VIVA.co.id - Terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar terus membuat sejumlah industri dalam negeri kewalahan. Sejumlah sektor termasuk industri makanan mulai melakukan langkah efisiensi, diantaranya mengurangi jam kerja karyawan, bahkan beberapa perusahan sudah melakukan PHK.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Heri Gunawan, mengatakan hal ini tak
bisa disangkal lagi bahwa pengelolaan inflasi adalah hal yang sangat
penting dan sentral dalam pencapaian kesejahteraan suatu negara,
termasuk Indonesia.
"Mengapa? Karena ia terkait langsung dengan daya beli masyarakat.
Dan tentu saja, kesejahteraan mereka," kata Heri saat dihubungi, Minggu
27 September 2015.
Ia menambahkan inflasi menjadi standar penentuan tingkat suku bunga
perbankan (SBI). Inflasi yang tinggi akan mendorong tingginya SBI.
Begitu juga sebaliknya, inflasi yang rendah akan mendorong SBI yg
rendah. Secara agregat, efeknya bisa merembes kepada jumlah konsumsi
nasional dan investasi.
Menurut politisi partai Gerindra ini, inflasi yang rendah akan
menjaga daya beli masyarakat, yang kemudian akan memicu konsumsi
nasional secara agregat di tengah perlambatan ekonomi domestik saat ini
(keep buying strategy). Selain itu secara otomatis, SBI menjadi rendah
dan mendorong suku bunga perbankan yang rendah. Ujungnya, investasi bisa
dipacu.
"Sayangnya, inflasi yang kita terkenal kaku. Jadi, meskipun ekonomi
tumbuh di atas 7 persen tapi itu tidak berarti apa-apa. Apalagi pada
kondisi sekarang, ketika ekonomi hanya tumbuh 4,7 persen, tapi, menurut
data BPS, inflasi sudah menyentuh angka 7,18 persen per Agustus 2015
year on year. Angka itu 2 kali lipat dibandingkan tahun lalu yang hanya
3,99 persen. Dan ini mencemaskan. Efeknya bisa kemana-mana," katanya.
Sebelumnya Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPMMI),
Adhi S. Lukman menuturkan, langkah efisiensi yang sudah dilakukan adalah
dengan mengurangi jam kerja para karyawan hingga Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK).
"Pengurangan jam kerja sudah mulai terjadi. Jam lembur dikurangi,
jadi bergilir sekarang. Kalau PHK secara kecil-kecilan sudah terjadi,"
ujar Adhi saat ditemui di kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM), Jakarta, Jumat, 25 September 2015.
Adhi menjelaskan, biaya produksi tinggi karena industri ini
terpaksa tetap melakukan impor bahan baku ditengah melemahnya rupiah.
Ketersediaan bahan baku manufaktur dalam negeri belum mampu memenuhi
kebutuhan. (ren)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar