BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Kamis, 23 Juli 2015

Dipecat, Staf Hakim Agung Minta Uang Ratusan Juta Rupiah untuk Urus Kasus

Andi Saputra - detikNews
Jakarta - Mahkamah Agung (MA) memecat staf hakim agung berinisial Isn KS karena mencatut nama bosnya. Isn mengaku bisa melobi hakim agung guna memenangkan perkara. Namun hal itu bualan belaka karena sang hakim agung memutus dengan independen.

"Ia meminta uang ratusan juta," kata sumber detikcom di lembaga pengadilan, Kamis (23/7/2015).

Dalam melakukan aksinya, Isn bak bermain judi. Jika perkara itu ternyata memang sesuai pesanan, maka ia meminta uang perkara ke 'korban'. Isn berdalih kemenangan itu atas hasil lobinya. Jika perkara kalah, ia tinggal berdalih sebaliknya.

"Ini modus yang klasik, ampuh buat masyarakat yang gaptek," ujarnya.

Menurut data kepaniteraan MA, aksi catut mencatut nama hakim agung bukanlah hal pertama yang terjadi. Panitera MA Soeroso Ono berkali-kali menyatakan jika ada orang yang mengaku-aku staf MA yang bisa mengurus perkara dengan sejumlah uang dipastikan adalah penipu.

"Orang yang mengaku pegawai Mahkamah Agung dan menawarkan jasa untuk mengurus perkara kasasi atau peninjauan kembali, dipastikan penipu", kata Soeroso Ono sebagaimana dilansir website MA.

Penipuan ini dilakukan dengan berbagai modus. Dari yang klasik hingga yang cukup rapi. Salah satunya seperti pelaku mengirim surat ke alamat pihak berperkara menggunakan amplop cokelat, mirip amplop dinas, tapi tidak menggunakan kop surat. Pengiriman surat menggunakan jasa PT Pos Indonesia dengan menggunakan perangko. Padahal, surat dinas tidak menggunakan perangko tempel.

"Bentuk surat sekilas menyerupai surat dinas, menggunakan kop surat, ditandatangani oleh Panitera Muda MA dan dibubuhi stempel. Namun tentu saja, stempel dan tanda tangan tersebut dipalsukan," terang Soeroso.

Isi surat cukup panjang yaitu diawali dengan pernyataan komitmen keterbukaan informasi MA sebagaimana SK KMA 144/KMA/SK/VIII/2007. Selanjutnya dalam isi surat ada permintaan untuk menghubungi nama panitera pengganti melalui nomor telepon seluler yang disebutkan dalam surat palsu tersebut. Apabila, target yang diberikan surat tersebut merespon dengan menghubungi nama yang disebutkan, sang panitera pengganti 'jadi-jadian' akan bertindak seolah-olah panitera pengganti yang menangani perkara tersebut.

"Ia berjanji akan membantu 'mempengaruhi' keputusan majelis sehingga sesuai dengan keinginannya," cerita Soeroso.

Setelah itu, penipuan pun berjalan mulus. Uang masuk ke panitera palsu itu.

Modus terbaru, si penipu akan mengirim dokumen jadwal sidang yang dia buat sendiri. Formatnya menyerupai halaman depan Direktori Putusan. Dokumen ini ditandatangani oleh ketua majelis kasasi/PK dan panitera pengganti.

"Dokumen ini, secara psikologis diharapkan akan mendorong target korban untuk mempercayakan pengurusan perkara kepada sang penipu. Lalu si penipu mulai melancarkan aksinya untuk meminta korban mentransfer sejumlah uang kepada rekening tertentu," tutur Soeroso.

Rekening yang disediakan adalah rekening atas nama panitera pengganti atau hakim agung yang menangani perkara. Nama rekening dibuat mirip dengan nama hakim agung terkait. Modus ini untuk meyakinkan bahwa yang mengurus perkara adalah orang yang menangani perkara yang bersangkutan. Rekening tersebut sesungguhnya milik si penipu. Bagaimana caranya? Pelaku membuat KTP palsu dengan nama mirip pejabat MA, kemudian dengan KTP tersebut ia membuka rekening bank.

Untuk meyakinkan korban, si penipu memberikan dokumen yang dia sebut 'salinan putusan'. Dokumen tersebut mirip cover set Direktori Putusan yang dilengkapi watermark. Dokumen ini juga ditandatangani oleh ketua majelis dan panitera pengganti. Dalam dokumen ini, disebutkan amar singkat putusan tersebut;

"Satu lagi modus cerdik untuk mengelabui target korban adalah rekayasa nomor faks pengirim. Si penipu melakukan setting di mesin faks yaitu logo dan nomor faks. Logo di-custom menjadi MA, sedangkan nomor diganti dengan nomor yang biasa ada di kop surat MA. Dengan modus ini, orang akan terkelabui karena dokumen dikirim oleh nomor resmi lembaga MA," cerita mantan Ketua PN Makassar itu.

Soeroso berharap masyarakat bisa lebih kritis dalam menanggapi komunikasi yang disampaikan oleh pihak yang mengaku pejabat MA. Apalagi jika salah satu modusnya seperti yang dijelaskan di atas, maka hampir bisa dipastikan itu adalah penipuan.

"Jika ada yang telah menjadi korban, diharapkan agar melapor ke pihak kepolisian untuk diproses secara hukum," pungkas Soeroso.   

Tidak ada komentar: