Andi Saputra - detikNews
Jakarta - Hakim agung Prof Dr Takdir Rahmadi LLM dan anggota
majelisnya menolak kasasi PT Kallista Alam. Alhasil, putusan denda Rp
366 miliar ke pembakar seribu hektare hutan di Aceh itu dikuatkan. Tak
hanya itu, aset tanah dan bangunan PT Kallista Alam juga disita.
Vonis
itu diketok pada 28 Agustus 2015 dalam nomor perkara 651 K/PDT/2015.
Duduk sebagai hakim anggota yaitu hakim agung Dr Nurul Elmiyah dan hakim
agung I Gusti Agung Sumanatha. Siapakah hakim agung Takdir?
Takdir
Rahmadi merupakan hakim agung dari kalangan masyarakat. Sebelum menjadi
hakim agung pada 2009, Takdir merupakan Dekan Fakultas Hukum
Universitas Andalas (Unand), Padang, Sumatera Barat. Di kampus itu, ia
merupakan guru besar untuk hukum lingkungan. Alumnus Unand tahun 1979
ini menyelesaikan pendidikan tertingginya di program doktor Universitas
Airlangga (Unair) Surabaya pada 1997.
Perjuangan membela
keberlangsungan lingkungan tidak hanya dilakukan di dalam kampus, tetapi
juga aktif dalam kegiatan penguatan lembaga swadaya masyarakat di Pusat
Hukum Lingkungan Indonesia (Indonesian Center for Environmental
Law/ICEL).
Usai memakai jubah emas hakim agung, Takdir menjadi
wakil Koordinator Tim Reformasi Kehakiman. Kiprahnya itu mengantarkannya
ke kursi pimpinan MA sebagai Ketua Muda MA bidang Pembinaan pada 2014
lalu.
"Hukum lingkungan Indonesia berkembang selain karena
perkembangan legislasi seperti melalui pengundangan UU Lingkungan Hidup
tahun 1982, UU Lingkungan Hidup tahun 1997 dan UU Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup tahun 2009, juga berkembang melalui
putusan-putusan pengadilan," kata Takdir dalam makalahnya 'Perkembangan
Hukum Lingkungan di Indonesia' yang dikutip detikcom dari website MA,
Senin (14/9/2015).
Dua putusan pengadilan yang dapat dipandang
sebagai putusan-putusan penting (landmark decisions) adalah putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dalam perkara WALHI melawan
PT IIU. Putusan ini kemudian memberikan inspirasi bagi pembuat UU untuk
merumuskan hak gugat organisasi lingkungan hidup ke dalam UU, yaitu
Pasal 38 UU Lingkungan Hidup tahun 1997.
Putusan penting kedua
yaitu putusan PN Garut antara warga melawan Perhutani dalam kasus
longsornya Gunung Mandalawangi pada tahun 2000-an. Perhutani dkk dihukum
membayar Rp 30 miliar kepada warga dan biaya pemuliaan lahan.
"Meskipun
prinsip keberhati-hatian belum masuk ke dalam perundang-undangan
Indonesia pada waktu perkara ini diadili, hakim ternyata telah
menggunakan prinsip tersebut sebagai dasar pertimbangan putusan.
Pemikiran dan pertimbangan hakim dalam kasus ini tidak terlepas dari
fakta bahwa salah seorang majelis hakim di tingkat pertama yang
mengadili pernah mengikuti pelatihan hukum lingkungan yang antara lain
membahas fungsi prinsip-prinsip yang tercantum dalam Deklarasi Rio
sebagai sumber hukum," ujar Takdir yang meraih master dari Universitas
Dalhousie, Kanada, pada 1987.
Komitmennya itu diuji dalam perkara
PT Kallista Alam yang membakar hutan di Aceh pada 2012. Pemerintahan
SBY menggugat PT Kallista Alam Rp 366 miliar, penyitaan aset, larangan
menanam kelapa sawit dan uang paksa per hari. Permintaan ini lalu
dikabulkan PN Meulaboh dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Aceh.
Takdir lalu mengamini putusan itu pada 28 Agustus 2015 lalu.
Kini
ada dua perkara besar yang disodorkan sisa pemerintahan SBY ke MA.
Yaitu pembakaran hutan di Meranti, Riau, oleh PT National Sago Prima
(NSP) dengan tuntutan Rp 1 triliun dan pembalakan hutan oleh PT Merbau
Pelalawan Lestari kurun 2006-2009 dengan tuntutan Rp 16 triliun. Nasib
alam Indonesia kini di ketokan palu MA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar