BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Minggu, 01 Mei 2011

Priyo Budi Santoso: Saya Mengurusi PKL Bukan Galang Kekuatan

RMOL. Pemerintah dianggap belum memberikan perhatian kepada Pedagang Kaki Lima (PKL), terkait keberadaan mereka dalam menyokong perekonomian rakyat kecil.

Demikian diungkapkan Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso, menanggapi keberadaan PKL yang kian hari kian mempri­hatin­kan. PKL sering dianggap seba­gai warga kelas dua dan menjadi penghambat pembangu­nan, se­hingga perlu ada evaluasi menge­nai kebijakan ekonomi pemerin­tah menyangkut PKL.

“Kami ingin agar ada evaluasi yang bersifat menyeluruh dalam melihat PKL. Akhirnya saya me­nyampaikan kesediaan saya untuk ikut membina menjadi Ke­tua Dewan Pertimbangan Nasio­nal dari asosiasi ini karena ada panggilan untuk memayu­ngi keberadaan mereka. Ini bu­kan untuk menggalang kekua­tan,” ungkap politisi Partai Golkar ini.

Sebelumnya diberitakan Priyo diangkat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Nasional Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI). Organisasi ini  men­desak Presiden mener­bitkan Perpres tentang tata kelola PKL. Selain itu, APKLI juga me­minta DPR mengambil inisiasi penyu­sunan RUU tentang tata kelola PKL.

“Saya semakin berharap akan ada perubahan pada para PKL. Pemerintah  akan saya acungi dua jempol kalau  PKL yang ber­jum­lah 22,9 juta itu bisa berkurang drastis. Nah itu baru hebat,” paparnya.

Berikut kutipan selengkapnya;

Apa saja permasalahan PKL?
Ada tiga permasalahan. Perta­ma, pedagang kaki lima masih dianggap sebagai warga kelas dua dalam sistem perekonomian nasional. Jadi sering diposisikan dengan paradigma yang salah terutama oleh pemerintah pusat dan daerah.

Kedua, posisi PKL itu kasihan. Mereka seperti Daud melawan Goliath, PKL saat ini menghadapi raksasa ekonomi neoliberal. Ketiga, sampai sekarang tidak ada gelagat pemerintah untuk melindungi keberadaan PKL sebagai sektor kerakyatan yang bisa bertahan dan tidak pernah utang ketika krisis berlangsung.

Memangnya paradigma yang salah seperti apa?
Potensi-potensi mereka yang seharusnya menjadi katup pe­nga­­man terhadap kerawanan sosial, malah sering dianggap se­bagai biang keladi terhadap ketidak­tertiban, ketidak­nya­ma­nan kota dan merusak tata kelola kota. Jadi, PKL dalam para­dig­ma yang salah kaprah ini di­posisikan lebih sebagai faktor perusak tata kota ketimbang sebagai faktor pengaman terha­dap kerawanan sosial.

Berapa besar potensi mereka menjadi katup pengaman?
Dari hasil kalkulasi BPS, jum­lah PKL ada 22,9 juta. Bayang­kan kalau mereka punya dua anak. Artinya, PKL bisa men­jadi sandaran hidup keluarga­nya, sehingga harus ada keinginan kita untuk menempatkan posisi yang positif dalam rangka memper­juangkan hak-hak mereka. Jadi, mereka bisa nyaman bekerja.

Saya meminta PKL menjaga ketertiban, karena saya prihatin selama ini PKL cenderung diku­muhkan dan menjadi bahan utama dari Satpol PP dan di­anggap menjadi pengganggu pemerintah.

Bagaimana masalah PKL ver­sus ritel modern?
Itu menjadi permasalahan juga bagi PKL, Pemda kita sering menggunakan kalkulasi dan ke­untungan ekonomi semata dalam penempatan lahan-lahan stra­tegis. Pemda cenderung mengi­zinkan pembangunan mall, market-market modern dan ritel modern seperti Carrefour ketim­bang menata dan menempatkan PKL di tempat-tempat yang strategis.

Berarti Anda tidak setuju per­­kembangan market mo­dern?
Saya tidak anti pembangunan mall dan tidak anti pemba­ngu­nan market modern, karena itu adalah kehendak perkembangan zaman. Tetapi yang saya perta­nya­kan terkait pembangunan market modern itu tidak diatur dan akan menghancurkan pasar-pasar tradisional, sehingga perlu diatur mengenai jaraknya. Market-market itu silakan tum­buh subur, tapi jangan di sentra yang ber­dekatan dengan pasar tra­disional. Jangan terlalu ber­dekatan dengan PKL.

Bagaimana mengembang­kan potensi yang dimiliki PKL?
PKL itu memiliki kekuatan yang dahsyat untuk tetap ber­tahan. Itu menjadi modal mereka. Pedagang bakso misalnya, se­karang sudah dimulai dengan penataan yang bagus dan lebih modern, kami menginginkan itu pada PKL dan kami ingin PKL ke depan semakin berku­rang. Mereka bisa terangkat posisinya dan menempati tempat-tempat yang strategis seperti di mall. Jadi usaha mereka semakin ber­kembang.

Bagaimana dengan rencana pemberian kredit dari peme­rintah?
Konon kabarnya pemerintah akan memberikan kredit tanpa agunan lewat KUR (Kredit Usaha Rakyat), tapi tetap saja tidak bisa bekerja dengan baik. Sebab, bank-bank yang ditugas­kan pe­merintah tidak mau mem­berikan kredit. Maka­nya, saya ingin mem­per­juangkan agar mereka mendapat­kan hak dan akses perbankan untuk modal mereka.

Anda melihat tidak ada per­hatian dari pemerintah dalam hal ini?
Misalnya saja ada perhatian di pemerintah pusat, tapi nyatanya di lapangan tidak seperti itu. Apa­­lagi di daerah, PKL tidak ber­kem­bang.   [RM]

Tidak ada komentar: