BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Senin, 16 Mei 2011

Gencar Diberantas, Tapi Teroris Tambah Banyak

Kontras mempertanyakan aksi penindakan tindak pidana terorisme yang dilakukan aparat.

VIVAnews  - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mempertanyakan aksi-aksi penanganan tindak pidana terorisme yang dilakukan aparat. Menurut Kontras, pemberantasan giat dilakukan, tapi anehnya pelaku tidak berkurang.

Menurut Koordinator Eksekutif Nasional Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar, jelas ini tidak logis. Justru setelah Indonesia memiliki Undang-undang Pemberantasan Terorisme, Badan Nasional untuk Penanggulangan Terorisme dan satuan khusus pemberantasan seperti Detasemen Khusus 88, gerakan terorisme semakin berkembang.

“Ke mana intelijen? Dari insiden tersebut, bisa kita lihat, mereka tidak profesional, terlalu menikmati proyek-proyek bantuan asing untuk tugas pemberantasan teroris, miskin akuntabilitas dan tidak ada kontrol yang tepat,” katanya ditemui VIVAnews di kantornya, Jalan Borobudur No.14, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu 15 Mei 2011.

Insiden yang dimaksud Haris adalah penggerebekan terduga teroris di Sukoharjo pada Sabtu 14 Mei dini hari lalu. Polisi mengklaim menewaskan dua terduga teroris yakni Sigit Qurdowi dan Hendro Yunianto, namun sayangnya, satu orang tak berdosa yakni Nur Iman, pedagang angkringan, turut tewas.

Haris melihat, dari kejadian ini, terlihat ketidakprofesionalan Densus 88. Polisi dinilainya telah melakukan pemaksaan penangkapan di tengah kerumunan komunitas sipil.

“Polisi sebaiknya memperjelas penangkapan, apakah untuk menangkap atau membunuh? Mereka seharusnya mengamankan masyarakat yang ada di situ. Dan kalau memang tidak memungkinkan (menggelar operasi) seharusnya dibatalkan."

Haris mengakui, penggunaan senjata dan melakukan penembakan diperbolehkan dalam undang-undang. Tetapi, hal tersebut adalah pilihan terakhir, setelah semua usaha dan alternatif dilakukan. Melakukan penembakan yang berbuah aksi saling baku tembak sangat tidak dibenarkan, apalagi bila terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dia mencontohkan, intelijen Amerika Serikat sendiri, dalam memburu orang yang dianggap gembong teroris, membutuhkan waktu sepuluh tahun.

“Kerja Densus harus diaudit oleh banyak pihak. Jangan sampai mereka terlalu menikmati kespesialannya dan memanfaatkan kewenangan yang mereka miliki untuk melakukan apa saja,” katanya.

Soal kematian Nur Iman, polisi telah membantah salah tembak. Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah Inspektur Jenderal Edward Aritonang menegaskan bahwa Nur Iman hanyalah korban dan tidak terkait dengan kegiatan terorisme apapun. "Saat ada ribut-ribut penggerebekan, ia keluar dan ingin menyaksikan. Lalu, ia terkena tembakan," katanya.

Lebih lanjut dia mengatakan jenis peluru yang mengenai Nur Iman sudah diperiksa ahli forensik. Peluru itu, kata dia, berasal dari senjata milik tersangka teroris. "Tapi untuk konfirmasi, silakan tanyakan pada Densus." (eh)

Tidak ada komentar: