Semarang (ANTARA News) - Pakar pendidikan yang juga rektor Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) PGRI Semarang, Muhdi, mengatakan bahwa mahasiswa yang menjadi korban perekrutan gerakan Negara Islam Indonesia (NII) jangan "dihukum".

"Mereka (mahasiswa, red.) ini kan menjadi korban, perlu didampingi, misalnya psikolog dan agamawan. Kita tidak boleh `menghukum` mereka," katanya di Semarang, Rabu, menanggapi maraknya perekrutan anggota NII di kampus-kampus.

Menurut dia, mahasiswa yang terpengaruh oleh gerakan NII biasanya mereka yang memiliki sifat penyendiri dan "mengasingkan diri" dari aktivitas kawan-kawannya, namun sebenarnya mereka membutuhkan perhatian.

Kesempatan ini, kata dia, kemudian digunakan oleh orang-orang yang memiliki maksud tertentu dengan memberikan perhatian dan bersikap baik agar dipercaya, sebab selama ini memang tidak ada yang memerhatikan mereka.

"Akhirnya, para mahasiswa penyendiri ini memercayai ajakan pihak-pihak tertentu itu, seperti gerakan NII yang kemudian `mencuci otak` dan merekrut mereka menjadi bagian dari gerakan itu," katanya.

Namun, kata dia, kalau pribadi dan karakter seseorang kuat sebenarnya tidak akan mudah untuk terpengaruh gerakan semacam itu sehingga lembaga pendidikan perlu menanamkan pendidikan karakter bagi peserta didiknya.

"Kalau kami (IKIP PGRI Semarang, red.) mencoba dengan memberikan pelatihan dan pendidikan karakter pada mahasiswa, terutama mahasiswa baru. Setidaknya bisa mengingatkan mereka terhadap tujuan hidup," katanya.

Ia menjelaskan pendidikan karakter yang diberikan bisa membantu mengingatkan tujuan mereka, seperti untuk apa dan mengapa mereka ada, agar tidak mudah goyah dengan berbagai permasalahan yang terjadi.

Selain itu, kata dia, peran orang tua dalam mengawasi anak-anaknya juga sangat penting, karena banyak orang tua yang "melepas begitu saja" anaknya setelah berkuliah dengan anggapan mereka sudah dewasa.

"Apalagi, orang tua yang anaknya berkuliah di luar daerah dan tinggal di indekos. Pengawasan yang dimaksud sebenarnya bukan pengawasan secara berlebihant, namun setidaknya menjaga komunikasi," kata Sekretaris Umum PGRI Jateng itu.

Dengan jalinan komunikasi yang intens, kata dia, orang tua sebenarnya mudah mendeteksi jika terjadi perubahan sikap anaknya, misalnya dulu sering berkomunikasi, namun akhir-akhir ini jarang menelepon.

"Ini merupakan salah satu cara untuk mengantisipasi terjeratnya mahasiswa dalam gerakan semacam itu, termasuk NII. Orang tua tidak boleh langsung `melepas` anaknya begitu saja," kata Muhdi.