Jpnn
JAKARTA – Dalam
perdagangan pada hari pertama setelah libur Lebaran, rupiah langsung
dihantam dolar Amerika Serikat (USD) hingga terdepresiasi ke level
terlemah sepanjang tahun ini.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus
Martowardojo mengakui, pergerakan rupiah cukup fluktuatif karena baru
sedikit pelaku pasar uang yang aktif dan mayoritas mencari USD sehingga
memicu depresiasi rupiah.
’’Tetapi, sejauh ini masih oke,’’
ujarnya setelah halalbihalal dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di
Istana Negara kemarin (22/7).
Dari data kurs tengah BI berdasar
Jakarta Interbank Spot Dollar Offered Rate (JISDOR), kemarin rupiah
ditutup di posisi 13.368 per USD, melemah 39 poin jika dibandingkan
dengan penutupan hari terakhir sebelum libur Lebaran (15/7) di posisi
13.329 per USD.
Jika dicermati, level 13.368 per USD
tersebut memang merupakan rekor terlemah rupiah sepanjang tahun ini.
Pada pembukaan perdagangan 2 Januari 2015, rupiah berada di level 12.474
per USD, lalu sempat menyentuh level terkuat pada 23 Januari 2015 di
posisi 12.444.
Namun, setelah itu, rupiah terus
tertekan karena perlambatan ekonomi dalam negeri dan isu kenaikan suku
bunga Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed). Rupiah pun menembus level
psikologis 13.000 per USD pada 5 Maret 2015 saat ditutup di level 13.022
per USD.
Rupiah lalu berfluktuasi di kisaran 12.900–13.300 per USD sebelum kemarin ditutup di posisi 13.368 per USD.
Meski rupiah terus tertekan, Agus Marto
tetap berusaha menenangkan pasar. Dia menyebutkan, data-data
makroekonomi Indonesia menunjukkan sinyal positif. Misalnya, inflasi
sepanjang pekan pertama Juli terjaga di kisaran 0,4 persen; neraca
perdagangan surplus; serta defisit transaksi berjalan (CAD) berpotensi
membaik ke kisaran 2,5 persen produk domestik bruto (PDB). ’’Kecuali
pertumbuhan ekonomi yang melambat, data-data lain cukup positif,’’
katanya.
Sayangnya, sinyal buruk datang dari
perekonomian global. Selain pertumbuhan ekonomi global yang dikoreksi
dari 3,39 persen menjadi 3,30 persen, harga komoditas terus menurun
hingga 13 persen.
Guncangan pasar modal Tiongkok awal
bulan ini juga turut memperparah. ’’Soal Fed fund rate (suku bunga acuan
Bank Sentral AS) juga masih menimbulkan ketidakpastian,’’ ucapnya.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza
Adityaswara menambahkan, BI terus memonitor pergerakan nilai tukar
rupiah yang dinilai sudah melemah lebih tajam jika dibandingkan dengan
nilai fundamental ekonomi Indonesia atau sudah undervalue. ’’Karena itu,
BI akan selalu ada di pasar (intervensi, Red),’’ tegasnya.
Bahkan, mantan kepala ekonom Bank
Mandiri dan kepala eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu
menegaskan bahwa posisi rupiah sudah undervalue sejak 2013. Artinya,
dengan fundamental ekonomi Indonesia yang cukup baik, semestinya rupiah
tidak melemah setajam ini. ’’Yang coba kami lakukan adalah menjaga
stabilitas nilai tukar,’’ katanya.
Apalagi, lanjut Mirza, penguatan USD
memang telah menjadi fenomena global sehingga menekan hampir semua mata
uang dunia. Khusus pelemahan setelah libur Lebaran, dia mengungkapkan
bahwa para pelaku pasar tengah menunggu data resmi inflasi Juli, meski
pantauan di lapangan menunjukkan inflasi cukup terkendali.
Data tersebut rencananya dirilis Badan
Pusat Statistik (BPS) awal Agustus nanti. ’’Semoga setelah itu pelaku
pasar lebih tenang,’’ ucapnya. (owi/dyn/c5/kim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar