Jpnn
JAKARTA - Situasi panas di Kampus Universitas Simalungun (USI), Sumut, rupanya belum sampai ke telinga para petinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kemendikbud.
Sekretaris Ditjen Dikti, Patdono
Suwignya mengakui, dirinya belum mendengar kabar kisruh di USI, pasca
pelantikan Amrin Saragih menjadi Rektor USI oleh Ketua Yayasan USI
Masdin Saragih, yang mendapat penolakan keras dari kubu Hisarma Saragih.
Meski demikian, saat ditanya bagaimana
sebaiknya mekanisme penyelesaian konflik di USI, Patdono mengatakan,
pihak Kopertis Wilayah X yang mestinya segera mengambil langkah upaya
penyelesaian. "Kopertis memberikan bimbingan dan menengahi persoalan,"
kata dia kepada JPNN, kemarin.
Dia menyarankan, lebih baik ditempuh
dulu cara dialog untuk menyelesaikan konflik di USI itu. "Semua
persoalan harus diselesaikan dengan cara yang baik, dengan mengacu pada
ketentuan yang berlaku," kata dia.
Seperti diketahui, kisruh di USI sudah
akut, hingga pada taraf kontak fisik antara dua kelompok mahasiswa yang
menolak dan mendukung pelantikan Amrin Saragih sebagai rektor. Bentrok
terjadi di depan Kampus USI, Jalan SM Raja Pematang Siantar.
Kasus USI ini mirip-mirip dengan yang
terjadi di Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), yang hingga kini
juga belum kelar. Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO
yang juga pengamat pendidikan, Arief Rachman, pernah mengatakan, dalam
kasus konflik di universitas, biasanya sulit didamaikan.
Biasanya, lanjut dia, konflik terjadi karena ada perbedaan visi yang tajam antara kedua kubu yang berseteru.
Menurutnya, jika salah satu kubu tidak punya visi pendidikan, maka akan sulit mencari titik temu.
"Kalau satu kubu motifnya mencari uang, satunya lagi punya visi pendidikan, ya tidak akan ketemu," ujar Arief Rahman.
Dengan argumen itu, Arief yakin, upaya mediasi yang dilakukan Kemendikbud, lewat Kopertis, juga akan gagal, alias sia-sia.
Menurut Arief, perbedaan pendapat dan
sikap di dunia pendidikan itu sebenarnya biasa. Hanya saja, jika
pihak-pihak yang berbeda pendapat masih memiliki visi yang sama yakni
untuk memajukan dunia pendidikan, pasti lah upaya perdamaian bisa cepat
dilakukan.
Karenanya, menurut dia, satu-satunya
solusi untuk mengakhiri konflik adalah menunggu kesadaran diri dari
kedua kubu, untuk kembali kepada visi pendidikan yang murni. Upaya
mediasi oleh siapa pun, katanya, tidak akan membuahkan hasil manis jika
masih ada pihak yang memiliki motif ekonomi dalam mengelola lembaga
pendidikan.
"Jika sudah tidak memikirkan nasib mahasiswanya, itu namanya tak lagi punya visi pendidikan," cetus Arief.
Apa yang disampaikan Arief terbukti dalam kasus UISU. Proses mediasi sudah dilakukan Kopertis, tapi konflik tak juga reda.
Sampai-sampai, dalam kasus UISU, Mendikbud M Nuh jengkel, dan mengancam tidak akan mengakui kedua kubu yang berseteru.
Konflik internal Yayasan UISU
berlangsung sejak 2006. Dua kubu yang berseteru yakni kubu Helmi
Nasution dan kubu Hj Syahriani AS.
Konflik mulai membesar saat terjadi
pengambilalihan kampus UISU di Jalan Sisingamangaraja Medan oleh kubu
Helmi. Kubu Syahriani lantas membuka kampus baru di Jalan Karya Bhakti.
Berdasarkan putusan MA Nomor
150/K/TUN/2008 tanggal 16 Februari 2009, yang menang adalah kubu
Syahriani. Faktanya, putusan MA juga tak mempan untuk meredakan konflik.
Apakah konflik di USI juga akan berlarut seperti yang terjadi di UISU? Semoga tidak. (sam/jpnn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar