HISTORIA.CO.ID - Pegawai negeri harus melayani dan mengabdi, bukan jadi priyayi.
PRESIDEN
Joko Widodo dalam sambutan di hari jadi Korps Pegawai Republik
Indonesia (Korpri) ke-43 pada 1 Desember 2014, meminta para pegawai
negeri sipil agar meninggalkan mental priyayi atau penguasa. “Jadilah
birokrat yang melayani dan mengabdi dengan sepenuh hati untuk kejayaan
dan kesejahteraan rakyat Indonesia,” kata Jokowi.
Sosiolog Harsya W. Bachtiar menyebutkan,
golongan yang dahulu dinamakan priyayi sekarang muncul dalam bentuk
korps pegawai negeri sipil. Persamaannya, cara bekerjanya tidak
diarahkan pada prestasi profesional tetapi untuk naik pangkat.
“Meskipun gajinya yang resmi relatif
kecil, para warga yang tingkat tinggi di dalam korps ini berusaha dengan
segala cara untuk memiliki dan memamerkan simbol-simbol status sosial
mereka. Orang Jawa mengatakan seperti priyayi dahulu garing nanging garang (biar kering tetapi bergengsi),” tulis Harsya dalam Menuju Indonesia yang Demokratis, Adil & Pluralis.
Menurut sejarawan Ong Hok Ham dalam Dari Soal Priayi sampai Nyi Blorong,
gaya hidup mewah kaum priyayi membuat pemerintah kolonial harus
mengontrol mereka. Soalnya, “setiap pemerintah khawatir bila pejabatnya
hidup mewah di luar kemampuan mereka dan tidak loyal.”
Priyayi berasal dari kata para yayi (para adik), maksudnya adik raja dalam arti abstrak. “Kata ini diterangkan oleh masyarakat Jawa melalui jarwa dhosok,
etimologi yang timbul di masyarakat luas. Faktual atau tidaknya
keterangan etimologi itu sukar dibuktikan, sebab kata priyayi tidak
didapati pada teks-teks yang lebih tua dari abad 19,” tulis Sartono
Kartodirjo, dkk., dalam Perkembangan Peradaban Priyayi.
Betapapun memiliki kekuasaan absolut,
seorang raja tidak dapat memerintah sendiri dan bergantung pada kaum
priyayi. Karena itu, Ong mengartikan priyayi sebagai sekelompok kecil
orang yang diberi jabatan atau mendapat mandat dari raja untuk membantu
memerintah rakyat. Kelompok kecil ini diangkat karena jasanya dalam
perebutan kekuasaan, hubungan darah, favoritisme, atau keturunan.
Kendati demikian, seorang keturunan priyayi bila tidak memiliki jabatan
bukanlah priyayi. Sebaliknya, anak petani atau lurah yang mendapat
jabatan kecil, tergolong priyayi.
“Priyayi, pendek kata,” tulis Ong,
“adalah alat raja dan bukan anggota birokrasi dalam pengertian sekarang.
Tugas mereka kebanyakan hanyalah mengumpulkan pajak, tenaga kerja, dan
lain-lain demi kepentingan kerajaan. Fungsi priyayi dalam masyarakat
tidak ada sehingga priyayi lebih tepat disebut elite penguasa daripada
birokrasi.”
Adalah Herman Willem Daendels, gubernur
jenderal Hindia Belanda (1808-1811), yang melahirkan konsep negara
modern pertama di Indonesia dengan birokrasi yang rasional. Daendels
dikenal sebagai “Marsekal Guntur” karena sikapnya yang tegas dan radikal
terhadap penyelewengan. Aparatur pemerintah Hindia Belanda, yang kelak
disebut Binnenlandsche Bestuur (BB), sering disebut sebagai
contoh klasik dari birokrasi modern. Korps pegawai kolonial ini sebagian
besar adalah orang-orang Belanda yang berpendidikan tinggi.
Selain BB, pemerintah Hindia Belanda menerapkan dual system dengan mempertahankan kaum priyayi atau pangreh praja (mereka yang memerintah negara) atau Inlansche Bestuur (penguasa
bumiputera). Sehingga, sering disebut pemerintahan kolonial tidak
langsung. Kaum priyayi dibutuhkan pemerintah kolonial demi menggenjot
hasil agraria ekspor seperti gula, kopi, dan teh.
Kaum priyayi tidak terganggu kedudukannya
di masa pendudukan Jepang, malahan digunakan. Ketika Indonesia merdeka,
mereka juga menjadi unsur penting dalam negara baru. Sebab, selain
berpendidikan modern atau Barat, mereka mempunyai pengalaman memerintah
sejak lama.
“Pegawai negeri Indonesia kini, yang terkenal dengan Korpri, biarpun dari sudut kebangsaan berasal dari pangreh praja atau Inlandsche Bestuur, namun sebagai lembaga dari BB,” tulis Ong.
Yang
mengherankan, lanjut Ong, BB ini berasal dari aparatur VOC yang korup
tetapi dapat ditransformasi menjadi sesuatu yang modern dan tidak korup.
Selain itu BB dikenal cukup efisien dan jujur. Hal ini karena beberapa
hal yang mendukungnya, seperti perbaikan gaji, pendidikan, pembagian
tugas yang jelas, tanggungjawab, dan juga l’esprit de corps (semangat sejabatan).
(Historia - Hendri F. Isnaeni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar