INILAH.COM, Jakarta – Penaikan harga gas elpiji 12
kilogram dinilai sebagai hak Pertamina untuk menutupi dekapitalisasi
kerugian bisnis. Pemerintah tak memiliki kewenangan mengintervensinya.
David Cornelis, Head of Research KSK Financial Group mengatakan, saat negara lain menurunkan harga elpiji, Indonesia justru menaikan elpiji 12 kg di awal tahun 2014ini. “Jika ini terus terjadi akan ada efek inflasinya sekitar 0,25% terhadap inflasi di tahun 2014,” katanya kepada INILAH.COM.
Kenaikan tersebut, lanjut David, terjadi di sela menurunnya harga komoditas dunia dan di tengah gonjang-ganjing makro ekonomi di dalam negeri. “Antara lain, melemahnya pertumbuhan ekonomi dan rupiah, meningginya inflasi, tingkat bunga dan defisit,” ujarnya.
Penaikan tersebut, kata dia, adalah murni aksi korporasi Pertamina. Tujuannya, untuk menutupi dekapitalisasi kerugian bisnis. Kenaikan itu juga merupakan hak perusahaan yang tanpa perlu izin pemerintah. “Pemerintah tidak memiliki kewenangan mengintervensinya,” timpal dia.
Harga elpiji tersebut, David menegaskan, ditentukan oleh mekanisme pasar monopolis Pertamina. “Bisnis rugi, padahal Pertamina tahun 2013 lalu berada di peringkat 122 Fortune 500 dengan target sebagai perusahaan energi terbesar di Asia Tenggara 11 tahun mendatang,” ungkap dia.
Pertamina juga berencana membangun Menara Pertamina yang merupakan proyek pemerintah dengan menelan biaya sekira Rp8 triliun. Pembangunan ini demi mengalahkan Menara Kembar Petronas. “Padahal, harga jual elpiji di Malaysia 37% jauh lebih murah dibandingkan di Indonesia,” ucapnya.
Menara tersebut ditargetkan selesai 6 tahun mendatang. Padahal selama 6 tahun terakhir Pertamina merugi sebesar Rp22 triliun. Menara tersebut akan menjadi gedung tertinggi di Indonesia di atas lahan 5,7 hektare, suatu angka yang persis sama dengan besaran kerugiannya di tahun 2013, yaitu 5,7 triliun.
Dengan alasan untuk membuka pasar elpiji, Pertamina justru dibolehkan untuk menaikkan harga. “Sebab, harga yang murah dianggap sebagai predator dan menghambat para pemain baru di industri ini,” tuturnya.
Elpiji sebagai kebutuhan energi utama negara Indonesia yang sangat bergantung pada konsumsi kelas menengah, harga elpiji 12 kg naik sebesar 68%, sedangkan di ujung paling timur Indonesia harganya sudah mencapai 2,5 kali lipat. “Ironis, ketika melihat besarnya anggaran subsidi energi hingga Rp282 triliun,” ungkap dia.
David menengarai, jumlah 3 Menteri Koordinasi dan 2 Sekretaris (Negara dan Kabinet) masih kurang memadai untuk menggelar diskusi ketahanan energi nasional jauh sebelum gaduh kenaikan harga elpiji di pasar.
Koordinasi juga kurang memadai dengan Presiden, Wapres, Meneg BUMN, Menteri ESDM, Dirut Pertamina, Waket DPR dan Sekjen Demokrat agar tidak kaget satu dengan yang lainnya. “Padahal satu semester lalu sekitar akhir Juli, pemerintah memberi lampu hijau ke Pertamina,” imbuhnya. [jin]
David Cornelis, Head of Research KSK Financial Group mengatakan, saat negara lain menurunkan harga elpiji, Indonesia justru menaikan elpiji 12 kg di awal tahun 2014ini. “Jika ini terus terjadi akan ada efek inflasinya sekitar 0,25% terhadap inflasi di tahun 2014,” katanya kepada INILAH.COM.
Kenaikan tersebut, lanjut David, terjadi di sela menurunnya harga komoditas dunia dan di tengah gonjang-ganjing makro ekonomi di dalam negeri. “Antara lain, melemahnya pertumbuhan ekonomi dan rupiah, meningginya inflasi, tingkat bunga dan defisit,” ujarnya.
Penaikan tersebut, kata dia, adalah murni aksi korporasi Pertamina. Tujuannya, untuk menutupi dekapitalisasi kerugian bisnis. Kenaikan itu juga merupakan hak perusahaan yang tanpa perlu izin pemerintah. “Pemerintah tidak memiliki kewenangan mengintervensinya,” timpal dia.
Harga elpiji tersebut, David menegaskan, ditentukan oleh mekanisme pasar monopolis Pertamina. “Bisnis rugi, padahal Pertamina tahun 2013 lalu berada di peringkat 122 Fortune 500 dengan target sebagai perusahaan energi terbesar di Asia Tenggara 11 tahun mendatang,” ungkap dia.
Pertamina juga berencana membangun Menara Pertamina yang merupakan proyek pemerintah dengan menelan biaya sekira Rp8 triliun. Pembangunan ini demi mengalahkan Menara Kembar Petronas. “Padahal, harga jual elpiji di Malaysia 37% jauh lebih murah dibandingkan di Indonesia,” ucapnya.
Menara tersebut ditargetkan selesai 6 tahun mendatang. Padahal selama 6 tahun terakhir Pertamina merugi sebesar Rp22 triliun. Menara tersebut akan menjadi gedung tertinggi di Indonesia di atas lahan 5,7 hektare, suatu angka yang persis sama dengan besaran kerugiannya di tahun 2013, yaitu 5,7 triliun.
Dengan alasan untuk membuka pasar elpiji, Pertamina justru dibolehkan untuk menaikkan harga. “Sebab, harga yang murah dianggap sebagai predator dan menghambat para pemain baru di industri ini,” tuturnya.
Elpiji sebagai kebutuhan energi utama negara Indonesia yang sangat bergantung pada konsumsi kelas menengah, harga elpiji 12 kg naik sebesar 68%, sedangkan di ujung paling timur Indonesia harganya sudah mencapai 2,5 kali lipat. “Ironis, ketika melihat besarnya anggaran subsidi energi hingga Rp282 triliun,” ungkap dia.
David menengarai, jumlah 3 Menteri Koordinasi dan 2 Sekretaris (Negara dan Kabinet) masih kurang memadai untuk menggelar diskusi ketahanan energi nasional jauh sebelum gaduh kenaikan harga elpiji di pasar.
Koordinasi juga kurang memadai dengan Presiden, Wapres, Meneg BUMN, Menteri ESDM, Dirut Pertamina, Waket DPR dan Sekjen Demokrat agar tidak kaget satu dengan yang lainnya. “Padahal satu semester lalu sekitar akhir Juli, pemerintah memberi lampu hijau ke Pertamina,” imbuhnya. [jin]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar