Jpnn
JAKARTA - Pakar Hukum Pidana
Universitas Indonesia (UI), Andi Hamzah menilai di antara para penegak
hukum tidak satu paham dalam menerapkan pasal-pasal dalam UU Antikorupsi
yang mengatur tentang. Akibatnya, sering muncul ketidakadilan dalam
putusan pengadilan tentang kasus suap.
Berbicara pada seminar bertema "Permasalahan Gratifikasi dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Undang-Undang Korupsi" yang digelar Ikatan Hakim Indonesia di Hotel Mercure, Ancol Jakarta, Rabu (27/3), Andi mengatakan, Kejaksaan dan Kepolisian dalam menangani kasus suap cenderung menggunakan pasal 5 UU Antikorupsi dengan ancaman maksimal lima tahun. "Sedangkan KPK menggunakan pasal 12 huruf (a) (tentang pejabat negara penerima suap, red) dengan ancaman maksimal seumur hidup," ungkapnya.
Ia menilai KPK secara kasat mata ingin memberikan efek jera kepada penerima suap dengan pasal yang memuat hukuman maksimal. Tapi, tegas dia, dalam praktiknya KPK cenderung tidak konsisten.
"Kepada pemberi suap, KPK menerapkan pasal yang ringan, sedangkan penerimanya diganjar pasal berat," ulasnya.
KPK, lanjutnya, semestinya konsisten dalam menegakkan hukum. Jika KPK menggunakan pasal 5 ayat 1 (ancaman hukuman maksimal lima tahun, red) untuk menjerat pemberi suap, maka penerima suap harusnya dijerat pasal 5 ayat 2 (ancaman hukuman lima tahun penjara, red).
Ia menerangkan, penerapan pasal suap dalam UU Tipikor juga berpotensi menjadi ganjalan dalam pelaksaan Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah. Sebab, UU Tipikor menempatkan pemberi sumbangan kepada incumben sebagai tindak pidana korupsi.
"Setiap pemberi sumbangan pasti ada maunya, itu dimaklumi dalam KUHP. Namun, dalam UU Tipikor itu dianggap tindak pidana korupsi," katanya.
Menurutnya, itu berbeda lembaga sejenis KPK di Malaysia yang berwenang menuntut pelanggaran UU Pemilu. "Berarti orang Malaysia lebih tajam dalam mengantisipasi keadaan ke depan," ungkapnya.
Karenanya, Andi menyarankan Presiden bisa membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) khusus untuk memperbaiki pasal 11, pasal 5 ayat 2 dan pasal 6 ayat 2 UU Antikorupsi. "Sedangkan pasal 12 a/b dan 12 c dihapus," tegasnya.
Lebih jauh Andi mengungkapkan, kekacauan dalam UU Antikorupsi itu sudah menjadi bahan disertasi di Belanda. "Dan Profesor Hukum Belanda juga sudah tahu ada blunder dan foolish mistake dalam UU Tipikor yang dibuat DPR periode 1999-2004," tuntasnya. (boy/jpnn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar