Jpnn
JAKARTA -
Pakar hukum tata negara dari Universitas Parahyangan Bandung, Jawa
Barat, Asep Warlan Yusuf mengatakan, pernyataan Direktur Eksekutif
Indikator Politik, Burhanudin Muchtadi bahwa jika hasil hitung manual
KPU tidak sesuai dengan hasil quick count (hitung cepat) lembaganya,
maka KPU curang, adalah pernyataan yang sangat naif.
"Itu pernyataan yang sangat naif yang
seharusnya tidak boleh keluar dari seorang yang menyatakan dirinya
intelektual. Ini pernyataan sombong dan menyesatkan publik. Saya harap
publik tidak terprovokasi oleh pernyataan konyol seperti ini," kata Asep
ketika dihubungi wartawan, Sabtu (11/7).
Burhanudin lanjut Asep, harusnya paham
bahwa metode statistik manapun harus menegaskan margin error, karena
hasil yang dikeluarkan bukanlah hasil sebenarnya karena dasarnya sampel
saja.
"Yang namanya metode statistik, pasti
ada margin errornya. Tidak ada hasil survei tanpa menempatkan margin
error karena data yang diambil juga hanya sampel," jelasnya.
Semakin kecil margin error, semakin baik
kualitas survei yang dilaksanakan. "Dalam survei hitung cepat ini,
margin error biasanya ditetapkan 1-2 persen. Artinya para pembuat survei
menyadari ada kesalahan sampai 2 persen. Dan karena perbedaan suara
yang tipis berkisar dua persen, maka bisa saja kesalahan itu terjadi
sehingga orang yang seharusnya menang menjadi kalah dalam survei dan
orang yang seharusnya kalah jadi menang," ujarnya.
Dengan fakta tersebut kata Asep,
seharusnya tidak boleh ada lembaga survei menyatakan bahwa hasil survei
mereka paling tepat sebab ada margin error atau kesalahan.
"Sangat aneh, kok dia bisa-bisanya
menuduh hasil hitungan KPU yang salah. Semua akademisi pasti akan
menolak hasil pernyataan sombong seperti ini, karena Burhanudin kesannya
mengklaim bahwa survei yang dilakukannya tanpa margin error dan ini
tidak akan mungkin diakui," ujar Guru Besar itu.
Asep mengakui mungkin saja hasil hitung
manual yang dilakukan KPU ada kesalahan ataupun kecurangan. Tapi bukan
berarti hitung cepat tanpa kesalahan dan kecurangan. Jika KPU yang
menjadi lembaga resmi negara saja dan hasilnya adalah putusan
konstitusional bisa salah, apalagi lembaga survei yang ikut menjadi
bagian tim sukses yang dimenangkannya dalam survei.
"KPU memiliki legitimasi konstitusional
dan hasilnya pun konstitusional. Kalau memang dirasa hasil KPU ada
kelemahan, kekurangan atau kecurangan, maka ada MK yang akan
mengadilinya. Hasil KPU itu sah sebelum dibatalkan oleh MK. Jadi yang
berhak membatalkan itu MK dan bukan lembaga survei. Sengketa pemilu
diselesaikan lewat pengadilan dan bukan dengan pernyataan yang
memprovokasi seolah KPU curang, padahal diumumkan pun belum hasilnya,"
imbuh Asep. (fas/jpnn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar