BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Rabu, 30 April 2014

Menakar Kekuatan PDIP di Pilpres

Oleh: Bayu Hermawan

INILAHCOM, Jakarta - Pasca Pemilu legislatif, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi Parpol yang paling gencar melakukan komunikasi politik ke Parpol-parpol yang dianggap berpotensi untuk ditarik menjadi mitra koalisi.

Hal tersebut tidak mengherankan, sebab hasil hitung cepat Pileg 9 April lalu menunjukan tidak ada satu Parpol pun yang menjadi pemenang dominan, dan mampu mengusung jagoannya di Pilpres 9 Juli mendatang.

Menghadapi situasi tersebut, ada dua langkah taktis strategis yang bisa dilakukan oleh Parpol-parpol, khususnya yang berada di tiga besar , untuk bisa memenangkan 'pertarungan terakhir'.

Langkah pertama adalah menginisiasi komunikasi politik ke sejumlah kompetitor untuk meraup atau memberi dukungan dalam skema koalisi. Langkah kedua, menentukan positioning di tengah keacakan pola pergerakan kekuatan lain.

Lalu bagaimana kekuatan PDIP yang berdasarkan hasil hitung cepat bertengger di posisi pertama dalam menghadapi Pilpres?

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute Gun Gun Heryanto menilai ada tiga jangkar kekuatan yang membuat PDIP unggul di Pileg. Jangkar kekuatan ini dianggap masih dapat menjadi kekuatan PDIP dalam Pilpres mendatang.

"Pertama, sosok Megawati Soekarnoputri yang menjadi figur perekat sekaligus menentukan kohesivitas internal PDIP. Mega secara faktual memang mewarisi kekuatan rujukan (referent power) dari Soekarno. Oleh karenanya, Mega kerap diposisikan tak hanya sekedar ketua umum dalam pengertian formal organisasional, melainkan juga representasi trah Soekarno bagi para pendukungnya," jelasnya.

"Oleh karenanya, faktor Mega masih sangat menentukan orientasi PDIP saat ini maupun ke depan, terlebih Mega masih memosisikan dirinya sebagai figur sentral sekaligus pengambil kebijakan utama di partai ini," tambahnya.

Gun gun melanjutkan, yang kedua adalah faktor kontekstual. Hal ini terkait dengan adanya sejumlah tren positif yang memberi keuntungan bagi PDIP. Ia melihat perlahan tapi pasti, mulai muncul kader maupun sosok simbolik yang lekat dengan identitas partai. Misalnya nama Jokowi, Ganjar Pranowo, Tri Rismaharini, dan sejumlah nama lain yang turut menyumbang persepsi mulai adanya tranformasi di tubuh PDIP, meskipun terlalu prematur mengatakan PDIP sukses memodernisasi dirinya.

"Di tengah banyak pihak yang mulai meragukan efek Jokowi, keberadaannya di garda depan PDIP, turut menjadi insentif elektoral yang tak bisa dinafikan," ujarnya.

Jangkar kekuatan ketiga adalah posisi PDIP yang berada di luar kekuasaan selama dua periode. Menurutnya sepuluh tahun berada di luar koalisi besar partai politik pendukung pemerintahan SBY, merupakan masa pancaroba yang menguji daya tahan partai.

"Positifnya, PDIP punya kesempatan menata internal terutama menggelorakan kembali semangat kekitaan di akar rumput yang sempat tercerabut dikala PDIP memerintah 1999-2004. Sikap pemilih pascareformasi menunjukkan gejala sama yakni menghukum pemenang di pemilu berikutnya jika tak memenuhi harapan mereka. Pada Pemilu 1999 PDIP menang lantas dikalahkan Golkar di 2004, Demokrat menang di 2009 lantas dikalahkan PDIP di 2014," jelasnya.

Hal lain yang menjadi kekuatan PDIP adalah bergeraknya mesin pemenangan partai. Hal ini terlihat dari keberhasilan PDIP mempertahankan basis-basis tradisional mereka, bahkan penetratif di sebagian basis lawan.

"Meskipun pertarungan belum usai, namun 'gairah' menuju kemenangan Pilpres, nampak ekspresif di wajah para kader PDIP," ucapnya.[bay]

Tidak ada komentar: