INILAH.COM, Jakarta- Badan Pertahanah Nasional (BPN) dinilai
belum maksimal dalam mereformasi, di samping juga gagal menyelesaikan
sejumah konflik agraria di beberapa daerah. Akibatnya, praktik percaloan
dalam pengurusan serifikat tanah masih marak.
Menurut
Wasekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin, birokrasi di
BPN belum berubah. Khususnya dalam urusan pengurusan izin alias
serifikasi atas tanah, rantai birokrasinya cukup panjang. Kondisi ini,
menumbuh kembangkan praktik percaloan dan mafia tanah. ‘’BPN bak mobil
mogok saja. Reformasi birokrasi, belum kongkret,’’ tegas Dewi kepada
wartawan di Jakarta, (14/3/2013).
Sebagai contoh, lanjutnya,
pengurusan sertifikasi tanah milik individu di kantor BPN memerlukan
waktu yang berbeda-beda. Rata-rata di atas lima bulan bahkan setahun
lebih. ‘’Dalam sejumlah kasus, warga sudah mengajukan permohonan, dan
biaya sudah dilunasi. Namun belum surat sertifikatnya tak kunjung jadi
sampai bertahun-tahun,’’ terangnya.
Upaya BPN dalam meningkatkan
kinerja, lanjutnya, tidak berjalan lurus dengan program yang ada.
Contohnya pola pengukuran tanah di setiap kantor BPN, cenderung berbeda.
Karena tidak semuakantor BPN memiliki Cors—alat ukur tanah digital.
“Padahal,
BPN berulangkali berjanji fokus dalam merealisasikan percepatan
pelayanan administrasi pertanahan bagi masyarakat,’’ tuturnya.
Demikian
pula program Larasita (layanan rakyat untuk sertifikat tanah),
menurutnya, sudah tidak maksimal lagi. Lemahnya kinerja BPN menjadi batu
ujian bagi Kepala BPN, Hendarman Supandji. ‘’Ujian bagi dia
(Hendarman). Selama di BPN, beliau gulirkan tujuh tertib. Salah satunya
tertib moral. Kita tunggu saja, berhasil atau tidaknya,’’ tutur Iwan.
[tjs]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar