Jakarta (ANTARA News) - Terdakwa kasus dugaan korupsi proyek "bioremediasi" PT Chevron Pasific Indonesia, Bachtiar Abdul Fattah, dijembut tim jaksa saat usai shalat subuh dan tengah berzikir di rumahnya di Jalan Marga Satwa, Cilandak, Jakarta Selatan, Jumat.

"Tim jaksa sudah berada di depan rumah sejak sekitar jam 06.00 (WIB). Scurity yang menyampaikannya kepada saya," kata Nanda, isteri Bachtiar yang ditemui Antara di rumahnya, Jumat sore.

Ketika itu, demikian Nanda, suaminya baru saja selesai menjalankan shalat subuh dan tengah berzikir di dalam rumah.

Beberapa waktu kemudian, kata dia, tim jaksa yang diperkirakan berjumlah lebih dari sepuluh orang itu mengetuk pintu bagian depan dengan cukup keras.

"Saya sempat takut karena tidak ada teman-teman dari Chevron yang ada bersama rombongan itu. Kemudian ketika itu saya mencoba menelepon pengacara," katanya.

Nanda mengaku begitu panik, hingga akhirnya Bachtiar menyarankan isterinya itu untuk tenang dan membuka pintu tersebut.

"Begitu pintu saya buka, orang-orang itu langsung masuk ke dalam rumah sambil menanyakan suami saya. Belum sampai di depan pintu, suami saya sudah diminta untuk ikut bersama rombongan itu," katanya.

Waktu itu, demikian Nanda, tim jaksa tetap ngotot untuk membawa Bachtiar meski tanpa ada pendampingan dari kuasa hukum.

"Saya hanya minta tolong agar saya setidaknya bisa untuk memeluk suami saya sekali saja. Setelah pergi, saya tidak berani keluar rumah, takut dan merasa tidak percaya kondisinya jadi seperti ini," kata Nanda.

Penjemputan secara paksa yang dilakukan pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) itu menurut ibu dengan empat orang anak ini adalah sebuah pelanggaran hak asasi.

"Karena ketika itu, saya meminta mereka untuk menunggu kuasa hukum suami saya datang karena sedang berada di perjalanan. Namun mereka tetap menolak dan membawa suami saya," katanya.

Bachtiar sebelumnya pada tahun 2009 hingga 2011 sempat menjabat sebagai General Manager (GM) Sumatera Light South (SLS) Chevron di Minas, Kabupaten Siak, Riau. Kemudian pada 2011 hingga saat ini, dia menjabat sebagai "Vice President Supply Chain Management" (SCM) pada perusahaan yang sama.

Dia sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka untuk kasus dugaan korupsi proyek pemulihan lahan tercemar limbah minyak di area kerja Chevron di Minas, Riau, namun dinyatakan bebas demi hukum lewat putusan Praperadilan No.38/Prapid/2012/PN.JKT.SEL dan putusan itu telah inkrah.

Namun pihak Kejagung tetap melakukan upaya hukum, dimana Bachtiar dijemput paksa karena dianggap tidak kooperatif saat dipanggil jaksa penyidik.

Sempat diperiksa di Kejagung, lalu dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan, Bactiar akhirnya ditahan selama 20 hari di Rumah Tahanan (Rutan) Cipinang.


Mengganggu Psikologi

Imam Ratrioso selaku konsultan psikologi yang menangani keluarga para terdakwa kasus "bioremediasi" Chevron mengatakan, kondisi psikologi keluarga baik isteri dan anak pascaupaya jemput paksa dan penahanan Bachtiar cukup buruk.

"Kondisi demikian terjadi karena kondisi mereka yang memang berada dalam tekanan hebat. Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengurangi tekanan yang mereka rasakan," katanya.

Dia mengatakan, secara tidak langsung, baik isteri dan anak-anak Bachtiar akan mengalami gangguan psikologis yang tentunya mempengaruhi kebiasaan sehari-harinya.

"Untuk pemulihannya, membutuhkan waktu dan bertahap akan diupayakan dengan memberikan pencerahan-pencerahan," katanya.

Kuasa hukum tersangka, Leonard Arpan Aritonang yang ditemui di Rutan Cipinang saat mendampingi kliennya, mengatakan, pihaknya akan segera mengambil tindakan untuk melindungi hak asasi Bachtiar.

"Karena memang, upaya hukum secara paksa yang dilakukan oleh pihak jaksa dari Kejagung diindikasikan telah melanggar HAM. Karena Bachtiar pada saat itu tidak diperkenankan untuk didampingi kuasa hukumnya," kata dia.

Rudi Hartono, seorang jaksa yang rencananya bakal menjadi Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Jakarta Selatan untuk terdakwa Bachtiar, juga ditemui di Rutan Cipinang, mengatakan, dalam setiap upaya hukum pihaknya akan berusaha maksimal.

"Tidak akan ada upaya memberatkan dengan rekayasa, kami akan menunjukkan semua bukti-bukti dan saksi-saksi yang berkompeten," katanya.

Sebelumnya untuk sejumlah terdakwa lainnya di kasus yang sama, JPU telah menetapkan sebanyak tiga saksi ahli, diantaranya Edison Effendi, Prayitno, dan Bambang Iswanto.

Tiga ahli ini sebelumnya dianggap tim kuasa hukum para terdakwa seperti Widodo, Enda Rumbiyanti, Kukuh Kertasafari serta Ricksy Prematuri selaku Direktur PT Green Planet Indonesia (GPI) dan Herkand bin Ompo selaku Direktur PT Sumigita Jaya (telah divonis bersalah) merupakan saksi ahli yang tidak berkompeten.

Selain tidak memiliki serifikasi khusus sebagai ahli, ketiganya juga dianggap memiliki konflik kepentingan pada kasus tersebut.

Edison Effendi misalnya, sebelumnya terdaftar sebagai kontraktor yang sempat menjalan proyek "bioremediasi" namun gagal. Bahkan dia sempat mengikuti tender berulang kali namun kembali gagal sehingga dikhawatirkan adanya unsur sakit hati dalam setiap ungkapannya di persidangan.

Terlebih menurut sejumlah kuasa hukum terdakwa, saksi ahli Edison juga merupakan pelapor atas kasus tersebut.

Atas tanggapan miring terkait tiga saksi ahli yang dihadirkan itu, jaksa penuntut, Rudi Hartono, menyangkalnya.

Menurut dia, tidak ada bukti-bukti yang menguatkan seorang saksi ahli yang dihadirkan di persidangan terlibat konflik kepentingan atau bahkan pernah mengikuti tender di Chevron.

"Saya rasa tidak ada masalah dengan ketiga saksi ini, dan rasanya kami tidak perlu menambah atau mengurangi saksi ahli yang telah ada saat ini," katanya. (FZR