INILAH.COM, Jakarta - Pengamat hukum dari Universitas Islam
Indonesia, Muzakir menilai prosedur seleksi hakim agung yang ikut
melibatkan DPR tidak tepat. Pasalnya, DPR adalah instrumen politis
sedangkan jabatan hakim untuk lembaga yudikatif.
"Tidak harus melalui DPR, karena DPR instrumen politis," ujarnya melalui sambungan telepon, di Jakarta, Minggu (23/12/2012).
Menurut
dia, seleksi hakim yang ikut melibatkan DPR justru dapat mempengaruhi
independensi hakim itu sendiri. "Hakim jadi tidak independen, dia akan
tersandera oleh prosedur pemilihan itu," tambahnya.
Karena itu,
dia mengusulkan adanya perubahan prosedur dalam seleksi hakim agung.
Calon hakim agung yang telah melalui seleksi administratif di Komisi
Yudisial (KY), kemudian diseleksi oleh dewan ahli yang berasal dari
akademisi, dan bukan DPR. Misalnya, bila Mahkamah Agung meminta
penambahan hakim dari kamar pidana, maka tim yang ahli dalam hukum
pidana yang melakukan seleksi terhadap calon hakim tersebut.
Seleksi
seperti ini akan jauh lebih efektif, karena diseleksi oleh orang yang
independen dan benar-benar ahli di bidangnya. "KY mempunyai kompetensi
secara administrasi, tapi selanjutnya dewan ahli yang memutuskan," ujar
Muzakir.
Sebelumnya, KY sudah mengirimkan 24 nama calon hakim
agung ke Komisi III DPR untuk dilakukan seleksi. Namun, hingga kini
proses seleksi belum juga selesai, karena masih menunggu masa reses DPR.
Padahal, kebutuhan akan hakim agung kian mendesak untuk menyelesaikan
tumpukan perkara di Mahkamah Agung. [yeh]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar