BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Kamis, 25 Agustus 2011

Mahkamah Agung Baru Kasih Sanksi 8 Hakim

RMOL. Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan laporan triwulan April hingga Juni 2011. Dalam laporan tersebut, MA memberikan sanksi disiplin terhadap 27 orang pegawainya. Dari 27 orang itu, delapan diantaranya menjabat sebagai hakim. Siapa saja mereka?

Lembaga yang dikomandoi Ha­rifin Tumpa itu memberikan sank­si kepada delapan hakim yang terbukti melakukan pelang­garan. Tiga diantaranya diberikan huku­man disiplin berat. Lima ha­kim diberikan hukuman ringan. Ada­­lah hakim berinisial Syf yang men­dapatkan hukuman disipilin berat.

Berdasarkan laporan MA, ha­kim Syf menjabat sebagai hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dia mendapatkan sanksi berupa pemberhentian sementara sebagai hakim dan juga PNS.

Menurut laporan MA, hakim Syf merupakan salah satu hakim yang tertangkap tangan oleh Ko­mi­si Pemberantasan Korupsi (KPK) sekaligus menjadi tahanan lembaga superbodi tersebut. Dia mendapatkan rekomendasi pem­ber­hentian sementara setelah su­rat keputusan MA Nomor 088/KMA/SK/V1/2011terbit pada 6 Juni 2011. Jika dilihat dari inisial dan latar belakang masalahnya, ke­mungkinan besar hakim ber­inisial Syf ini ialah hakim Sya­rifuddin Umar yang ditangkap KPK lantaran disangka mene­rima suap sebesar Rp 250 juta pada penanganan kasus PT Sky Camping Indonesia (PT SCI).

Selanjutnya, ada hakim ber­inisial Ed yang juga diberikan sanksi berat berupa mutasi seba­gai hakim non palu selama dua tahun, ditambah pencabutan tun­jangan remunerasi selama masa menjalani hukuman tersebut. Me­nurut laporan MA, hakim Ed me­rupakan hakim Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Pada 24 Mei 2011, Majelis Ke­hormatan Hakim (MKH) me­ngeluarkan rekomendasi bahwa ha­kim Ed terbukti menerima uang sebesar Rp 102,5 juta untuk jasa memberikan bantuan pengu­rusan perkara di tingkat kasasi.

Hakim yang mendapatkan sanksi disiplin berat lainnya ialah hakim yang berinisial ImD. Be­r­dasarkan laporan triwulan MA, hakim ImD merupakan hakim Adhoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Ne­geri Bandung. Hakim ImD di­re­komendasikan untuk diber­hen­ti­kan sementara sebagai hakim mu­­lai tanggal 1 Juli 2011 dengan memberikan surat keputusan MA kepada Presiden Nomor 093/KMA/H K.Ol/V11/2011.

Berdasarkan laporan MA, ha­kim ImD diberhentikan semen­tara sebagai hakim lantaran yang bersangkutan tertangkap tangan oleh KPK sekaligus menjadi ta­ha­nan lembaga superbodi itu. Jika dilihat dari jabatan dan latar belakang kasus yang membelit­nya, hakim ImD ini ialah hakim Imas Dianasari yang tertangkap tangan KPK lantaran disangka menerima suap sebesar Rp 200 juta untuk memenangkan perkara sengketa antara PT Onamba In­do­nesia dengan serikat buruh pada tingkat kasasi di MA.

Selain memberikan hukuman berat, MA juga memberikan sanksi ringan terhadap lima orang hakim yang melakukan pe­lang­garan. Adalah hakim berinisial TDJ yang menjabat sebagai Ke­pala Pengadilan Tinggi Ambon.

Berdasarkan laporan MA, ha­kim TDJ diberikan sanksi ringan be­ru­pa teguran tertulis dengan ti­dak dikurangi tunjangan remu­ne­rasi. Saat ini belum ada surat ke­putusan dari MA yang terbit un­tuk hakim TDJ. Perkaranya ma­sih diperiksa dan dir­ek­om­e­n­da­si­kan ke Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Badilum) di MA pada 27 April 2011.

Namun, laporan triwulan MA tak menyebutkan secara pasti pelanggaran yang dilakukan ha­kim TDJ, sehingga yang ber­sang­kutan mendapatkan hukuman ringan dari MA. Pihak MA hanya menulis, yang bersangkutan telah melanggar SKB Ketua MA dan Ketua KY Nomor 047 /KMA/SKB/IV /2009-02/SKB/P. KY/IV /2009 huruf C angka 2 ayat 1 dan angka 2 jo SK KMA No 215/KMA/SK/XI1/2007 pasal 4 ayat 4 dan ayat 5, pasal 12 A jo PP No 53 Tahun 2010 pasal 7 ayat 2 huruf b.

Selanjutnya, hakim berinisial ABS. ABS merupakan hakim Pe­ngadilan Tata Usaha Negara Ma­ta­ram. Dia diberikan sanksi ri­ngan berupa teguran tertulis de­ngan dikurangi tunjangan re­mu­nerasi selama tiga bulan sebanyak 75 persen tiap bulannya. Perihal surat keputusan hakim ABS, MA juga belum menerbitkannya. Saat ini yang bersangkutan telah direkomendasikan ke Direktorat Jenderal Badan Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara pada 27 April 2011.

Namun, lagi-lagi MA tak mem­berikan gambaran yang jelas me­ngenai perkara yang membelit hakim ABS. Laporan MA hanya menyebutkan, hakim ABS telah me­langgar  SKB Ketua MA dan Ke­tua KY Nomor 047 /KMA/SKB/IV /2009- 02/SKB/P. KY/IV /2009 huruf C angka 2 butir 2.2 ayat 1, SK KMA No. 215/KMA/SK/XI1/2007 pasal 13 ayat 1 jo SK KMA No. 071/KMA/SK/V /2008 pasal 21 ayat 1 huruf a angka 1.

Hakim yang diberikan sanksi ringan lainnya ialah MAPR. Dia merupakan hakim PTUN Sema­rang. Berdasarkan laporan MA, hakim MAPR diberi sanksi ri­ngan berupa teguran tertulis dan pe­motongan tunjangan remune­rasi selama tiga bulan sebanyak 75 persen. Namun, pihak MA tak menyebutkan lagi dengan jelas perkara apa yang dilanggar hakim PTUN Semarang ini. MA hanya menulis bahwa yang ber­sang­ku­tan telah melanggar SKB Ketua MA dan Ketua KY Nomor 047 /KMA/SKB/IV /2009-02/SKB/P. KY/IV /2009 huruf C angka 2 butir 2.2 ayat 1, SK KMA No. 215/KMA/SK/XII/2007 pasal 13 ayat 1 juncto SK KMA No. 071/KMA/SK/V/2008 pasal 21 ayat 1 huruf a angka 1.

Selanjutnya, hakim berinisial PP yang menjabat sebagai Kepala Pengadilan Negeri di salah satu kota yang tidak disebutkan de­ngan jelas oleh MA. Kemudian, HW yang menjabat sebagai Wa­kil Ketua Pengadilan Negeri di suatu daerah yang juga tidak di­se­butkan dengan jelas oleh MA. Me­reka berdua diberi sanksi ri­ngan berupa teguran lisan dengan tanpa dikurangi tunjangan re­mu­nerasi. Data tersebut dapat dilihat dalam situs MA, mahkamah agung.go.id.

Kisah Hakim Syarifuddin Dan Imas

Dari delapan hakim yang dibe­rikan sanksi disiplin oleh Mah­ka­mah Agung (MA), terdapat dua nama hakim yang cukup meng­he­bohkan dunia peradilan di Ta­nah Air. Betapa tidak, kedua ha­kim itu tertangkap tangan oleh KPK karena diduga menerima suap dari pihak yang berperkara. Mereka ialah hakim Syarifuddin Umar dan Imas Dianasari.

Penangkapan Syarifuddin di kawasan Sunter, Jakarta Utara, Rabu (1/6), berbuntut adegan pengejaran Kurator PT Skycam­ping Indonesia, Puguh Wirawan hingga kawasan Pancoran, Ja­karta Selatan. “Ketika hakim Sya­rifuddin ditangkap, Puguh Wirawan sudah keluar sehingga dikejar dan didapatkan di daerah pancoran,” ujar Juru Bicara Ko­misi Pemberantasan Korupsi, Johan Budi Sapto Prabowo.

Menurut Johan, penangkapan Puguh terjadi pada pukul 22.45 WIB, Rabu malam. Sementara, Syarifuddin ditangkap pada pu­kul 22.00 WIB di kediamannya, di kawasan Sunter, Jakarta Utara.

Tim penyidik KPK sudah me­ngintai rumah Syarifuddin sejak pukul 20.00 WIB. Kala itu, tim yang terdiri dari 18 orang itu me­li­hat bahwa Puguh bertamu ke rumah hakim Syarifuddin. “Se­te­lah proses diskusi dan ngobrol, maka pada pukul 22.00 WIB, tim penyidik masuk,” ujar Johan se­ra­ya menambahkan, ketika pe­nyidik masuk ke rumah Sya­ri­fud­din, ditemukan duit senilai Rp 250 juta di dalam tiga buah amplop cokelat yang dimasukkan ke dalam tas kertas warna merah.

Seusai ditetapkan sebagai ter­sangka oleh KPK, Syarifuddin dan Puguh digiring ke mobil ta­ha­nan KPK guna dibawa ke ru­mah tahanan yang berbeda, Ka­mis (2/6), sekitar pukul 18.00 WIB. Sya­rifuddin ditahan di Ru­tan Ci­pi­nang, sedangkan Wira­wan ditahan di Rutan Polda Metro Jaya.

Sementara itu, hakim Imas di­tangkap KPK pada 30 Juni 2011 saat disangka menerima sogokan sebesar Rp 200 juta dari Manajer HRD PT Onamba Indonesia Odih Juanda di Restoran La Ponyo, Cinunuk, Bandung. Sogokan itu diduga bertujuan agar MA me­nolak gugatan serikat pekerja terhadap PT Onamba.

Nggak Nendang Kalau Cuma Laporan Tertulis
Buchori Yusuf, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Buchori Yusuf mengimbau Mah­kamah Agung (MA) ja­ngan hanya sekadar mem­be­rikan sanksi administratif dalam bentuk laporan tertulis. Tetapi, katanya, MA harus mem­buk­tikan pemberian sanksi itu se­cara nyata dan terbuka kepada ma­syarakat. Sehingga, lanjut dia, MA dapat menjaga nama baiknya dalam hal transparansi kepada masyarakat.

“Kalau bahasa anak gaulnya, nggak nendang bro kalau cuma laporan tertulis tanpa adanya pem­buktian nyata terhadap de­la­pan orang hakim itu,” katanya.

Buchori menambahkan, un­tuk menjaga kemurnian lem­baga peradilan dari jeratan ma­fia peradilan bukanlah peker­jaan rumah yang mudah. Tetapi, katanya, dibutuhkan suatu ke­seriusan untuk menindak te­gas setiap anggota lembaga pera­di­lan yang terbukti terlibat dalam lingkaran mafia peradilan. “Soal­nya, mafia peradilan itu me­nyentuh oknum yang men­jabat di lembaga peradilan,” ucapnya.

Dia kembali menjelaskan, se­sungguhnya roda mafia pera­di­lan itu terbagi menjadi empat ruang. Pertama ialah pe­nga­di­lan, kedua ditempati oleh ke­po­lisian, ketiga kejaksaan dan yang terakhir ialah para ad­vo­kat. “Keempat ruang itu hampir bisa dikatakan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas carut marutnya lembaga pe­radilan di Tanah Air,” ujarnya.

Politisi PKS ini kembali me­nyerukan MA supaya memutus salah satu roda mafia peradilan tersebut. Menurutnya, jika salah satu mata rantai mafia peradilan itu putus, maka ruang gerak mafia peradilan dapat dimi­ni­ma­lisir. “Jadi, jika lembaga pe­radilan kita kokoh, maka tidak akan terpengaruh dengan inter­vensi kepada polisi, jaksa serta advokat,” katanya.

Mengapa Hanya Delapan Hakim Yang Kena Sanksi
Jhonson Pandjaitan, Direktur Advokasi & Bantuan Hukum AAI

Direktur Advokasi dan Bantuan Hukum Asosiasi Ad­vokat Indonesia (AAI) Jhonson Pandjaitan menilai, delapan hakim yang diberikan sanksi oleh Mahkamah Agung (MA) belum bisa dikatakan mewakili seluruh hakim yang melakukan pelanggaran di Tanah Air.

Soalnya, hakim di seluruh In­donesia jumlahnya ribuan. Se­hingga, katanya, jumlah terse­but masih tergolong sangat ke­cil untuk mewakili keseluruhan hakim di Indonesia.

“Menjadi suatu pertanyaan penting, apa­kah MA telah benar dalam me­nyeleksi siapa hakim yang me­langgar kode etik itu. Kalau me­reka bilang benar, me­ngapa ha­nya berjumlah delapan orang,” katanya.

Jhonson menambahkan, In­donesia saat ini membutuhkan lembaga peradilan adhoc selain Komisi Yudisial (KY) yang ber­tugas mengawasi pelanggaran hakim dan mampu melakukan eksaminasi terhadap putusan hakim. Menurutnya, lembaga adhoc yang ada saat ini belum be­kerja secara maksimal. “Kita lihat saja, apa yang bisa dila­ku­kan oleh KY untuk memajukan lembaga peradilan kita. Tidak ada,” tegasnya.

Dia kembali mengingatkan bahwa tugas hakim di penga­di­lan ialah pemutus suatu perkara dan pemecah kebuntuan suatu masalah. Sehingga, katanya, se­orang hakim bisa disebut se­bagai wakil Tuhan di dunia dan ke­putusannya tidak dapat di­ganggu gugat. “Karena itu, sua­tu ketetapan hakim harus betul-betul terbebas dari intervensi pihak manapun,” tandasnya.

Karena itu, Jhonson sangat ber­harap MA mampu melak­u­kan pengawasan yang lebih kompleks terhadap para hakim yang bertugas di Tanah Air. Jika tidak, katanya, maka lembaga peradilan tidak akan terbebas dari cengkeraman mafia pera­dilan yang saat ini sudah meng­gerogoti lembaga peradilan tingkat manapun.

“Tak hanya hakim saja yang kena. Bahkan, sekelas panitera pun dapat berperan sebagai ma­fia peradilan. Inilah pekerjaan rumah yang harus dituntaskan MA,” katanya.  [rm]

Tidak ada komentar: