Nograhany Widhi K - detikNews
tahun lalu, saat euforia pergantian tahun baru belum berlalu, Indonesia
dikejutkan kabar pesawat AdamAir KI574 jatuh di perairan Majene,
Sulawesi Barat. Menjelang pergantian tahun ke 2015, Indonesia dikejutkan
lagi, AirAsia QZ8501 hilang. Ini perbandingan fakta kedua kecelakaan
pesawat itu.
WAKTU HILANG
Adam Air: 1 Januari 2007 pukul 14.07 WIB
AirAsia: 28 Desember 2014 pukul 06.14 WIB
JENIS PESAWAT
Adam Air: Boeing 737-400
AirAsia: Airbus 320-200
KETINGGIAN TERBANG SAAT HILANG
Adam Air: 35 ribu kaki
AirAsia: 32 ribu kaki
KEDALAMAN LAUT LOKASI KECELAKAAN
Adam Air: 2000 meter di Laut Majene Sulbar
AirAsia: 30 meter di Laut Jawa
SERPIHAN PERTAMA DITEMUKAN
Adam Air: 12 hari setelah hilang, 13 Januari 2007. Saat itu ditemukannya
bagian sayap belakang pesawat naas itu di perairan Bojodua,
Mallusetasi, Pare-pare, Sulawesi oleh Bakrie (45), nelayan setempat.
Selain
itu, fiber pembungkus jok, tiga kursi, baterai pelontar dan sebuah
pelampung ditemukan Tim SAR di perairan lepas pantai di Kecamatan
Palanro, Kabupaten Barru sekitar 30 menit perjalanan darat dari Kota
Pare-pare.
AirAsia: 2 hari setelah hilang, 30 Desember 2014. Tim
Basarnas dan TNI AU berhasil mendeteksi sejumlah serpihan dan jasad
penumpang pesawat AirAsia QZ8501 di Laut Jawa sebelah selatan
Kalimantan, di dekat Selat Karimata.
SAKSI PERTAMAAdam Air: nelayan yang saat itu melaut di perairan Majene mendengar ledakan keras.
"Nelayan
yang sedang melaut di perairan Majene mendengar ledakan sangat keras,"
ujar Kepala Penerangan Lanud Hasanuddin Makassar Kapten TNI Mulyadi di
Lanud Hasanuddin, Selasa (2/1/2007).
Menurut Mulyadi, nelayan
itu melapor ke kepolisian setempat. Polisi lalu menghubungi Lanud
Hasanuddin. Lanud Hasanuddin memberangkatkan pesawat Boeing 737-200 pada
pukul 07.30 Wita. Pesawat berawak 12 kru ini akan mencari lokasi Adam
Air di dua lokasi di Majene, Sulawesi Barat, dan Rantepao, Toraja,
Sulawesi Selatan.
AirAsia: nelayan yang melaut dekat Pulau Senggaro ,Nelayan Rahmat
(44) yang berangkat di hari Minggu (28/12) pagi dan pulang Senin (29/12)
siang, mendengar adanya dentuman keras saat berangkat melaut.
"Saya
duga kalau dentuman yang saya dengar kemarin harinya itu adalah pesawat
yang sedang dicari. Saya langsung ke rumah Pak Lurah Desa Kubu untuk
ceritakan itu," tutur Rahmat saat berbagi cerita di Pelabuhan Panglima
Utar, Kumai, Kalimantan Tengah, Rabu (31/12/2014).
Lurah desa
tempat Rahmat tinggal itu langsung menyebarkan informasi dari pria
nelayan warganya itu. Rahmat pun segera diminta datang ke posko utama
evakuasi AirAsia QZ8501 di Lanud Iskandar Pangkalan Bun.
Nelayan
Hartono (36) juga nelayan dan melihat detik-detik AirAsia QZ8501
menghilang. Sama seperti Rahmat, Hartono melaut di hari Minggu (28/12)
kelabu itu. Saat itu cuaca sangat buruk menurut penuturan Hartono yang
melaut di Tanjung Pandan. "Ombak sangat tinggi. Saya tidak berani
terus melaut dan memilih ke pulau. Waktu lihat matahari baru terbit,
saya lihat ada pesawat terbang rendah. Jadi kelihatan besar sekali ke
arah Tanjung Puting," ungkap Hartono pada sebuah dermaga di Pelabuhan
Panglima Utar, Kumai, Kalimantan Tengah, Rabu (31/12/2014).Tak
heran jika hanya pesawat terbang saja, bagi Hartono di wilayah ini sudah
banyak pesawat melintas. Meski kali itu dia melihat pesawat yang
terbang lebih rendah. "Agak lama saya lihat, itu kok agak miring ke kiri
pesawatnya. Habis itu dia belok ke kiri malah ke arah laut," imbuh dia.
BANGKAI PESAWAT TERDETEKSI
Adam Air: 8 Januari
2007 oleh KRI Fatahillah yang dilengkapi sonar mendeteksi benda logam di
perairan Mamuju, Sulbar, di kedalaman 1.500 meter.
24 Januari
2007 USNS Mary Sears juga mendeteksi logam besar yang diduga bangkai
Adam Air di perairan Majene dengan kedalaman 1.800-2.000 di bawah
permukaan laut.
Saat itu dikaji mengangkat benda logam diduga
badan pesawat Adam Air. Namun menurut Ketua KNKT saat itu Setio
Rahardjo, dibutuhkan alat canggih dan biaya besar untuk mengangkatnya,
minimal dibutuhkan dana 1,1 juta dolar AS atau setara Rp 9,9 miliar.
Padahal saat itu untuk operasi SAR saja pemerintah mengeluarkan sekitar
Rp 1,7 miliar-Rp 1,8 miliar per hari yang diambil dari APBN.
"Kita
tergantung dengan negara lain, katakanlah AS. Itu biayanya untuk
mendatangkan alatnya saja 1 juta dolar AS, belum lagi sewa per harinya
100 ribu dolar AS," kata Setio pada Januari 2007 lalu.
Setio
mendapatkan gambaran biaya yang harus dikeluarkan pemerintah setelah
berbicara dengan NTSB, KNKT-nya Amerika. Bila ada pengangkatan bawah
laut harus ada alat crane dan ROV alias remote operator vehicle.
AirAsia:
Selasa 30 Desember 2014, Komandan Gugus Keamanan Laut Barat
(Danguskamlabar) yang bertugas sebagai Komandan SAR Laut, Laksma Abdul
Rasyid di atas KRI Banda Aceh kepada wartawan, Rabu (31/12/2014). Pada
Selasa (30/12) pukul 20.35 WIB, KRI Bung Tomo menemukan kontak sonar.
"Diduga bangkai kapal AirAsia, di lokasi dekat dengan penemuan mayat," jelas Abdul Rasyid.
BLACK BOX DIANGKAT
Adam
Air: Flight Data Recorder (FDR) berhasil diangkat pukul 12.29 WIB
tanggal 27 Agustus 2007 di kedalaman 2.000 meter. Sedangkan Cockpit
Voice Recorder (CVR) ditemukan pukul 10.00 WIB tanggal 28 Agustus di
kedalaman 1.900 meter. Jarak antara FDR dengan CVR di bawah laut sekitar
1.400 meter atau mengalami pergeseran 21 meter. Menurut Menhub
saat itu, Jusman Syafii Djamal, biaya untuk pengangkatan kotak hitam ini
diperkirakan 3 juta dolar AS atau Rp 28,2 miliar. Biaya tersebut
dikeluarkan untuk mendatangkan kapal khusus berbendera Cyprus dan robot
ROV dari Phoenix, AS, yang bisa dioperasikan di bawah laut. AirAsia: masih dicari
JUMLAH JASAD DITEMUKAN
Adam
Air: nihil. Jumlah penumpang terdiri dari 96 orang yang terdiri dari 85
orang dewasa, 7 anak-anak, 5 balita, 4 awak kabin serta pilot dan
kopilotnya tak ada yang ditemukan alias nihil.
AirAsia: hingga artikel ini diturunkan, Basarnas mengkonfirmasikan 9
jasad ditemukan dari total penumpang 162 orang terdiri dari 137 orang
dewasa, 17 anak-anak, 1 balita dan 7 kru kabin serta pilot-kopilot.
LAPORAN KECELAKAAN KNKT
Adam Air: dirilis 25 Maret 2008 atau 1 tahun 2 bulan sejak tanggal kecelakaan.
Saat
terbang di ketinggian 35 ribu kaki, posisi autopilot adalah on. Untuk
mempertahankan sayap pesawat tidak miring, autopilot menahan posisi stir
kemudi aileron(kemudi guling) 5 derajat ke kiri.
Namun pilot
melihat posisi IRS di kiri dan kanan tidak sama, alias menyimpang. Lalu
kru memutuskan memindahkan IRS kanan dari posisi NAV (navigation) ke
posisi ATT (attitude). Hal semacam ini biasa dilakukan saat di darat.
Tetapi autopilot malah jadi off atau disengaged. Pesawat pun perlahan
miring ke kanan. Tet... Tet... Tet... Terdengar alarm peringatan
autopilot mati di ruang kokpit. Tapi tak lama bunyi itu menghilang,
diduga tidak sengaja dimatikan oleh pilot dan kopilotnya. Perhatian
mereka berdua terfokus untuk mengoreksi IRS. "Karena autopilot
mati, seharusnya dikemudikan secara manual oleh pilot. Namun mereka
tidak sadar kalau autopilot mati. Jadi pesawat terbang tanpa kendali,"
kata investigator KNKT Mardjono Siswosuwarno dalam jumpa pers 25 Maret
2008 lalu.
"Bila IRS bermasalah, pesawat masih bisa terbang. Apabila alat ini
bermasalah, maka sebaiknya tidak usah diotak-atik dan menghubungi tower
bandara," imbuh Mardjono. Tiba-tiba terdengar "bank angle"
sebanyak 3 kali, yang merupakan peringatan bahwa pesawat telah miring ke
kanan melewati 35 derajat. Ketika bank angle 100 derajat dengan pitch
attitude mendekati 60 derajat nose down, pilot tidak berusaha
memiringkan pesawat ke sisi sebaliknya untuk menyeimbangkan. Tidak
terdapat tanda-tanda kedua pilot dapat mengendalikan pesawat secara
tepat dan seksama sesudah peringatan bank angle berbunyi. KNKT menyebut,
kecelakaan terjadi sebagai kombinasi beberapa faktor termasuk kegagalan
kedua pilot dalam intensitas memonitor instrumen penerbangan, khususnya
dalam 2 menit terakhir penerbangan. Burung besi itu pun meluncur
ke bawah dengan kecepatan 330 meter per detik atau sekitar 1.050 km per
jam. Saat itu, pilot baru berusaha memegang kendali pesawat secara
manual. Mereka belum menyadari kemiringan pesawat lantaran
kemiringan terjadi sangat perlahan, yakni 1 derajat per detik. Kepanikan
pun menyergap kedua pilot itu ketika menyadari pesawat miring. "Jangan
dimiringin, jangan dimiringan," teriakan terdengar dari ruang kokpit. Keduanya
sempat membuka quick reference hand book yang tersedia pada chapter 11.
Sayangnya mereka hanya membaca judul tanpa melakukan prosedur yang
tertera dalam buku tersebut. Upaya mengendalikan pesawat
terlambat dilakukan. Bahkan salah satu bagian pesawat patah. Burung besi
itu pun menghunjam ke perairan Majene dengan kecepatan sangat tinggi.
Di dalam air, pesawat itu pecah. Karena berat jenisnya lebih besar
daripada berat jenis air, serpihan pesawat banyak yang tidak mengambang.
AirAsia: masih dalam investigasi KNKT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar