BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Sabtu, 28 Mei 2011

Pemimpin DPR Atur Anggaran Terjadi Sejak Lama

INILAH.COM, Jakarta- Sekretariat Nasional Forum Transparasi untuk Anggaran Indonesia (Seknas Fitra) mengapreasi Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR Wa Ode Nurhayati yang berani mengungkapkan adanya praktik pemimpin DPR yang diduga ikut mengatur-mengatur anggaran.
Meski bukan barang baru, tapi apa yang dilakukan Nurhayati adalah hal baru yang dilakukan oleh seorang anggota DPR berani mengungkapkan hal yang tidak benar.
“Ini adalah terobosan baru yang dilakukan anggota DPR, sebaiknya memang harus ada orang dalam yang berani membongkar, bukan hanya orang luar seperti kita dan dianggap hanya mencari-cari (kesalahan),” ujar Koordinator Investigasi dan Advokasi FITRA, Ucok Sky Khadafi ketika dihubungi INILAH.COM, Sabtu (28/5/2011).
Anggota Banggar dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Wa Ode Nurhayati buka suara soal adanya pimpinan DPR yang diduga ikut mengatur-atur anggaran. Dia mengungkapkan seorang Wakil Ketua DPRI RI menyurati Menteri Keuangan untuk menyetujui pos anggaran daerah.
"Itu yang saya maksud bukan Pak Marzuki Alie tapi salah satu wakil ketua DPR yang kirim surat ke Menkeu," ujar Wa Ode Nuryahati.
Surat itu katanya, jika disetujui Menkeu, maka bisa merugikan 120 kabupaten yang belum mendapatkan pos anggaran. "Jadi konteksnya surat itu menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain yaitu 120 daerah. Makanya saya minta agar masalah ini dibahas lagi di Banggar," jelasnya.
Namun akibat diungkapkannya hal ini ke publik, Ketua DPR RI, Marzuki Alie kemudia melaporkan Nurhayati ke BK DPR RI dengan alasan tidak etis menyebutkan pimpinan DPR sebagai penjahat anggaran karena ikut mengatur pos anggaran di Banggar DPR.
Sebaliknya, menurut Ucok, apa yang diungkapkan Nurhayati sebenarnya bukan hal baru lagi dari sekian banyak praktik yang terjadi di lembaga legislatif itu, khususnya yang berkaitan dengan uang. Apa lagi alasannya kalau bukan untuk memenuhi kebutuhan partai politik sebagai modal operasional. Sudah menjadi keharusan bagi anggotanya yang duduk di parlemen untuk menyetor ke parpol.
“Permainan seperti itu biasa, sejak reformasi, dimana parpol dan anggota DPR membutuhkan dana untuk mempertahankan kekuasaan atau pengaruhnya untuk memperoleh akses yang lebih pada akses anggaran. Tugas pimpinan parpol adalah meminta jatah dari angggota DPR yang duduk pada komisi yang basah,” tandas Ucok. Lalu katanya, pos-pos yang memiliki potensi anggaran paling besarlah yang selalu dikebut untuk menyetor ke partai politik.
Bahkan, lanjutnya, praktik untuk mendapatkan itu kini dilakukan sudah tanpa rasa malu seperti ketika masih sebelum reformasi. Mereka dengan jujur minta bagian mereka ketika berhasil menggolkan anggaran yang diperjuangkan. “Sebelum reformasi, masih ada malu, dan anggota DPR RI meminta bagian masih terserah berapa jumlahnya yang memberikan,” pungkas Ucok.

Tidak ada komentar: