RMOL.Larangan lewat truk berat lewat tol dalam kota Jakarta menimbulkan berbagai reaksi. Pengusaha ekspor impor mengaku belum merasakan kerugian. Hanya Organda yang mengaku merugi Rp 3 miliar per hari.
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Djimanto meyakinkan, penerapan kebijakan larangan truk masuk tol dalam kota tidak akan mengganggu dunia usaha, termasuk ekspor impor. Kecuali, jika kebijakan tersebut diterapkan secara mendadak, maka akan mengganggu ekspor dan impor.
“Jika jauh hari sebelumnya diumumkan dan dirundingkan secara bersama oleh pihak-pihak yang bersangkutan, maka jadwal keluar dan masuknya kapal pun akan disesuaikan di pelabuhan,” katanya saat dihubungi Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin.
Namun, dia mengakui, ada pengusaha yang dirugikan dan diuntungkan dengan kebijakan yang mulai diterapkan awal Mei lalu.
Kepala Humas Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II Hambar Wiyadi menyatakan, angka bongkar-muat normal lahan terpakai seharusnya di bawah 70 yard occupancy ratio (YOR). “Sekarang sudah di atas 80 YOR,” katanya, belum lama ini.
Catatan YOR di lapangan impor dua hari lalu menunjukkan, angka 88 persen dan di lapangan ekspor 73 persen. Bila dibandingkan dengan YOR bulan lalu, di lapangan impor dan ekspor masing-masing hanya 70 persen dan 50 persen. Namun, penumpukan belum sampai mengakibatkan kapal menunggu untuk bongkar-muat barang ekspor impor.
Penumpukan ini, kata Hambar, juga sudah mencapai tahap darurat. Sebab, semakin tinggi tingkat YOR, semakin sulit barang keluar dan masuk kapal. “Walhasil, truk pun sulit melintas. Saya khawatir, bila penumpukan barang berlanjut, dapat mengancam arus ekspor-impor,” katanya.
Menanggapi polemik ini, Sekretaris Umum Asosiasi Perusahaan Barang Muat Indonesia (APBMI) Arlen Sitompul memin-ta agar kebijakan ini dilihat dari dua sisi. Yakni,demi kepentingan publik dan pelayanan serta program pencitraan pemerintah. Namun, harus didukung dengan infrastruktur yang memadai.
“Kita setuju untuk kepentingan yang lebih besar. Tetapi jika truk-truk tersebut berhenti selama 17 jam dan beroperasi hanya tujuh jam tidak tepat, harus dibalik,” ujarnya ketika dihubungi Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, pelabuhan merupakan pintu gerbang barang modal untuk pembangunan ekonomi Indonesia hingga 90 persen. Artinya, ada kegiatan ekspor dan impor serta domestik di pelabuhan. “Tetapi apakah sudah didukung dengan infrastruktur yang memadai? Tidak hanya akses jalan raya, listrik, air dan yang berkaitan dengan struktur teknis, tetapi pada kesiapan-kesiapan yang bekenaan dengan pelayanan publik lainnya,” jelasnya.
Arlen yang juga anggota Kadin Komite Perhubungan itu menegaskan, sejauh ini rencana tersebut tidak mengganggu ekspor dan impor. Namun, hal ini berpengaruh terhadap pendapatan pengusaha karena jam kerja yang hanya tujuh jam dan berhenti hingga 17 jam.
Dia mencontohkan kebijakan seperti ini pernah diterapkan di London, Inggris. Di kota tersebut, truk tidak boleh masuk kota pada siang hari, tetapi negara tersebut sudah mempersiapkan infrastruktur sebelumnya, seperti kereta api maupun transportasi sungai.
“Tetapi kalau kita, selain truknya yang jauh dari memadai, dicoba dulu lah selama tiga bulan. Kalau dikatakan mempengaruhi ekspo-impor itu berlebihan karena truk-truk yang beroperasi saat ini kurang memadai dan harus diremajakan. Sebab, dari 100 truk, hanya 5-7 truk saja yang memadai. Kalau Organda mau mogok itu keliru, karena bukan model demokrasi,” kritiknya.
Kepala Unit Angkutan Khusus Pelabuhan Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta Gemilang Tarigan memperkirakan, potensi kerugian per hari para anggota organisasi bakal mencapai Rp 3 miliar.
“Jika pembatasan truk berlanjut hingga 10 Juni, kerugian diprediksi bisa membengkak hingga Rp 90 miliar,” katanya. [RM]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar