RMOL. Mahkamah Agung (MA) memvonis bekas Kepala Divisi Investasi PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) Zulfan Lubis 15 tahun penjara. Majelis hakim kasasi menilai, tindakan terdakwa mencari dan menyetujui penanaman investasi sebesar Rp 400 miliar ke perusahaan manajer investasi salah total.
Hakim Agung Artidjo Alkostar menegaskan, tindakan terdakwa Zulfan Lubis sama sekali tidak bisa dibenarkan. Sebagai perusahaan asuransi milik negara, Askrindo tidak boleh menyalurkan kredit untuk kepentingan investasi dalam bentuk apapun. Terlebih, investasi itu diserahkan kepada perusahaan pengelola jasa keuangan. “Ini menyalahi prinsip yang menjadi ketentuan perusahaan,” ujarnya, kemarin.
Pertimbangan memperberat hukuman terdakwa, katanya, ditetapkan karena Zulfan saat kasus ini terjadi menjabat sebagai Kadiv Investasi Askrindo. Artidjo selaku Ketua Majelis Hakim kasasi menambahkan, jabatan terdakwa vital dan strategis dalam menentukan jenis investasi yang dilakukan Askrindo.
Dia mengatakan, semestinya, terdakwa memahami jenis-jenis investasi apa saja yang harus dihindari perusahaan. Bukan malah terlibat aktif mencari dan menentukan investasi Askrindo ke perusahaan manajer investasi.
“Tindakannya menyimpang dan mengakibatkan kerugian keuangan negara,” ucapnya.
Dalam pertimbangannya, majelis kasasi juga menilai, Zulfan terbukti secara sah dan meyakinkan, terlibat menentukan PT Askrindo sebagai penjamin atas penerbitan Letter of Credit (L/C) PT Bank Mandiri untuk empat perusahaan. Namun saat jatuh tempo, empat perusahaan nasabah Askrindo, yaitu PT Tranka Kabel, PT Vitron, PT Indowan dan PT Multimegah tak mampu membayar L/C pada Bank Mandiri sehingga Askrindo harus membayar jaminan L/C pada Bank Mandiri.
Untuk menjamin agar uang yang diinvestasikan itu bisa kembali ke Askrindo, lanjut Artidjo, terdakwa mencari jalan untuk menalangi potensi kerugian perusahaan. Cara yang ditempuh ialah menanamkan investasi pada sejumlah perusahaan manajer investasi. Perusahaan manajer investasi yang dipilih antara lain, PT Harvestindo Asset Management (HAM), PT Jakarta Investment (JI), PT Reliance Asset Management (RAM), PT Batavia Prosperindo Financial Services (BPFS), dan PT Jakarta Securities (JS).
Pilihan menanamkan investasi ke perusahaan jasa pengelola investasi ini dimonitoring tim yang diketuai terdakwa bekas Direktur Keuangan Askrindo Rene Setiawan dengan anggota Direktur Bidang Penjaminan Suharsono, terdakwa Zulfan Lubis, dan Kadiv Penjaminan Tora Gultom.
“Hakim menyimpulkan, tindakan terdakwa Zulfan Lubis dikategorikan memperkaya diri sendiri dan orang lain,” tandas Artidjo.
Lantaran itu, majelis kasasi memutus memperberat hukuman Zulfan jadi 15 tahun penjara, denda 1 miliar subsider enam bulan penjara dengan uang pengganti Rp 796,38 juta.
Sebelumnya, perkara dengan terdakwa Zulfan Lubis diputus di Pengadilan Tipikor Jakarta. Majelis hakim pengadilan tingkat pertama ini, memvonis Zulfan penjara empat tahun dan denda Rp 250 juta, subsider tiga bulan kurungan. Pada tingkat banding, majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta meningkatkan hukuman jadi tujuh tahun penjara, denda Rp 400 juta, subsider empat bulan penjara.
Artidjo menambahkan, majelis kasasi dengan anggota MS Lumme dan M Askin juga telah menjatuhkan vonis untuk terdakwa bekas Direktur Keuangan Askrindo Rene Setiawan dengan hukuman 15 tahun penjara. Rene dianggap terbukti secara bersama-sama dengan Zulfan menyalahgunakan kewenangan dalam mencairkan dana Askrindo untuk investasi.
Soalnya, beber hakim, wujud investasi yang dilakukan Askrindo baik berupa obligasi maupun reksadana tidak jelas. Atas hal itu, hakim memutus, penyimpangan oleh terdakwa secara bersama-sama mengakibatkan kerugian negara Rp 422 miliar.
Artidjo menggarisbawahi, tindakan terdakwa Zulfan dan Rene terbukti melanggar dakwaan primer, yaitu Pasal 2 ayat (1) huruf a juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP, dan dakwaan subsidair melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP.
Kilas Balik
Bos Tranka Kabel Juga Kena 15 Tahun Penjara
Mahkamah Agung (MA) memperberat vonis bagi terdakwa kasus pembobolan dana PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo), bos PT Tranka Kabel Umar Zen menjadi 15 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar.
Sebelum MA menolak kasasi Umar, pada tingkat banding, majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memvonis Umar 11 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsidair enam bulan kurungan serta uang pengganti Rp 62,5 miliar subsider tiga tahun penjara.
Sedangkan di tingkat pertama, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Umar 5 tahun penjara, denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan, uang pengganti Rp 62,5 miliar subsider 2 tahun 6 bulan penjara.
Dalam memori kasasinya, Umar bersikukuh, dana itu tidak digunakan untuk kepentingan pribadi maupun perusahaannya. Dana kredit dialirkan kepada PT Vitron, PT Indowan dan PT Multimegah. Dia menolak bila kesalahan penggunaan dana kredit Askrindo menjadi tanggung jawabnya. Semestinya, menurut Umar, dana tersebut ditagih kepada perusahaan yang menjadi jaminan penerima kredit.
Umar pun menolak bila dikategorikan melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Sebab, menurut dia, sejauh ini perusahaannya tetap berupaya mengembalikan dana tersebut. Namun, pembelaan diri Umar itu, tidak begitu saja diterima majelis hakim kasasi.
Majelis hakim kasasi merujuk putusan pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Tipikor Jakarta dan majelis hakim tingkat banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Mereka memutus, tindakan terdakwa masuk kategori memperkaya diri sendiri, serta memperkaya orang atau pihak lain. Majelis hakim kasasi pun memutus, Umar terbukti melakukan korupsi dan pencucian uang.
“Majelis hakim kasasi juga mewajibkan terdakwa membayar uang pengganti Rp 62,5 miliar,” kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur. Kasasi perkara ini, diputus pada 26 September lalu.
Menurut Ridwan, kewajiban membayar uang pengganti tersebut, sesuai jumlah uang yang menurut majelis hakim kasasi, dikorupsi Direktur PT Tranka Kabel Umar Zen yang melibatkan tiga perusahaan koleganya. Ketiga perusahaan tersebut adalah PT Vitron, PT Indowan dan PT Multimegah.
Artidjo Alkostar, salah satu Hakim Agung yang menangani kasasi perkara Umar, menyatakan, putusan diambil setelah majelis kasasi menimbang perkara. Dalam pertimbangannya, menurut Artidjo, majelis kasasi tidak melihat unsur yang bisa meringankan hukuman terhadap Umar.
“Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan membobol Askrindo Rp 62,5 miliar,” tegasnya.
Ridwan menambahkan, dana tersebut digunakan PT Tranka Kabel untuk kepentingan bisnis bersama tiga perusahaan lain. Namun saat jatuh tempo, dana kredit yang semestinya dikembalikan ke PT Askrindo, tidak dibayarkan.
Menurut Ridwan, ketidakmampuan Umar membayar kredit kepada PT Askrindo, memicu perusahaan asuransi milik negara itu menalangi dana yang dikeluarkan melalui PT Bank Mandiri. “Sebagai kompensasinya, Askrindo harus membayar jaminan L/C ke Bank Mandiri,” tandasnya.
Persoalan jadi kian pelik manakala Umar dan koleganya didakwa mempengaruhi oknum PT Askrindo untuk menyalurkan dana senilai Rp 442 miliar melalui jasa keuangan, yaitu manajer investasi. Empat perusahaan pengelola aset yang dijadikan rujukan, yakni PT Jakarta Asset Management, PT Jakarta Investment, PT Reliance Asset Management dan PT Harvestindo Asset Management.
Belakangan, empat perusahaan manajer investasi itu pun tidak dapat mengembalikan dana ke PT Askrindo. Akibatnya, pimpinan dan pemilik PT Jakarta Asset Management, PT Jakarta Investment, PT Reliance Asset Management dan PT Harvestindo Asset Management dijadikan tersangka. Begitu juga oknum-oknum PT Askrindo.
Majelis hakim tingkat pertama hingga tingkat kasasi berpendapat, PT Askrindo yang semestinya menjamin kredit untuk usaha kecil, dilarang menempatkan dana dalam bentuk repurchase agreement (repo), kontrak pengelolaan dana (KPD), obligasi, maupun reksadana. Upaya Askrindo menjadi penjamin kredit melalui Letter of Credit (L/C) untuk PT Tranka Kabel, PT Vitron, PT Indowan dan PT Multimegah di Bank Mandiri pun dinilai menyimpang.
Vonis Berat Jadi Terapi Kejut
Hifdzil Alim, Peneliti Pukat UGM
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada (Pukat UGM) Hifdzil Alim menilai, majelis hakim kasasi yang menjatuhkan vonis berat terhadap terdakwa kasus Askrindo perlu diapresiasi. Hal itu diyakini mampu menjadi semacam terapi kejut bagi pelaku kejahatan korupsi yang masuk kategori extra ordinary crime.
Hifdzil menyatakan, putusan melipatgandakan masa hukuman terdakwa menunjukkan adanya pertimbangan yang benar-benar ekstra. Selain pertimbangan seputar fakta hukum yang ada, sebutnya, hakim memiliki tingkat keberanian yang besar.
Dia menolak mengomentari seputar putusan hakim di tingkat sebelumnya. Dia bersikukuh, beda masa hukuman yang ditetapkan dalam putusan hakim di sini sangat ditentukan oleh pertimbangan hakim. “Setiap putusan punya pertimbangan masing-masing,” katanya.
Kemungkinan besar, lanjut Hifdzil, pertimbangan dan sudut pandang hakim tingkat kasasi dalam memandang perkara ini berbeda dengan tingkat pertama dan kedua.
Perbedan sudut pandang ini pula yang diyakininya dijadikan sebagai pedoman setiap hakim dalam menafsirkan perkara serta menetapkan hukuman.
Lebih jauh, dia menggarisbawahi, putusan hakim kasasi ini dapat pula diartikan bahwa MA tengah berupaya memperbaiki dirinya. Jadi, sambungnya, putusan hakim dalam kasus ini idealnya direspons secara positif.
Dia pun meminta, para pihak yang berperkara untuk menghormati dan menjunjung tinggi putusan yang ada.
“Tunjukkan kepatuhan sebagai warga negara pada hukum. Ini penting untuk dikembangkan sejak sekarang,” katanya.
Menurutnya, ketakpuasan atas putusan hakim di sini, bisa jadi justru menunjukkan rendahnya tingkat kesadaran hukum terdakwa itu sendiri.
Aktor Intelektualnya Juga Diproses Hukum
Eva Kusuma Sundari, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari menilai, ada pertimbangan khusus Hakim-Hakim Agung dalam menambah hukuman. Dia berharap, penambahan masa hukuman bagi terdakwa kasus Askrindo mampu menjadi petunjuk dalam menguak dugaan keterlibatan pihak lain.
“Kasus korupsi ini termasuk perkara besar,” katanya.
Selain nominal dana yang diselewengkan cukup signifikan, kasus ini juga terjadi dalam rentang waktu yang panjang. Artinya, sarat kemungkinan banyak pihak yang terkait perkara ini. Terlebih, sebelum pengusutan kasus ini ditangani penegak hukum juga sempat jadi perhatian otoritas pengawas keuangan seperti Bapepam-LK.
Sinyalemen tersebut, kata Eva, menunjukkan bahwa penyelewengan di sini sangat serius. “Boleh jadi, dilakukan oleh orang-orang atau kelompok yang terorganisir serta menggunakan modus yang profesional,” ucap politisi PDIP ini.
Dia menekankan, fakta yang ada sekarang adalah pelakunya telah disidang. Berat maupun ringannya vonis, semuanya dipasrahkan ke tangan hakim yang menangani perkara.
Dia mengharapkan, yang paling penting dalam setiap pengusutan perkara, bukan semata pada hukuman yang berat saja. Melainkan, pada kemampuan penegak hukum menyingkap seluruh pelaku berikut modus kejahatan yang dilakukannya.
Dengan kemampuan mengungkap hal ini, Eva meyakini, setiap pelaku kejahatan ekonomi profesional sekalipun akan berpikir ulang untuk melakukan kejahatannya.
Dari situ, dapat dipastikan bahwa orang-orang yang ditangkap atau diproses hukum bukan hanya sekelas pelaku lapangan.
“Aktor intelektual dari kasus korupsi di Askrindo dan lain-lainnya pun bisa diproses atau dimintai pertanggungjawaban secara hukum. Hakim-hakim pengadilan tingkat pertama dan kedua idealnya tidak ragu-ragu menjatuhkan vonis berat pada pelaku kejahatan model ini,” tandas Eva. [Harian Rakyat Merdeka]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar