INILAH.COM, Jakarta - Sidang perkara kasus IM2 dengan
terdakwa Indar Armanto, bekas Direktur Utama PT Indosat Multi Media
(IM2) kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada
Kamis (21/3).
Jaksa penuntut umum (JPU) menghadirkan dua saksi. Saksi pertama, Titon Dutomo, Direktur Penataan Sumber Daya Kementerian Komunikasi dan Informatika. Sedangkan saksi kedua, Bertina Sari adalah pejabat di lingkungan Kemenkominfo.
Dalam kesaksiannya, Titon secara tegas menyatakan sahnya kerja sama antara PT Indosat Tbk, sebagai penyelenggara jaringan dengan PT IM2 sebagai penyelenggara jasa internet. "Karena undang-undang yang memerintahkan demikian," ujarnya menjawab pertanyaan Jaksa Fadhil Z. Harahap.
Di depan persidangan, Titon juga menjelaskan bagaimana operator telekomunikasi bisa mendapatkan hak sebagai penyelenggara jaringan di frekuensi 2,1 3G. Menurut Titon, pada 2006 silam, pemerintah mengadakan lelang frekuensi 3G tersebut. Ketika itu ada beberapa peserta tender dengan 3 pemenang, dimana Indosat adalah satu pemenang tender.
Selanjutnya, Titon menyatakan, Indosat sebagai penyelenggara jaringan sebenarnya juga sebagai penyelenggara jasa telekomunikasi. "Karena Indosat punya izin keduanya," ujarnya.
Kalau kemudian Indosat bekerjasama dengan IM2 itu juga bukan masalah karena kerjasama ini memang dianjurkan pemerintah demi memperluas penggunaan internet. Itulah sebabnya, menjadi hal yang lazim bila ada kerjasama bisnis antara penyelenggara jaringan dengan penyelenggara jasa telekomunikasi.
Dalam kerjasama ini, sebagai penyelenggara jasa, IM2 adalah penyewa dari penyelenggara jaringan. Karena itu, sebagai penyewa, IM2 tentu harus membayar sewa. "Namun tidak perlu membayar BHP (biaya hak penyelenggaraan) frekuensi," imbuhnya.
Pengacara terdakwa, Luhut MP Pangaribuan lebih jauh juga bertanya soal BHP frekuensi ini. Titon pun lebih detail menjelaskan, sebenarnya penyelenggara jasa, seperti IM2, hanya membayar penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dalam bentuk BHP telekomunikasi dan USO (universal service obligation).
"Penyelenggara jasa karena tidak ada penetapan menteri bahwa mereka memakai frekuensi tertentu, sehingga tidak perlu membayar BHP frekuensi" terang Titon.
Saksi kedua yang diajukan jaksa, Bertina Sari, Kepala Bagian Hukum Kemenkominfo, juga menyatakan hal senada dengan saksi Titon. Di depan persidangan, Bertina menyatakan, sebegai penyelenggara jaringan, Indosat berhak bekerjasama dengan pihak lain, termasuk dengan anak usahanya. Namun demikian, untuk BPH frekuensi sepenuhnya menjadi tanggungjawab penyelenggara jaringan.
Nah, seandainya BHP frekuensi tidak dibayarkan oleh penyelenggara jaringan, sanksinya pun berupa sanksi administrasi, berupa denda sebesar 2 persen perbulan dari nilai kewajiban BHP hingga pencabutan izin.
Sedangkan pihak yang berhak untuk menjatuhkan sanksi bila pengguna jaringan tidak memenuhi kewajibannya kepada negara, sesuai undang-undang adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kemenkominfo, bukan jaksa atau polisi. [rok]
Jaksa penuntut umum (JPU) menghadirkan dua saksi. Saksi pertama, Titon Dutomo, Direktur Penataan Sumber Daya Kementerian Komunikasi dan Informatika. Sedangkan saksi kedua, Bertina Sari adalah pejabat di lingkungan Kemenkominfo.
Dalam kesaksiannya, Titon secara tegas menyatakan sahnya kerja sama antara PT Indosat Tbk, sebagai penyelenggara jaringan dengan PT IM2 sebagai penyelenggara jasa internet. "Karena undang-undang yang memerintahkan demikian," ujarnya menjawab pertanyaan Jaksa Fadhil Z. Harahap.
Di depan persidangan, Titon juga menjelaskan bagaimana operator telekomunikasi bisa mendapatkan hak sebagai penyelenggara jaringan di frekuensi 2,1 3G. Menurut Titon, pada 2006 silam, pemerintah mengadakan lelang frekuensi 3G tersebut. Ketika itu ada beberapa peserta tender dengan 3 pemenang, dimana Indosat adalah satu pemenang tender.
Selanjutnya, Titon menyatakan, Indosat sebagai penyelenggara jaringan sebenarnya juga sebagai penyelenggara jasa telekomunikasi. "Karena Indosat punya izin keduanya," ujarnya.
Kalau kemudian Indosat bekerjasama dengan IM2 itu juga bukan masalah karena kerjasama ini memang dianjurkan pemerintah demi memperluas penggunaan internet. Itulah sebabnya, menjadi hal yang lazim bila ada kerjasama bisnis antara penyelenggara jaringan dengan penyelenggara jasa telekomunikasi.
Dalam kerjasama ini, sebagai penyelenggara jasa, IM2 adalah penyewa dari penyelenggara jaringan. Karena itu, sebagai penyewa, IM2 tentu harus membayar sewa. "Namun tidak perlu membayar BHP (biaya hak penyelenggaraan) frekuensi," imbuhnya.
Pengacara terdakwa, Luhut MP Pangaribuan lebih jauh juga bertanya soal BHP frekuensi ini. Titon pun lebih detail menjelaskan, sebenarnya penyelenggara jasa, seperti IM2, hanya membayar penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dalam bentuk BHP telekomunikasi dan USO (universal service obligation).
"Penyelenggara jasa karena tidak ada penetapan menteri bahwa mereka memakai frekuensi tertentu, sehingga tidak perlu membayar BHP frekuensi" terang Titon.
Saksi kedua yang diajukan jaksa, Bertina Sari, Kepala Bagian Hukum Kemenkominfo, juga menyatakan hal senada dengan saksi Titon. Di depan persidangan, Bertina menyatakan, sebegai penyelenggara jaringan, Indosat berhak bekerjasama dengan pihak lain, termasuk dengan anak usahanya. Namun demikian, untuk BPH frekuensi sepenuhnya menjadi tanggungjawab penyelenggara jaringan.
Nah, seandainya BHP frekuensi tidak dibayarkan oleh penyelenggara jaringan, sanksinya pun berupa sanksi administrasi, berupa denda sebesar 2 persen perbulan dari nilai kewajiban BHP hingga pencabutan izin.
Sedangkan pihak yang berhak untuk menjatuhkan sanksi bila pengguna jaringan tidak memenuhi kewajibannya kepada negara, sesuai undang-undang adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kemenkominfo, bukan jaksa atau polisi. [rok]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar