BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Selasa, 01 Desember 2015

Para Pengkritik Pengadilan Akan Dibui 10 Tahun, Lonceng Kematian Demokrasi

Andi Saputra - detikNews
Jakarta -
Para pengkritik pengadilan siap-siap saja meringkuk di penjara selama 10 tahun. Hal ini akan terjadi jika RUU Contempt of Court (CoC) atau Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan disahkan DPR.

"RUU CoC ala Indonesia ini sudah salah kaprah dan tercerabut dari maksud awalnya," kata peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar kepada detikcom, Selasa (1/12/2015).

Versi RUU CoC, Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan adalah setiap perbuatan bersifat intervensi, tindakan, sikap, ucapan, tingkah laku dan/atau publikasi yang bertendensi dapat menghina, merendahkan, terganggunya, dan merongrong kewibawaan, kehormatan dan martabat hakim atau badan peradilan. Salah satu pasal adalah melakukan kritikan terhadap proses pengadilan.

Dalam Pasal 24 disebutkan:

Setiap orang yang mempublikasikan atau memperkenankan untuk dipublikasikan proses persidangan yang sedang berlangsung, atau perkara yang dalam tahap upaya hukum, yang bertendensi dapat mempengaruhi kemerdekaan atau sifat tidak memihak hakim, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 1 miliar.

"Jika konsep yang elastis dan fluid ini disahkan, tidak hanya akan menimbulkan tirani yudisial, tapi sudah mengancam hak-hak dasar warga negara yang sudah dijamin tegas dalam konstitusi," ujar Erwin.

Dalam RUU yang didapat detikcom disebutkan, pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam praktik ketatanegaraan relatif rentan dapat diintervensi, baik melalui kebijakan hukum pembuat UU, kekuatan di dalam masyarakat (organisasi massa, media massa, partai politik) melalui pembentukan pendapat umum (public opinion) pada saat peradilan sedang berlangsung. Pengaruh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan politik kekuasaan atau kekerasan massa yang bersifat anarkhis, mewarnai proses peradilan sehingga mengganggu penyelenggaraan proses peradilan.

Di luar persidangan, pemberitaan besar-besaran terhadap suatu kasus atau kritikan yang disampaikan secara terbuka melalui media massa sering kali terjadi dan tidak jarang pula bahwa pers mengeluarkan pemberitaaan atau pernyataan yang menimbulkan situasi atau kondisi yang berpengaruh terhadap putusan yang akan dijatuhkan. Dampak dari pemberitaan tersebut adanya kesan bahwa seseorang yang diajukan ke depan pengadilan seolah-olah bersalah walaupun proses persidangan itu belum selesai.

"Pers, akademisi dan pegiat reformasi pengadilan akan menjadi sasaran empuk dari sesat pikir RUU ini," pungkas Erwin. 

Tidak ada komentar: