Jakarta (ANTARA News ) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta perumusan revisi UU nomor 31 tahun 1999 jo UU nomor 20 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi dilakukan dengan hati-hati dan harus sesuai dengan agenda pemberantasan korupsi.

Staf khusus presiden bidang hukum Denny Indrayana menyampaikan hal tersebut dalam keterangan pers di Kantor Presiden Jakarta, Jumat usai mendampingi Presiden bertemu dengan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Di bidang pencegahan dibahas rencana perubahan UU KPK dan Tipikor, pada prinsipnya kita harus hati-hati rumuskan perubahan itu, jangan tambal sulam, harus dikaji dan sesuai agenda pemberantansan korupsi," kata Denny mengutip Presiden.

Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) menolak revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang disiapkan pemerintah karena berpotensi melemahkan upaya luar biasa dalam pemberantasan korupsi.

"Ada sembilan kelemahan mendasar dan prinsip dalam RUU Tipikor yang diajukan pemerintah," kata Peneliti Hukum ICW, Donal Fariz.

Donla Fariz mengemukakan, sembilan kelemahan itu adalah menghilangkan ancaman hukuman mati yang sebelumnya diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor.

Kedua, penghilangan pasal yang dapat membuat kasus-kasus besar seperti Bank Century sulit diproses dengan UU Tipikor.

Ketiga, hilangnya ancaman hukuman minimal di sejumlah pasal, padahal ketentuan tentang ancaman hukuman minimal ini adalah salah satu ciri dari sifat extraordinary (luar biasa) korupsi di Indonesia.

"Kami menemukan tujuh pasal di RUU Tipikor yang baru tidak mencantumkan ancaman hukuman minimal, seperti penggelapan dana bencana alam, pengadaan barang dan jasa tanpa tender, konflik kepentingan, pemberi gratifikasi, dan pelaporan yang tidak benar tentang harta kekayaan," papar Fariz.

Keempat, adanya penurunan ancaman hukuman minimal menjadi hanya satu tahun.

"Hal ini dikhawatirkan dapat menjadi pintu masuk untuk memberikan hukuman percobaan bagi koruptor," katanya.

Kelima, melemahnya sanksi terhadap mafia hukum seperti suap untuk aparat penegak hukum. Dalam UU 31/1999 jo UU 20/2001 suap untuk penegak hukum seperti hakim dapat diancam hukuman minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun. Sedangkan di RUU Tipikor ancaman minimal hanya satu tahun dan maksimal tujuh tahun.

Keenam, ditemukan pasal yang potensial mengkriminalisasi pelapor kasus korupsi, sedangkan ketujuh korupsi dengan kerugian negara dibawah Rp25 juta bisa dilepas dari penuntutan hukum.

Kelemahan kedelapan, kewenangan penuntutan KPK tidak disebutkan secara jelas dalam RUU. Padahal dalam pasal sebelumnya posisi KPK sebagai penyidik korupsi disebutkan secara tegas.

"Hal ini harus dicermati agar jangan sampai menjadi celah untuk membonsai kewenangan penuntutan KPK," kata Fariz.

Kelemahan terakhir, ICW tidak menemukan RUU Tipikor yang mengatur tentang pidana tambahan, seperti pembayaran uang pengganti kerugian negara, perampasan barang yang digunakan dan hasil untuk korupsi, dan penutupan perusahaan yang terkait korupsi.


Panitia Seleksi

Sementara itu terkait akan berakhirnya masa jabatan pimpinan KPK pada Desember mendatang, pemerintah juga tengah menyiapkan pembentukan panitia seleksi (pansel) pimpinan KPK.

Denny Indrayana mengatakan, sosok figur-figur yang masuk ke dalam panitia, oleh Presiden diharapkan memiliki integritas yang baik.

"Pemerintah sedang susun panitia seleksi. Sekarang sedang disusun, orangnya harus profesional dan bisa bekerja dengan baik," kata Denny mengutip Presiden.

Sedangkan Menko Polhukam Djoko Suyanto mengatakan, panitia seleksi tersebut diharapkan akan terbentuk pada akhir Mei mendatang.

"Diharapkan akhir bulan ini, pansel terbentuk, anggotanya ya dari akademisi, dari pemerintah, NGO (LSM-Red)dari tokoh-tokoh masyrakat, kejaksaan, diharapkan akhir bulan ini putusan," katanya.(*)