BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Selasa, 18 September 2012

Myanmar Akui Belajar Penyelesaian Konflik Etnis kepada Indonesia

Rini Friastuti - detikNews

Jakarta Mendapat sorotan dari dunia internasional, Myanmar saat ini terus melakukan demokratisasi dan membenahi kebijakan politik dalam negerinya. Salah satu yang disorot adalah pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah dan kelompok mayoritas. Untuk menangani masalah ini, pemerintah Myanmar pun belajar kepada Indonesia.

"Saat ini kami berada di Indonesia untuk belajar bagaimana cara menyelesaikan konflik etnis dan demokrasi kepada Indonesia. Alasan kami untuk belajar kepada Indonesia adalah karena Indonesia memiliki banyak etnis dari budaya yang berbeda, tapi pemerintah Indonesia dapat meng-handle situasi dan demokrasi hingga saat ini," ujar Staf Khusus Presiden Myanmar bidang politik, Ko Ko Hlaing.

Hal itu disampaikannya dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema 'Capacity Building on Ethnic Conflict Management and Democratization Between Indonesia and Myanmar' antara delegasi pemerintah Myanmar dengan perwakilan pemerintah Indonesia di Hotel Borobudur, Jalan Lapangan Banteng Selatan, Jakarta Pusat, Selasa (18/9/2012).

Hlaing mengatakan pemerintah Myanmar masih terlalu jauh dari pengertian demokrasi itu sendiri karena baru memahami arti demokrasi setelah sekian lama berada di bawah pengaruh militer, dan tidak terbuka kepada dunia luar.

"Oleh karena itu, kami menghargai sekali pemerinah Indonesia yang mau memberikan ilmu kepada pemerintah Myanmar untuk mencari solusi penyelesaian konflik etnis di negara kami tentang bagaimana caranya untuk menciptakan demokrasi," tuturnya.

Asisten Direktur program hubungan internasional dari Shalom (Nyein) Foundation, L Ja Nan Lahtaw menambahkan sudah lebih dari 4 dekade Myanmar dilanda konflik internal antara kelompok minoritas dan pemerintah. Konflik tersebut menurutnya terjadi karena kesalahpahaman yang berujung pada diskriminasi kaum minoritas di daerah Myanmar.

"Saya datang dari daerah Myanmar daerah utara, salah satu etnis minoritas yang bernama Hokachin. Yang membuat diskriminasi antara pemerintah dengan kelompok minoritas kami adalah tidak terjadinya persamaan hak antara kelompok minoritas kami dengan kelompok mayoritas di Myanmar. Kam ingin persamaan hak dalam sistem pemerintahan," katanya.

Dia mencontohkan pada sistem pendidikan untuk level dasar atau basic. "Mungkin kami dapat perlakuan sama. Tapi ketika kami masuk ke dalam jenjang yang lebih tinggi, kami dapat diskriminasi dari masyarakat dan dari pemerintah itu sendiri, sehingga kami tidak bisa memberikan suara atau pendapat di dalam pemerintah. Hal ini mungkin tidak disebutkan dalam hukum, tapi diskriminasi ini dapat kita lihat di kehidupan sehari-hari dan sampai sekarang hal itu masih berlanjut," imbuhnya.

Lalu kenapa tidak ada reaksi dari tokoh demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi soal diskriminasi ini?

"Untuk saat ini kami tidak memiliki kekuatan yang cukup. Mungkin saat ini pemeritaha Myanmar butuh dukungan dari semua pihak. Termasuk negara luar. Kalau untuk tidak adanya reaksi dari Aung San Suu Kyi, mungkin dia butuh pemahaman yang lebih tentang konflik etnik yang terjadi di Myanmar. Untuk hal ini saya bisa memahami dari perspektif dia," pungkas Lahtaw.

Tidak ada komentar: