Andi Saputra - detikNews
Jakarta - Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan
nasabah Victoria Silvia Beltiny terhadap Standard Chartered Bank sebesar
Rp 1 miliar. Sebab Standard Chartered telah memakai jasa debt collector yang menagih utang dengan cara premanisme dan teror.
Kasus
bermula saat warga Bekasi itu mendapat ringkasan kredit tanpa agunan
(KTA) pada 1 Maret 2004 untuk pinjaman Rp 19 juta dengan angsuran Rp 870
ribu per bulan selama 36 kali pembayaran. Karena angsurannya lancar,
Victoria lalu mendapat tawaran kenaikan kredit lagi sebesar Rp 20 juta
pada Juli 2005. Lagi-lagi karena lancar membayar angsuran, kredit lalu
dinaikkan menjadi Rp 41 juta pada 4 Agustus 2008.
Setelah
bertahun-tahun lancar membayar utangnya, Victoria mengalami kesulitan
keuangan pada Mei 2009. Nah, dari sinilah teror mulai dilancarkan pihak
Standard Chartered yang menggandeng perusahaan debt collector.
Diawali dengan Victoria didatangi debt collector Standard Chartered untuk membayar utangnya segera. Lalu dilanjutkan dengan intimidasi, pengancaman, teror dan sebagainya.
Sang
debt collector juga menyebarkan ketidakmampuan Victoria membayar utang
ke teman-teman kantor sehingga Victoria menjadi malu. Para penagih utang
itu juga terus menerus mengirimkan SMS dan menelepon Victoria dengan
mengeluakan kata-kata kasar dan mengirimkan faksimili ke kantor
Victoria.
Tidak tahan dengan intimidasi dan teror tersebut,
Victoria lalu mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
(PN Jaksel). Victoria meminta Standard Chartered memberikan ganti rugi
Rp 5 miliar atas apa yang telah dilakukan kepadanya.
Gayung
bersambut. Pada 15 Juli 2010 PN Jaksel menjatuhkan hukuman kepada
Standard Chartered untuk memberikan ganti rugi Rp 10 juta kepada
Victoria. Tak puas, Victoria banding. Siapa nyana, pada 3 Januari 2012
Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta menaikkan hukuman ganti rugi menjadi Rp
500 juta.
Atas hukuman itu Standard Chartered tidak terima dan mengajukan kasasi.
Tapi bukannya dikabulkan permohonannya, MA malah menaikkan hukuman
kepada bank asing itu menjadi dua kali lipat dari putusan sebelumnya.
"Menghukum
para tergugat secara tanggung renteng membayar ganti rugi kepada
penggugat sebesar Rp 1 miliar," putus MA sebagaimana dilansir website
panitera, Kamis (14/8/2014).
Duduk sebagai ketua majelis Dr
Abdurrahman dengan anggota Syamsul Maarif dan Dr Habibburahman. Dalam
putusan yang diketok pada 3 Oktober 2013 itu Standard Chartered dinilai
tidak profesional dalam menagih kredit.
Lantas, mengapa MA menaikkan hukuman dari Rp 500 juta menjadi Rp 1 miliar?
"Karena
mengutamakan penggunaan pendekatan intimidasi dan premanisme daripada
pendekatan lain yang mendudukkan nasabah sebagai partner bank. Oleh
karena itu adalah layak dan adil apabila Tergugat dijatuhi hukuman untuk
membayar ganti rugi kepada penggugat yang lebih berat," cetus majelis
kasasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar