Jpnn
JAKARTA - Meski sudah
ada secercah harapan perbaikan ekonomi di tahun depan, pemerintah tidak
bisa berleha-leha. Sebab, masih ada pekerjaan berat menanti hingga akhir
tahun ini.
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK)
mengatakan, salah satu hal yang terus dicermati pemerintah saat ini
adalah depresiasi atau pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar
Amerika Serikat (USD).
'Ini yang terus kita upayakan agar
rupiah bisa lebih stabil,'' ujarnya usai rapat dengan dengan Menteri
Keuangan Bambang Brodjonegoro, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus
Martowardojo, dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Muliaman Hadad di kantornya kemarin.
Pemerintah memang patut waspada. Meski
Bank Sentral AS atau The Fed tidak jadi menaikkan suku bunganya, namun
rupanya tekanan terhadap rupiah tak juga reda. Data Jakarta Interbank
Spot Dollar Offered Rate (Jisdor) yang dirilis BI kemarin menunjukkan
rupiah terus melemah hingga 14.486 per USD dari posisi hari sebelumnya
di 14.451 per USD. Ini adalah posisi terlemah sepanjang tahun ini,
bahkan terlemah sejak era krisis 1998 lalu.
Di pasar spot, keperkasaan dolar
terlihat lebih nyata setelah menembus level psikologis 14.500 per USD.
Data Bloomberg menunjukkan, kemarin rupiah ditutup di posisi 14.551 per
USD, melemah 65 poin atau 0,45 persen dibanding sehari sebelumnya.
Tapi, rupiah memang tak melemah sendirian. Sepanjang perdagangan kemarin, mayoritas mata uang di kawasan Asia Pasifik juga terkapar dihajar dolar AS. Pelemahan paling tajam dicatat oleh dolar Taiwan yang merosot 0,8 persen, disusul baht Thailand yang melemah 0,76 persen, ringgit Malaysia 0,75 persen, won Korea 0,38 persen, serta peso Filipina 0,34 persen.
Tapi, rupiah memang tak melemah sendirian. Sepanjang perdagangan kemarin, mayoritas mata uang di kawasan Asia Pasifik juga terkapar dihajar dolar AS. Pelemahan paling tajam dicatat oleh dolar Taiwan yang merosot 0,8 persen, disusul baht Thailand yang melemah 0,76 persen, ringgit Malaysia 0,75 persen, won Korea 0,38 persen, serta peso Filipina 0,34 persen.
Intervensi BI di pasar uang pun rupanya
hanya mampu sedikit meredam pelemahan rupiah. Bahkan, cadangan devisa
sudah mulai terkuras untuk melakukan intervensi. BI kemarin merilis
cadangan devisa periode 21 September 2015 tinggal USD 103 miliar, turun
dari posisi akhir Agustus 2015 yang masih di level USD 105 miliar.
Gubernur BI Agus Martowardojo pun terus
berupaya menenangkan pasar. Dia menyebut, BI akan selalu berada di pasar
untuk melakukan stabilisasi nilai tukar. Tergerusnya cadangan devisa
yang menjadi amunisi untuk intervensi pun dinilainya tidak perlu
dikhawatirkan. ''Kita masih aman,'' katanya.
Menurut mantan dirut Bank Mandiri dan
menteri keuangan itu, sebelumnya Indonesia pernah hanya memiliki
cadangan devisa di bawah USD 100 miliar dan tetap bisa menjaga
stabilitas moneter dengan baik. ''Kondisi saat ini masih bisa
dipahami,'' ucapnya.
Berdasar data BI, pada periode Juni 2013
- Desember 2013, cadangan devisa Indonesia memang di bawah USD 100
miliar. Bahkan pada 31 Juli 2013 cadangan devisa sempat menyebut level
USD 92,7 miliar.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro
menambahkan, pemerintah pun terus berupaya agar cadangan devisa
Indonesia bisa kembali naik. Selain upaya menarik devisa hasil ekspor
agar disimpan di bank dalam negeri, pemerintah juga menyiapkan beberapa
kebijakan untuk meredam impor. ''Kita bekerja bersama-sama menjaga
rupiah,'' ujarnya.
Bambang menampik, rapat dengan Wapres JK
dilakukan karena kondisi cadangan devisa yang sudah kritis akibat
tersedot untuk intervensi menjaga rupiah. Nilai USD 103 miliar, menurut
dia masih aman karena cukup untuk membiayai 6 bulan impor.
''Yang kita lakukan sekarang bagaimana membuat dompet (devisa) nya tebal. Kan lebih enak kalau dompet kita tebal,'' katanya. (ken/owi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar