Malang (ANTARA News) - Direktur Utama (Dirut) Perum LKBN ANTARA Dr Ahmad Mukhlis Yusuf menyatakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen sebagai inisiatif DPR RI jangan sampai melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

"RUU intelijen boleh-boleh saja, tapi aturannya jangan sampai melanggar HAM," katanya ketika menjawab pertanyaan salah seorang peserta seminar bertajuk `Peran Pers Dalam Mengawal Implementasi Keterbukaan Informasi Publik` yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Malang di Malang (15/5).

Menurut Mukhlis, negara membutuhkan payung hukum yang baru untuk mengidentifikasi terhadap bahaya yang mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sebelumnya, katanya, memang sudah ada UU, namun UU itu bukan UU intelijen, melainkan UU Subversif, tetapi UU pada masa itu (Orde Lama) bukan untuk melindungi negara, melainkan UU untuk kepentingan sebuah rezim.

Berbeda dengan RUU Intelijen yang saat ini sedang dibahas di DPR RI. RUU Intelijen yang sekarang ada dua isu pokok yang cukup strategis, yakni terkait penangkapan dan penyadapan.

Sebelumnya, anggota Komisi I DPR RI Dr Nurhayati Ali Assegaf mengungkapkan bahwa pembahasan RUU Intelijen di DPR sudah hampir tuntas, bahkan mendekati final.

"RUU Intelijen yang merupakan inisiatif Dewan (DPR) ini sudah kami serahkan kepada pemerintah dan pemerintah juga sudah mengembalikannya kepada kami, sehingga sinkronisasinya sudah tuntas," tegas politisi Partai Demokrat (PD) itu.

Anggota parlemen dari daerah pemilihan (dapil) V Malang Raya itu berharap RUU Intelijen tersebut segera disahkan menjadi Undang Undang (UU) karena keberadaannya sangat penting bagi negara, sebab intelijen merupakan ujung tombak keamanan nasional.

Ia mengakui, selama ini kinerja intelijen masih lemah dan keberadaan intelijen tidak hanya ada di Badan Intelijen Negara (BIN) saja, sehingga cara kerjanya harus diatur oleh UU, agar tidak selalu terjadi saling lempar tanggung jawab.

Dalam materi seminar tersebut, Mukhlis mengatakan, keterbukaan informasi merupakan prasyarat bagi adanya pers yang merdeka.

Tanpa keterbukaan informasi, pers tidak dapat mencari dan memperoleh informasi yang dibutuhkan masyarakat, sehingga juga tidak dapat menyebarkan informasi yang pada akhirnya sangat merugikan masyarakat.

Namun demikian, katanya, ada beberapa informasi publik yang tidak bisa disebarluaskan demi alasan kepentingan negara. Pembatasan ini bisa dilakukan melalui UU.

Mukhlis menegaskan, tidak semua pejabat dapat membuat pembatasan kebebasan informasi karena tiga alasan, yakni rahasia negara, rahasia bisnis, dan privasi.

"Pembatasan terhadap informasi publik tetap bisa dilakukan (disimpangi) atas nama kepentingan publik," katanya.(*)