjadi akibat prilaku politisi yang kotor,”terangnya.

Berdasarkan data dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) pada tahun ini, Indonesia mengalami peningkatan peringkat menjadi 114 dari 177 negara. IPK merupakan indeks gabungan yang mengukur korupsi secara global terhadap tingkat persepsi korupsi di sektor publik, yaitu korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara dan politisi.

Ketua Masyarakat Anti Korupsi (MAKI), Boyamin Saiman menyatakan, peringatan Hari Anti Korupsi Se-dunia harus dijadikan sebagai momentum untuk memberantas segala macam bentuk korupsi. Diantaranya, menghukum koruptor lebih berat dari sekarang. Seperti penyitaan seluruh harta yang dimilik oleh koruptor dan sampai kepada pemberian hukuman mati. 

“Pemerintah harus mengambil tindakan tegas. Selama ini koruptor masih bisa hidup dengan mewah dan mendapatkan hukuman yang terlalu ringan. Dengan diberikan hukuman yang berat, diharapkan bisa menekan jumlah terjadinya tindak pidana korupsi,” katanya.

Menurutnya, pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah masih kurang maksimal. Terlihat dari data yang ada, pada 2012 lalu terdapat 436 kasus korupsi dengan jumlah tersangka 1.053 orang. Potensi kerugian negara akibat korupsi ini adalah Rp 2,169 triliun. 

“Bahkan, koruptor yang tertangkap pun masih bisa senyam senyum dan seakan dilindungi oleh pemerintah. Mereka tidak merasa malu meskipun sudah menyandang status sebagai koruptor. Artinya, segala macam hukuman yang diberikan belum mampu membuat orang kapok untuk berbuat korup,” tegasnya.

Masyarakat Lokal Dapat Dampak BurukPerkebunan Sawit Meningkat Tajam

Tingginya pertumbuhan perkebunan sawit di Indonesia menyisakan dampak buruk bagi masyarakat lokal. Masyarakat dari sejumlah daerah mulai mengeluhkan dampak perkebunan sawit terhadap kehidupan mereka. 

Tak hanya itu, perkebunan sawit juga dinilai merusak tradisi masyarakat lokal. 

Sejumlah perwakilan warga dari beberapa desa komunitas yang hidup di atas permukaan air rawa Hulu Sungai Utara (HSU) Kalimantan Selatan, datang ke Jakarta untuk mengungkapkan permasalahan yang mereka hadapi akibat daerahnya marak dengan perkebunan sawit. 

Perwakilan warga, Haji Karani, mengungkapkan ada ancaman terhadap kehidupan tradisional masyarakat pedesaan di Kalimantan Selatan.“Warga Desa Bararawa, Tampakang, Paminggir, Sapala, Amabahai di Kecamatan Paminggir tak dapat dipisahkan hidupnya dari perairan rawa tempat tinggal mereka,” katanya.

Dia menyebutkan hingga tahun 2013 peternak kerbau rawa di Kecamatan Paminggir mencapai 300 Kepala Keluarga dengan populasi kerbau hingga 10 ribu ekor.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Selatan, Dwitho Frasetiandy, menerangkan sebelumnya tahun 2012 Bupati HSU telah menolak 2 permohonan perizinan oleh 2 perusahaan di lokasi itu. Namun, setelah terjadi pergantian bupati, bupati yang baru malah mengeluarkan izin lokasi perkebunan kelapa sawit seluas 10.079 hektar.

“Izin yang dikeluarkan oleh Bupati HSU ini bertentangan dengan beberapa peraturan,” ujarnya. 

Komnas HAM Desak Pemerintah Aksesi FCTC

Petani Tembakau Minta Tak Dirugikan 

Pengendalian terhadap produk-produk tembakau di Indonesia masih terhalang. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak pemerintah untuk aksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sekarang juga.

Komnas HAM berpendapat, terkait pentingnya pemerintah Indonesia dalam pengendalian produk tembakau khususnya rokok, bertolak belakang pada keutamaan perlindungan hak atas kesehatan dan hak atas lingkungan yang sehat bagi seluruh rakyat Indonesia. Dari dampak buruk produk tembakau yang dapat menyebabkan berbagai macam gangguan kesehatan.

Komisioner Sub Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Rohiatul Aswidah mengatakan, rokok sendiri memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang untuk kehidupan manusia. “Dampak secara tidak langsung adalah hak pendidikan bagi anak-anak menjadi terganggu, dan dampak secara langsungnya yaitu jangka panjangnya, seperti kesehatan bahkan kematian,” katanya.

Dia juga menambahkan, sampai saat ini, Indonesia tidak memiliki aturan hukum yang kuat dan komprehensif untuk melindungi generasi kini dan yang akan datang, dari paparan produk tembakau khususnya rokok dan asap rokok di Indonesia.

“Kita  beryakinan salah satu jalan yang harus diambil oleh pemerintah adalah dengan mengaksesi FCTC di mana tujuan mulia dari instrumen ini tegas dimaksudkan,” ujarnya.

Dengan dasar tersebut, maka Komnas HAM mendesak kepada pemerintah untuk mengupayakan diaksesinya FCTC bagi Indonesia. Hal ini penting mengingat pengendalian produk tembakau yang tidak komprehensif, menjadikan Indonesia sebagai tujuan pasar industri rokok yang dapat melemahkan ketahanan bangsa sekaligus mengabaikan perlindungan terhadap hak atas kesehatan.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Tengah, Agus Parwuji menyatakan, konvensi FCTC dinilai bisa menumbuhkan rokok putih di masyarakat dan menggeser rokok kretek. Hal itu juga merugikan petani tembakau dan cengkeh di Indonesia.

“Kami yang tergabung dalam Koalisi Nasional Penyelamat Kretek (KNPK) secara tegas menolak ratifikasi FCTC diberlakukan,” kata Agus dalam keterangan pers di Jakarta, kemarin.

Menurutnya, salah satu pasal dalam ratifikasi FCTC adalah diberlakukannya standarisasi tembakau secara internasional. Jika ini diberlakukan lanjutnya, dampaknya pada industri menengah kecil, terutama petani tembakau. “Bisa terjadi impor tembakau dalam skala besar besar. Bagi industri besar Impor enggak ada masalah, tapi buat petani tembakau lokal justru itu yang menjadi masalah,” katanya.

Koordinator Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) Zulvan Kurniawan menambahkan, semua pihak harus sungguh-sungguh memperhatikan apa isi FCTC yang katanya bertujuan untuk semata kesehatan masyarakat. “Pokok keberatan kami dan petani tembakau umumnya, adalah pada Pasal 9, 10 dan 17 dari FCTC,” katanya.

Perjuangkan Hidup Layak Di Negeri Sendiri
Yasmine Soraya, Sekjen IMWU NL

Sekretaris Jenderal Indonesia Migrant Workers United Netherland (IMWU NL) Yasmine Soraya mempunyai impian besar bahwa pembangunan Indonesia bisa tersebar dan merata. Sehingga tidak ada lagi warga Indonesia yang mencari kerja di luar negeri.

Wanita kelahiran Surabaya 14 Juni 1981 ini menyatakan, hampir semua pekerja bermigrasi untuk mencari penghidupan yang lebih layak dan kesejahteraan. Bila pekerja dapat meraih kehidupan layak dan kesejahteraan di Indonesia, maka tak perlu mereka bermigrasi. 

“Dalam hal mencapai kehidupan layak, segala sistem pun tidak dapat menghentikan migrasi dan usaha manusia untuk mencapai kesejahteraan. Buktinya, pekerja migran Indonesia, entah sektor formal informal, high skills-low skills, berdokumen ataupun tidak, tersebar diseluruh dunia, di berbagai negara, tidak hanya negara yang merupakan negara penempatan resmi saja,” katanya kepada Rakyat Merdeka. 

Menurutnya, hal yang harus mendapatkan perhatian adalah perlindungan bagi para pekerja migran. Karena bermigrasi dan mencari kehidupan layak merupakan hak asasi setiap manusia. Perbaikan sistem dan peraturan pun harus selalu dilakukan dan disesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi terkini di lapangan.

Lulusan Master Hukum Perburuhan Eropa dan Internasional dari Universitas Tilburg, Belanda ini menceritakan, kegiatan nya cukup padat. Yasmine mengkoordinasikan seluruh kegiatan yang juga dilakukan rekan-rekan sejawat. Adapun kegiatannya terbagi menjadi beberapa hal. Diantaranya, support dan asistensi, administrasi keuangan, lobby dan campaign, media, website, pelatihan dan information nights, riset, organising dan mobilising anggota , serta networking.

Dari kegiatan tersebut, semuanya menjadikan pengalaman yang sangat berkesan di IMWU NL, Karena segala bentuk perjuangan selama ini dilakukan secara bersama-sama, dari buruh dan untuk buruh. “Mungkin karena kami semua merantau di negara orang dan jauh dari keluarga. Maka disini (di Belanda) kami bersatu sebagai keluarga yang saling menjaga, saling bergotong royong, solidaritas yang tinggi antar sesama. Semua pengalaman entah baik dan buruk merupakan pembelajaran dan pendewasaan diri untuk saya selama ini,” ujar lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.

Menurutnya, bekerja di negeri orang bukanlah hal yang mudah. Karena, selain jauh dari keluarga, harus menyesuaikan dengan budaya di negara setempat, bersaing dengan banyak orang yang kompeten, sektor  kerja yang terbatas, kendala bahasa dan etos kerja yang sangat disiplin jika dibandingkan dengan orang Indonesia. 

“Namun, seiring berjalannya waktu, nanti semua itu akan terbiasa. Mayorityas masyarakatnya terbuka dalam menyampaikan kritikan, friendly dan suka memberikan solusi kepada sesame,” tandasnya.

PBNU Sarankan Indonesia Keluar Dari WTO
Banyak Merugikan Kepentingan Indonesia

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta pemerintah mempertimbangkan kemungkinan keluar dari keanggotaan organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO). Soalnya, WTO dinilai lebih banyak merugikan kepentingan Indonesia.

“Selama ini WTO lebih menguntungkan negara-negara dengan suprastruktur pertanian, teknologi, dan jaringan yang kuat, dan merugikan negara berkembang seperti Indonesia. Karena itu sudah seharusnya pemerintah mempertimbangkan keluar dari keanggotaan WTO,” kata Ketua PBNU KH Abbas Mu’in dalam pernyataan tertulisnya.

PBNU memandang bahwa dari aspek kepentingan masyarakat, keanggotaan Indonesia di WTO lebih banyak kerugian dibandingkan manfaatnya. Menurutnya, Indonesia lebih baik menggunakan pendekatan hubungan bilateral dalam hal perdagangan tanpa harus bergantung dan terikat dengan WTO.

Menyikapi pelaksanaan Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-9 di Bali, PBNU mengingatkan pemerintah, dalam hal ini Menteri Perdagangan Gita Wirjawan untuk tidak menelorkan kesepakatan yang merugikan petani. Terutama soal agenda pencabutan subsidi pertanian.

PBNU meminta pemerintah untuk mendukung sikap India yang tidak ingin menegoisasikan masalah cadangan pangan demi membela kepentingan nasional, melindungi rakyat untuk mendapatkan harga pangan yang murah.”Bagi rakyat Indonesia, lebih bermanfaat kalau KTM WTO Bali tidak menghasilkan kesepakatan,” katanya.

Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dengan 250 juta yang sebagian besar masih mengandalkan sektor pertanian. Persaingan dengan produk pangan impor akan berakibat pada matinya petani Indonesia yang memiliki daya saing lebih rendah. 

Sementara itu, setelah melalui perundingan alot selama lima hari, KTM-WTO akhirnya mencapai kesepakatan yang disebut dengan Paket Bali. Menurut Direktur Jenderal WTO, Roberto Azevedo, Paket Bali sangat bersejarah karena menjadi kesepakatan pertama yang dihasilkan WTO. 

“Untuk pertama kalinya dalam sejarah, WTO telah berhasil. Sebelumnya, saya menantang Anda semua, di Bali, untuk menunjukkan kemauan politik yang diperluka untuk sampai haris akhir, dan ternyata berhasil,” kata Azevedo, seperti dikutip dari situs WTO.

Sehari sebelumnya, banyak kalangan khawatir paket Bali tidak bisa disepakati. Sebab, India dan negara maju masih bersitegang mengenai subsidi petani dan ketahanan pangan. Setelah India melunak, kini mereka mencapai kesepakatan. ***

Tidak ada komentar: