VIVAnews - Setelah empat bulan ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Akil Mochtar akhirnya muncul perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis 30 Januari 2014. Akil hadir sebagai saksi untuk tiga terdakwa kasus suap pengurusan sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas di Mahkamah Konstitusi, yakni Chairun Nisa, Hambit Bintih dan Cornelis Nalau.
Tiba di pengadilan, raut wajah Akil yang dikawal petugas KPK tampak tenang. Memakai baju batik rangkap baju tahanan KPK warna orange, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu mantap bersaksi untuk tiga terdakwa sekaligus. Akil sendiri merupakan tersangka kasus suap pengurusan perkara sengketa Pilkada di MK dan juga tersangka tindak pidana pencucian uang.
Di awal persidangan, Akil Mochtar sempat mengaku tak nyaman duduk di kursi saksi. Namun ketua majelis hakim, Suwidya, memastikan hakim akan bersikap netral dan memposisikan Akil sebagai saksi pada umumnya. Di depan hakim, Akil terus terang mengungkapkan, lamanya penyidikan kasus ini membuat sebagian keterangan sudah tak diingatnya lagi.
Tapi Akil belum lupa soal permintaan '3 ton emas' yang disampaikannya melalui pesan singkat atau SMS kepada anggota DPR Chairun Nisa. Di persidangan sebelumnya, Nisa membeberkan adanya permintaan '3 ton emas' dari Akil Mochtar sebagai mahar mengurus sengketa Pilkada. Nisa menegaskan, bahwa '3 ton emas' yang dimaksud Akil Mochtar itu dijelaskan pada SMS Akil berikutnya adalah uang senilai Rp3 miliar. "Itu bergurau saja," kata Akil di persidangan.
Chairun Nisa sendiri merupakan pihak yang diminta calonincumbent Bupati Gunung Mas, Hambit Bintih untuk membantu mengurus sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas yang digugat pasangan bakal calon Bupati, Jaya Samaya Monong-Daldin ke MK.
Saat itu, Akil berdalih hanya bergurau dengan Chairun Nisa, mantan rekannya saat masih menjadi anggota DPR dari fraksi partai Golkar periode 1999-2004. Ia mengaku tidak membicarakan besaran imbalan yang harus dibayarkan untuk menangani perkara.
"Di SMS itu, dia kan tidak sebut kabupaten, tapi Gunung Mas saja. Jadi saya bercanda saya, 'berapa ton emasnya'. Begitu," ujarnya. Lagipula kata Akil, sengketa Pilkada Gunung Mas saat itu belum didaftarkan.
Jaksa penuntut umum pada KPK, Sri Pulung Rinandono yang diberi kesempatan bertanya oleh majelis hakim meminta Akil Mochtar jujur soal permintaan '3 ton emas' itu. Sri Pulung lantas mencecar Akil mengenai SMS bersama Chairun
Nisa. "Maksudnya apa sebut 3 ton?" desak Jaksa Sri Pulung.
"Ya, '3 ton emas' kan berikutnya ada SMS lanjutannya. Itu biaya pengurusan perkara. Kalau dia mau minta tolong ya siapkan segitu (Rp3 miliar)," sahut Akil.
Akil tak lagi bisa mengelak. Ia mengakui bahwa Hambit Bintih memang
meminta bantuannya untuk menangani sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas yang digugat ke MK melalui seorang anggota DPR, Chairun Nisa. Kalau Hambit bersedia membayar Rp3 miliar itu, Akil berjanji memenangkannya dalam perkara itu. Akil lalu meminta Hambit Bintih menyiapkan uang fee Rp3 miliar dalam bentuk dolar Amerika Serikat untuk mempermudah pemberian.
Sebagai perantara, jasa Chairun Nisa memang tidak gratis. Mantan bendahara Majelis Ulama Indonesia itu sempat meminta fee yang diminta Akil Mochtar dibagi dua. Namun usulan Nisa ditolak Akil. Menurut Akil, bila Nisa juga meminta jatah atas pengurusan sengketa Kabupaten Gunung Mas, maka calon Bupati incumbent harus menyediakan uang Rp9 miliar.
"Saya betul jawab begitu, maksudnya kalau satu dia, satu saya, itu kurang kalau Rp3 miliar, harusnya jadi Rp9 miliar," kata Akil. Tapi Nisa menyebut, permintaannya ke Akil itu hanya candaan. Nisa sendiri telah menerima uang Rp75 juta dari Hambit Bintih. Baca Nisa terima uang dari Hambit untuk naik haji.
Tiba di pengadilan, raut wajah Akil yang dikawal petugas KPK tampak tenang. Memakai baju batik rangkap baju tahanan KPK warna orange, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu mantap bersaksi untuk tiga terdakwa sekaligus. Akil sendiri merupakan tersangka kasus suap pengurusan perkara sengketa Pilkada di MK dan juga tersangka tindak pidana pencucian uang.
Di awal persidangan, Akil Mochtar sempat mengaku tak nyaman duduk di kursi saksi. Namun ketua majelis hakim, Suwidya, memastikan hakim akan bersikap netral dan memposisikan Akil sebagai saksi pada umumnya. Di depan hakim, Akil terus terang mengungkapkan, lamanya penyidikan kasus ini membuat sebagian keterangan sudah tak diingatnya lagi.
Tapi Akil belum lupa soal permintaan '3 ton emas' yang disampaikannya melalui pesan singkat atau SMS kepada anggota DPR Chairun Nisa. Di persidangan sebelumnya, Nisa membeberkan adanya permintaan '3 ton emas' dari Akil Mochtar sebagai mahar mengurus sengketa Pilkada. Nisa menegaskan, bahwa '3 ton emas' yang dimaksud Akil Mochtar itu dijelaskan pada SMS Akil berikutnya adalah uang senilai Rp3 miliar. "Itu bergurau saja," kata Akil di persidangan.
Chairun Nisa sendiri merupakan pihak yang diminta calonincumbent Bupati Gunung Mas, Hambit Bintih untuk membantu mengurus sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas yang digugat pasangan bakal calon Bupati, Jaya Samaya Monong-Daldin ke MK.
Saat itu, Akil berdalih hanya bergurau dengan Chairun Nisa, mantan rekannya saat masih menjadi anggota DPR dari fraksi partai Golkar periode 1999-2004. Ia mengaku tidak membicarakan besaran imbalan yang harus dibayarkan untuk menangani perkara.
"Di SMS itu, dia kan tidak sebut kabupaten, tapi Gunung Mas saja. Jadi saya bercanda saya, 'berapa ton emasnya'. Begitu," ujarnya. Lagipula kata Akil, sengketa Pilkada Gunung Mas saat itu belum didaftarkan.
Jaksa penuntut umum pada KPK, Sri Pulung Rinandono yang diberi kesempatan bertanya oleh majelis hakim meminta Akil Mochtar jujur soal permintaan '3 ton emas' itu. Sri Pulung lantas mencecar Akil mengenai SMS bersama Chairun
Nisa. "Maksudnya apa sebut 3 ton?" desak Jaksa Sri Pulung.
"Ya, '3 ton emas' kan berikutnya ada SMS lanjutannya. Itu biaya pengurusan perkara. Kalau dia mau minta tolong ya siapkan segitu (Rp3 miliar)," sahut Akil.
Akil tak lagi bisa mengelak. Ia mengakui bahwa Hambit Bintih memang
meminta bantuannya untuk menangani sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas yang digugat ke MK melalui seorang anggota DPR, Chairun Nisa. Kalau Hambit bersedia membayar Rp3 miliar itu, Akil berjanji memenangkannya dalam perkara itu. Akil lalu meminta Hambit Bintih menyiapkan uang fee Rp3 miliar dalam bentuk dolar Amerika Serikat untuk mempermudah pemberian.
Sebagai perantara, jasa Chairun Nisa memang tidak gratis. Mantan bendahara Majelis Ulama Indonesia itu sempat meminta fee yang diminta Akil Mochtar dibagi dua. Namun usulan Nisa ditolak Akil. Menurut Akil, bila Nisa juga meminta jatah atas pengurusan sengketa Kabupaten Gunung Mas, maka calon Bupati incumbent harus menyediakan uang Rp9 miliar.
"Saya betul jawab begitu, maksudnya kalau satu dia, satu saya, itu kurang kalau Rp3 miliar, harusnya jadi Rp9 miliar," kata Akil. Tapi Nisa menyebut, permintaannya ke Akil itu hanya candaan. Nisa sendiri telah menerima uang Rp75 juta dari Hambit Bintih. Baca Nisa terima uang dari Hambit untuk naik haji.
Akil Bantah Beri Diskon Pilkada Palangkaraya
Di sidang perkara suap penanganan Gunung Mas juga terungkap dugaan Akil Mochtar 'bermain' pada Pilkada Kota Palangkaraya. Saat itu, Chairun Nisa mengaku pernah memberikan keterangan ke penyidik KPK tentang adanya setoran sebesar Rp2 miliar untuk pengurusan sengketa Pilkada Kota Palangkaraya di MK pada Agustus 2013.
Namun saat hakim anggota Alexander Marwata soal itu, Akil Mochtar langsung membantah. Dia mengaku tidak pernah menerima uang Rp2 miliar untuk Pilkada Palangkaraya. Ia bahkan tak pernah berhubungan dengan Sekjen Golkar, Idrus Marham yang disebut Nisa menginisiasi suap Pilkada Palangkaraya.
Berita-berita di media, kata dia tidak benar. Isu itu pun baru didengarnya dalam persidangan kali ini. "Mungkin saya orang yang tidak bersih, tapi saya bukan orang yang menggadaikan kehormatan," tegasnya.
Tak berhenti sampai di situ, Hakim Alexander kemudian menanyakan soal istilah 'diskon' dalam Pilkada Palangkaraya yang disebut Akil dalam SMS-nya kepada Chairun Nisa.
Saat itu SMS Chairun Nisa kepada Akil berbunyi, "Palangkaraya 2 ton." Namun kemudian Akil menjawabnya, "Itu kan didiskon."
Akil mengakui menyebut pengurusan Palangkaraya 'didiskon'. Namun diskon yang dimaksud bukan soal besaran duit melainkan kepentingan masyarakat Palangkaraya. "Artinya diskon tidak ada pembayaran," terang Akil.
Istilah 'kepentingan umat' kembali didalami hakim. Akil pun menjelaskan bahwa wali kota yang dimenangkannya itu adalah seorang muslim.
"Walikota muslim dan dia menang itu kepentingan umat. Maksud saya untuk kepentingan masyarakat di sana. Saya jawab untuk Palangkaraya untuk kepentingan umat, itu diskonnya untuk masyarakat," ungkap Akil.
Akil juga menyangkal telah mengatur panel hakim MK untuk mengkondisikan penanganan perkara gugatan Pilkada di MK. Menurut Akil, penentuan panel suatu perkara ditentukan oleh ketua dengan mekanisme yang telah ditentukan. Sehingga kata dia, tidak mungkin Ia bisa memilih perkara sesuai permintaan.
"Karena kalau jatuh ke panel saya terus nanti panel dua, tiga dan empat, diprotes saya di rapat pimpinan hakim nanti," tuturnya.
Akil Mochtar ditetapkan sebagai tersangka kasus suap penanganan sengketa Pilkada Kabupaten Lebak dan Kabupaten Gunung Mas di MK. Akil dijerat Pasal 12 huruf c Undang-undang Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP, atau Pasal 6 ayat 2 Jo Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.
Selanjutnya Akil juga dijerat dengan dugaan menerima gratifikasi atau penerimaan hadiah terkait penanganan perkara di lingkungan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Akil dijerat Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 ayat 2, dan atau Pasal 12B Undang-undang Nomor 31 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, Jo Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.
Mantan Anggota Komisi III DPR itu juga dijerat Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8/2010 tentang pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Akil diduga telah menggunakan rekening orang lain dan menggunakan perusahaan keluarga untuk menempatkan, mengalihkan, menyamarkan, menyembunyikan asal usul dana yang patut diduga berasal dari tindak pidana. (umi)
Di sidang perkara suap penanganan Gunung Mas juga terungkap dugaan Akil Mochtar 'bermain' pada Pilkada Kota Palangkaraya. Saat itu, Chairun Nisa mengaku pernah memberikan keterangan ke penyidik KPK tentang adanya setoran sebesar Rp2 miliar untuk pengurusan sengketa Pilkada Kota Palangkaraya di MK pada Agustus 2013.
Namun saat hakim anggota Alexander Marwata soal itu, Akil Mochtar langsung membantah. Dia mengaku tidak pernah menerima uang Rp2 miliar untuk Pilkada Palangkaraya. Ia bahkan tak pernah berhubungan dengan Sekjen Golkar, Idrus Marham yang disebut Nisa menginisiasi suap Pilkada Palangkaraya.
Berita-berita di media, kata dia tidak benar. Isu itu pun baru didengarnya dalam persidangan kali ini. "Mungkin saya orang yang tidak bersih, tapi saya bukan orang yang menggadaikan kehormatan," tegasnya.
Tak berhenti sampai di situ, Hakim Alexander kemudian menanyakan soal istilah 'diskon' dalam Pilkada Palangkaraya yang disebut Akil dalam SMS-nya kepada Chairun Nisa.
Saat itu SMS Chairun Nisa kepada Akil berbunyi, "Palangkaraya 2 ton." Namun kemudian Akil menjawabnya, "Itu kan didiskon."
Akil mengakui menyebut pengurusan Palangkaraya 'didiskon'. Namun diskon yang dimaksud bukan soal besaran duit melainkan kepentingan masyarakat Palangkaraya. "Artinya diskon tidak ada pembayaran," terang Akil.
Istilah 'kepentingan umat' kembali didalami hakim. Akil pun menjelaskan bahwa wali kota yang dimenangkannya itu adalah seorang muslim.
"Walikota muslim dan dia menang itu kepentingan umat. Maksud saya untuk kepentingan masyarakat di sana. Saya jawab untuk Palangkaraya untuk kepentingan umat, itu diskonnya untuk masyarakat," ungkap Akil.
Akil juga menyangkal telah mengatur panel hakim MK untuk mengkondisikan penanganan perkara gugatan Pilkada di MK. Menurut Akil, penentuan panel suatu perkara ditentukan oleh ketua dengan mekanisme yang telah ditentukan. Sehingga kata dia, tidak mungkin Ia bisa memilih perkara sesuai permintaan.
"Karena kalau jatuh ke panel saya terus nanti panel dua, tiga dan empat, diprotes saya di rapat pimpinan hakim nanti," tuturnya.
Akil Mochtar ditetapkan sebagai tersangka kasus suap penanganan sengketa Pilkada Kabupaten Lebak dan Kabupaten Gunung Mas di MK. Akil dijerat Pasal 12 huruf c Undang-undang Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP, atau Pasal 6 ayat 2 Jo Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.
Selanjutnya Akil juga dijerat dengan dugaan menerima gratifikasi atau penerimaan hadiah terkait penanganan perkara di lingkungan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Akil dijerat Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 ayat 2, dan atau Pasal 12B Undang-undang Nomor 31 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, Jo Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.
Mantan Anggota Komisi III DPR itu juga dijerat Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8/2010 tentang pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Akil diduga telah menggunakan rekening orang lain dan menggunakan perusahaan keluarga untuk menempatkan, mengalihkan, menyamarkan, menyembunyikan asal usul dana yang patut diduga berasal dari tindak pidana. (umi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar