Jpnn
DENGAN ransel Samsonite
dan sepatu Nike, Jeffry Kurniawan tidak berbeda dengan anak-anak muda
Korea yang modis. Dengan bahasa Korea yang lancar, dia tak segan
bertanya kepada orang setempat bila butuh informasi atau menawar
sesuatu.
Siapa sangka kemampuannya beradaptasi
dan menikmati kemakmuran Korea itu berawal dari menjalani ’’lakon
bonek’’ dengan sikap optimistis.
Jeffry mem-bonekke Korea 12 tahun lalu,
saat Piala Dunia 2002 di Korea Selatan yang jadi tuan rumah bersama
Jepang. Karena ingin menonton on the spot, dia nekat mengurus paspor dan
membeli tiket maskapai Asiana pulang-pergi (PP) sekitar Rp 9 juta.
Dengan status turis, Jeffry memang harus menunjukkan tiket PP. Uang
sakunya hanya USD 100.
Ongkos itu diperoleh dari menggadaikan
BPKB Panther milik orang tuanya. ’’Saya waktu itu tidak tahu apa-apa
soal Korea, termasuk bahasa Korea. Saya juga tak punya kenalan di
Korea,’’ katanya saat bertemu Jawa Pos di kawasan Namdaemun, pusat Kota
Seoul, Kamis (26/6).
Kenekatan seperti itu sudah biasa dia
lakukan saat ’’mbonek’’. Rumahnya di Platuk Donomulyo, dekat Stadion
Gelora 10 Nopember, turut menyuburkan jiwa boneknya.
Uang seratus dolar itu jelas tidak cukup
untuk menonton masuk stadion. Bahkan, saat turun dari Bandara Incheon,
Jeffry bingung mau ke mana. Pemuda grapyak itu pun berusaha mencari
kenalan. Ternyata, ada turis dari Indonesia yang mau ke tengah Kota
Seoul. ’’Saya ikut saja, naik bus. Dia yang bayari,’’ ungkap putra
Soekir dan Ningsih tersebut.
Begitu di tengah Kota Seoul, Jeffry
terus mencari kenalan sembari nonton bareng (nobar) pertandingan Piala
Dunia di jalanan. Dia juga ingin mencari peluang untuk mewujudkan
obsesinya yang lain: mencari kerja. Selama tiga tahun sejak lulus SMAN 3
Surabaya, dia memang masih glundang-glundung (menganggur).
Jeffry merasa membuat orang tua sepet
(sebal). ’’Orang tuaku bilang, mumpung ada bola (Piala Dunia), kamu
berangkat ke Korea sana. Cari pekerjaan sekalian di sana,’’ ujar anak
ketiga di antara empat bersaudara tersebut.
Meski semua asing, dia nekat. ’’Seperti
Tarzan masuk kota. Huruf alfabet pun jarang kami temui,’’ terangnya.
Dari tanya sana-sini, dia kebetulan bertemu pemuda asal Kediri yang
bernama Nanang di stasiun subway.
Nanang asal Kediri yang merupakan
pekerja pabrik pembuat bumper mobil itu memberikan info bahwa ada broker
yang mau mencarikan pekerjaan buat ’’arbeit’’ (istilah untuk part
timer).
Jeffry gembira. Apalagi pembayaran untuk
broker Mr Kim itu diberikan setelah dirinya mendapat gaji. Besarnya USD
200 sekali potong pada gaji pertama.
’’Kalau tidak cocok, broker bertanggung jawab mencarikan pekerjaan sampai pindah tiga kali,’’ jelas Jeffry.
Dia juga diberi penginapan serta makan
di dalam kamar-kamar dari kontainer bersama para pekerja part timer
lainnya. Satu kontainer berukuran 40 feet diisi 16 pekerja, seperti
sarden.
Pekerjaan pertama Jeffry di pabrik
Darwuk Jaekwan itu adalah mengepres kaleng seperti kaleng racun nyamuk,
tapi diisi elpiji. Elpijinya diimpor dari Indonesia. Sebanyak 30 persen
elpiji kalengan itu diekspor.
Gaji Jeffry 2.600 Korean won (KRW) per
jam (sekarang sekitar Rp 26 ribu, dulu sedikit lebih rendah). Sebulan
bisa dapat KRW 700.000 (sekitar Rp 7 juta karena dipotong broker KRW
200.000) Gaji itu cukup rendah untuk ukuran Korea. Hiruk pikuk Piala
Dunia 2002 segera terlupakan, terganti oleh kesibukan kerja. Di
perusahaan dengan 350 karyawan itu, Jeffry satu-satunya orang asing.
Statusnya sebagai pekerja asing ilegal
terusik ketika pemerintah mengumumkan pengetatan. Perusahaan yang
mempekerjakan mereka akan disanksi. Kebanyakan pekerja asing tersebut
berasal dari Tiongkok dan Rusia. Sangat jarang yang berasal dari
Indonesia seperti Jeffry.
’’Aku pusing, waktu itu baru dua bulan
kerja. Saya dikeluarkan dari perusahaan tersebut,’’ ungkap Jeffry. Dia
dikembalikan ke broker.
Saat menganggur seminggu, dia mendapat
informasi dari teman di mes kontainer itu. Ada perusahaan Sacul, pembuat
filter angin mobil, yang mau mengambil risiko. Jeffry pun bekerja di
sana. Dia menggambarkan, pekerjaan tersebut membuat dia tidak bisa
beringsut.
Setiap 58 detik keluar dua filter angin
cetakan baru di kanan kiri. Semasa masih lunak, sisa cetakannya harus
dipotong agar rapi dan presisi. Kalau telat memotong, filter angin itu
mengeras dan rusak kalau dipotong. ’’Untuk ke toilet pun tak sempat,’’
katanya.
Jeffry hanya bisa bertahan 50 hari di
Sacul. Dia lalu pindah ke pabrik kulkas khusus untuk menempatkan es krim
atau barang beku lain di supermarket. Sekitar empat bulan di sana, dia
harus keluar. Sebenarnya keluar kebijakan pemutihan atau legalisasi bagi
pekerja asing. Namun, harus ada jaminan perusahaan yang mau
mempekerjakan. Perusahaan itu tidak mau.
’’Lalu, saya sendirian meminta pekerjaan
ke perusahaan pengalengan dulu. Lewat mandor saya, Lee-dong Hee.
Ternyata, perusahaan mau memberikan pekerjaan dan menjamin,’’ ungkapnya.
Dengan kebijakan pemutihan itu, para
pekerja ilegal yang sudah enam bulan dan tidak lebih dari dua tahun akan
diberi visa pekerja legal. Kebijakan tersebut meningkatkan statusnya
dari pekerja lepas ke pekerja tetap.
Jeffry harus meneken surat legalisasi
dengan enam meterai KRW 60.000 di kantor imigrasi. Seluruh dokumen
bertulisan Korea dia teken saja, meski ’’Saya tidak ngerti,” ujarnya.
Benar-benar nekat.
Gaji Jeffry meningkat menjadi KRW
900.000 (sekitar Rp 9 juta) tanpa dipotong jasa broker. Dia juga pindah
ke asrama perusahaan (dapat makan tiga kali sehari). Kejelasan status
tersebut mendorongnya mulai serius belajar bahasa Korea demi kemajuan
pekerjaannya.
Dia juga mulai bisa mengirim uang kepada
orang tuanya di Surabaya, 90 persen gajinya. Sebab, semua kebutuhan
sehari-hari dijamin perusahaan. ’’Saya mulai bisa beli HP. Waktu itu ada
Nokia sekitar KRW 350.000,’’ ungkapnya. Sekarang Nokia sudah tersingkir
di Korea oleh kemonceran Samsung.
Dari bonek, Jeffry mulai serius mengurus
legalitas. Setelah masa berlaku visa kerjanya habis, dia pulang pada
2007. Hampir setahun, seminggu tiga kali, dia menekuni bahasa Korea di
Universitas Surabaya (Ubaya).
Penguasaannya lancar, apalagi
pengajarnya native speaker Korea. Selepas itu, dia masuk lagi ke Korea
sebagai tenaga kerja legal, lewat BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia). ’’Masuknya harus tes dan saya
lulus,’’ kata Jeffry bangga.
Dia bekerja di pabrik kusen dan pintu
pres dari logam. Gaji pokoknya KRW 1.400.000 (sekitar Rp 14 juta), belum
termasuk lembur. Lalu, dia pindah lagi dan kini di perusahaan Mark Line
di pinggiran Seoul, Yoggok.
Jeffry kini bekerja sebagai operator
mesin hot stamping. Yakni, pengecapan merek atau label dengan teknologi
pemanasan seperti sablon modern. Gajinya sekitar KRW 2.000.000 (sekitar
Rp 20 juta).
Kemakmuran pun datang. Uang kirimannya
ke Surabaya dibelikan tanah dan digunakan untuk membangun kos-kosan 12
kamar pada 2008. Investasinya bertambah dengan empat kamar kos-kosan
yang kelasnya lebih tinggi. Penghasilan dari kos-kosan yang dikelola
orang tuanya itu lumayan, sekitar Rp 5 juta sebulan.
Untuk rumah pribadi, Jeffry membeli
tanah 8 x 13 meter di kawasan Sidotopo. Dia sedang menyelesaikan
bangunan tersebut. ’’Sekarang sedang ngedek,’’ katanya. Setelah didek
cor beton untuk lantai dua, finishing menyusul. Rumah itu dibangun untuk
siap-siap bila Jeffry kembali ke Surabaya.
Meski mampu menyiapkan masa depan, Jeffry masih mencari pendamping hidup. Usianya sudah cukup matang.
Dia lahir 15 Maret 1980 (versi Korea 15
Maret 1979, karena ditambah setahun dengan hitungan sejak dari
kandungan). Dia mengaku tidak sempat mencari pacar di Korea. Selain
kendala budaya, dia berfokus ke pekerjaan sejak pukul 09.00 hingga
18.00. Dia juga mengaku belum punya pacar di Surabaya.
Meski masih jomblo, Jeffry merasa
bahagia bekerja di Korea. Dia juga terlibat dalam aktivitas sosial yang
diselenggarakan Pemkot Seoul lewat Seoul Center. Yakni, acara pelayanan
kesehatan gratis rutin untuk para pekerja asing.
’’Saya menjadi relawan untuk
interpreter. Sebab, banyak pekerja asing yang sulit berbahasa Korea,’’
jelasnya. Karena aktivitas itu, Jeffry pernah dijamu dan dipelesirkan
pemerintah Seoul.
Menurut dia, pemerintah setempat memperlakukan pekerja asing dengan sangat baik, tidak diskriminatif.
Semua pekerja juga diberi kelonggaran
saat musim Piala Dunia seperti saat ini. Apabila ada pertandingan yang
berlangsung pagi, yakni pukul 05.00 hingga selesai hampir pukul 07.00,
jam kerja mulai pukul 08.00 atau 09.00 bisa diundur mulai pukul 10.00,
namun dikompensasi dari jam pulang.
Jeffry pun bisa menikmati Piala Dunia
kali ini dengan gembira. ’’Tanpa sadar, saya sudah empat Piala Dunia di
Korea,’’ ungkapnya. (*/c5/dos)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar