INILAH.COM, Jakarta - Maraknya tindak kekerasan aparat militer dianggap
membuat revisi Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan
Militer sudah sangat mendesak diwujudkan.
Komisi untuk Orang
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat, dalam kurun 2004
hingga 2013, terjadi tidak kurang dari 87 kasus tindak kekerasan
melibatkan anggota militer. Terus berulangnya kasus semacam itu
menurutnya bisa terjadi karena tidak pernah ada penghukuman yang jelas.
"Semua
pelaku kejatahatan dan kekerasan itu proses hukumnya di pengadilan
militer," sebut Koordinator KontraS Haris Azhar, Jakarta, Senin
(25/3/2013).
Haris pun mempertanyakan kebijakan untuk memproses
semua anggota militer yang diduga melakukan pelanggaran di pengadilan
militer.
"Semua diproses di sana, dari adu ayam sampai maling.
Semua ke sana. Pdahal pelanggaran hukum yang dilakukan oknum militer
tersebut tidak ada kaitannya sama sekali dengan tugas kemiliteran yang
bersangkutan," paparnya.
Dengan mekanisme itu, kata Haris, para
pelaku tindak pidana dari kalangan militer pun tidak mendapat hukuman
yang maksimal. "Mereka merasa di atas angin, tidak bisa dijangkau oleh
hokum. Justru mereka terkesan kebal hukum ," terang Haris lagi.
Haris
pun menyampaikan kekecewaanya lantaran revisi UU Peradilan Militer
tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2011. Revisi UU
Peradilan Militer ini merupakan alat yang bisa menjerat tindak
kesewenang-wenangan militer yang terjadi selama ini. "Revisi UU
Peradilan Militer itu arus dijadikan agenda dari reformasi militer dan
peradilan," ujar Haris.
Menurut Haris, praktek peradilan militer
sampai saat ini masih banyak menimbulkan kontroversi. "Karena jika kita
masih menggunakan Undang-Undang No.31 tahun 1997 (tentang Peradilan
Militer), anggota militer tidak akan bisa diseret ke pengadilan HAM,
pengadilan korupsi dan pengadilan hukum lainnya," ujarnya.
Haris
mencontohkan beberapa kasus yang sampai saat ini tak jelas ujungnya.
Misalnya kasus Alas Tlogo dan penyiksaan di Papua yang videonya tersebar
luas di Youtube.
"Jika revisi undang-undang ini tak segera
disahkan, Kontras pesimis peradilan militer akan mampu mengungkap tuntas
kasus-kasus yang melibatkan anggotanya. Terus terang saja Hakim
peradilan militer itu maksimal bintang satu, bagaimana mungkin mengadili
kasus yang membutuhkan pertanggungjawaban pejabat yang posisinya diatas
hakim," tuturnya.
Ia menambahkan posisi peradilan militer yang
berada dibawah binaan Markas Besar TNI Cilangkap juga rawan dengan
konflik kepentingan. Haris menuding, tidak masuknya revisi UU ini karena
ada kepentingan militer yang enggan mempertanggungjawabkan kesalahannya
di muka publik.
"Dengan tidak disahkannya RUU ini tentu yang
paling diuntungkan adalah militerIni menjadi bukti adanya gerakan pro
status quo dalam militer. Padahal, agenda revisi ini sudah ada sejak
lima tahun silam," pungkasnya.
Peneliti Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat (Elsam) Elsam Wahyudi Djafar menambahkan, semua
persoalan menyangkut institusi militer negara harusnya bisa diselesaikan
melalui reformasi pengadilan militer. Sayangnya, RUU yang dulu sempat
dibahas itu berakhir mentok. "Kalah prioritas dengan RUU Keamanan
Nasional yang tidak penting," lontarnya.
Wahyudi, mengatakan pula
pada 2012 ada 17 peristiwa kekerasan yang diduga dilakukan oknum aparat
TNI. Wahyudi Ia menilai, maraknya aksi itu karena tidak ada penghukuman
maksimal dan optimal terhadap kekerasan yang dilakukan aparat. ”Karena
banyak ditangani diperadilan militer. Ini hal aneh. Tidak ada
penghukuman maksimal,” kata Wahyudi.
Menurut Wahyudi, peradilan
militer itu juga menggunakan KUHAP militer, bukan KUHAP umum sehingga
penghukuman menjadi tak maksimal. ”Akibatnya, mereka di atas angin,
tidak terjangkau hukum sehingga muncul kekerasan terus menerus,”
terangnya.
Karenanya, ia meminta agar percepatt revisi UU yang
mengatur peradilan milter. Padahal menurutnya, sebagai negara hukum yang
menjunjung tinggi asas persamaan di hadapan hukum, maka sudah sudah
seharusnya oknum anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum,
diperlakukan sama dengan warga negara lainnya.
”Untuk
menghentikan kekerasan oleh oknum TNI ini, maka yang berasangkutan harus
diadili dalam mekanisme peradilan umum. Makanya sangat penting DPR
membahas revisi peradilan militer ini,” tegas Wahyudi.[jat]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar