PAKAR bahasa Meity Taqdir
Qodratillah mengaku suatu kali pernah kaget ketika ditelepon seorang
staf Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Apa salah saya, ya?" ujar ketua redaksi
pelaksana penyusunan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa
Edisi IV tersebut dalam diskusi bahasa dengan tim Jawa Pos di Graha Pena
Surabaya kemarin (11/11).
Ternyata, si staf bertanya tentang
sebagian isi UU No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dia ingin meminta
penjelasan soal kalimat "Setiap pejabat atau penyelenggara negara wajib
melaporkan harta kekayaannya kepada KPK, baik saat menjabat maupun
setelah menjabat".
"Maksud undang-undang itu sudah jelas,
pejabat yang sudah tidak aktif tetap harus melaporkan harta kekayaannya.
Namun, si staf KPK itu rupanya tidak paham," tutur perempuan kelahiran 9
Mei 1961 tersebut.
Dalam kapasitasnya sebagai pakar bahasa,
Meity kerap berinteraksi dengan pejabat dari berbagai institusi.
Misalnya, dia beberapa kali diundang DPR untuk memberikan masukan dalam
penyusunan undang-undang.
Bahkan, saat era Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY), dia menjadi sosok yang kerap dimintai pertimbangan sebelum
presiden menyampaikan pidato kenegaraan. Suatu kali, SBY kurang sreg
dengan penggunaan frasa "hari yang berbahagia". Dia ingin menggantinya
dengan "hari yang membahagiakan".
Meity pun menyetujuinya. "Iya, tidak apa-apa. Itu kan berkaitan dengan logika bahasa," tutur ahli bahasa asal Bandung tersebut. (suf/c5/ttg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar