"Jangan sandarkan kebijakan pada ulama," kata PKS memperingatkan pemerintah.
VIVAnews – Awal minggu ini, Majelis Ulama Indonesia berkunjung ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk membahas budaya hemat energi. Usai kunjungan tersebut, MUI mengkaji fatwa haram bagi pengguna BBM bersubsidi atau premium.
Ketua MUI Amidhan menyatakan, dilihat dari segi hak, tidak etis apabila subsidi untuk orang miskin diambil oleh orang mampu. “Mengambil jatah orang miskin itu bisa mengarah ke pelanggaran HAM. Setahu saya, orang kaya yang mempunyai mobil mewah juga tidak mau membeli BBM jenis premium,” kata Amidhan.
Namun kajian fatwa haram BBM bersubsidi tersebut langsung mendapat reaksi keras dari sejumlah masyarakat. MUI dinilai tidak pada ranahnya apabila mengeluarkan fatwa soal BBM. Hal itu dipandang sebagai ranah kebijakan pemerintah yang tidak seharusnya dicampuradukkan dengan persoalan agama.
PKS, salah satu partai koalisi pendukung pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, lantas meminta pemerintah untuk menempatkan ulama secara bijak dalam menghadapi persoalan bangsa. “Ulama diperlukan untuk memberi masukan bagi substansi kebijakan pemerintah, tapi pemerintah harus bertanggung jawab penuh untuk kebijakan yang akan mereka ambil,” kata Ketua Fraksi PKS Mustafa Kamal kepada VIVAnews, Rabu 29 Juni 2011.
“Jangan sandarkan kebijakan pada ulama. Jangan jadikan ulama tameng bagi kebijakan pemerintah. Itu merendahkan ulama,” ujar Mustafa lagi. Ia meminta pemerintah menempatkan ulama pada proporsinya. Pemerintah, lanjut Mustafa, harus mengambil kebijakan secara mandiri.
“Soal BBM, ini kok malah seperti menaruh ulama di depan. Seharusnya pemerintah yang berada di depan,” tegas Mustafa. MUI sendiri belum resmi memutuskan fatwa soal BBM. “Itu hanya usulan, belum ditetapkan sebagai fatwa,” kata Amidhan.(np)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar