BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Senin, 09 Mei 2011

Simetriskah Studi Banding Vs Legislasi DPR?

INILAH.COM, Jakarta - Setiap masa reses, DPR dapat dipastikan melakukan studi banding ke luar negeri (LN). Agenda tersebut dimaksudkan dalam rangka penyusunan UU. Adakah korelasi kunjungan ke LN dengan hasil produk legislasi DPR?
Masa reses DPR yang dimulai sejak 8 April hingga 8 Mei 2011 ini telah berakhir. Masa reses yang dimanfaatkan untuk kunjungan dengan konstituen serta komisi di DPR, juga dimanfaatkan untuk melakukan kunjungan ke luar negeri alias studi banding. Tujuan studi banding tersebut ditujukan untuk penyusunan UU.
Masa reses yang sekitar sebulan ini, sedikitnya empat alat kelengkapan DPR melakukan kunjungan ke luar negeri. Mereka adalah Komisi I DPR ke Amerika Serikat, Turki, Rusia, Prancis, dan Spanyol, Komisi X ke Spanyol, China, dan Australia, Komisi II ke India, serta Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) ke Inggris dan Amerika Serikat.
Berbagai kunjungan ke luar negeri tersebut ditujukan dalam rangka penyusunan berbagai UU. Seperti Komisi I saat ini tengah membahas RUU Intelejen, Komisi II membahas RUU Kependudukan, dan lainnya.
Direktur Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri menyebutkan ada dua hal dalam merepons kunjungan anggota DPR ke luar negeri dalam rangka studi banding terkait penyusunan UU.
"Ada produk legislasi yang menurut tata tertib dilakukan selama dua masa sidang, dilakukan studi banding dan selesai. Contohnya RUU Akuntan Publik," ujarnya kepada INILAH.COM di Jakarta, Minggu (8/5/2011).
Namun, Ronald mencatat, studi banding DPR ke luar negeri dilakukan di babak akhir pembahasan RUU. Padahal, seharusnya jika memang studi banding ditujukan untuk mencari data dilakukan saat penyusunan naskah akademik. "Studi banding perlu jika dilakukan saat penyusunan naskah akademik dan rancangan awal RUU. Itu pun yang berlaku bagi UU yang diusulkan DPR," katanya.
Namun dalam catatan PSHK, dari serangkaian studi banding ke luar negeri, mayoritas dilakukan di babak akhir pembahasan RUU. "Padahal di pembahasan akhir RUU berbicara pada level politik seperti keberpihakan pada publik. Bukan lagi urusan teknis seperti mengumpulkan bahan," cetusnya.
Kendati demikian, Ronald mencatat ada juga proses studi banding ideal dilakukan oleh DPR. Dia menyebut, studi banding ke Inggris dan Amerika Serikat cukup penting terkait dengan penyusunan RUU Akuntan Publik.
Selain itu, kunjungan Komisi I ke luar negeri terkait penyusunan UU Intelejen juga dipandang ideal karena dilakukan saat penyusunan naskah akademik. "Namun mayoritas tidak sepadan antara kunjungan luar negeri dengan efektifitas penyusunan UU," kritiknya.
Dia menyebutkan, memang harus ada upaya efisiensi dalam melakukan kunjungan ke luar negeri. Menurut dia, kesan sekadar menghabiskan anggaran serta pelesiran justru lebih menonjol dilakukan oleh DPR.
Dalam catatan PSHK selama masa sidang III 2010/2011, DPR baru bisa menyelesaikan pembahasan 20 UU. Pencapaian tersebut jelas di luar target sebelumnya. Dalam catatan PSHK, lemahnya kinerja legislasi DPR disebabkan tidak adanya kolaborasi dengan baik saat pengaturan jadwal dan konsisten dalam mempersiapkan bahan-bahan utama pembahasan rancangan undang-undang seperti naskah akademik, naskah RUU, DIM, atau penerbitan Surat Presiden (Surpres).
Di samping itu, PSHK juga mencatat, seharusnya Fraksi di DPR mendelegasikan anggotanya dalam pembahasan sebuah RUU disesuaikan dengan beban kerja dan penguasaan atas substansi. "Langkah ini diharapkan lebih menjamin kontinuitas dan memperlancar proses pembicaraan di setiap alat kelengkapan yang bertugas menyusun dan membahas rancangan undang-undang," ujarnya.
Dihubungi terpisah, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Ignatius Muljono mengakui kunjungan DPR ke luar negeri memang tidak terkait dengan produktivitas legislasi DPR. "Tidak ada kaitannya antara produktivitas dengan kunjungan ke luar negeri," akunya melalui saluran telepon.
Hanya saja, politikus Partai Demokrat ini mengaku, terkait materi substansi di sebuah RUU terdapat persoalan yang memang membutuhkan kunjungan langsung ke negara yang telah menerapkan UU yang sama serta penerapannya di lapangan. "Langkah ini dilakukan karena antara DPR dan pemerintah tidak mencapai titik temu dalam sebuah pembahasan," ujarnya.
Kendati demikian, purnawirawan tentara ini mengakui memang ke depan studi banding perlu dilakukan secara efektif. Pihaknya tengah mengusulkan ke pimpinan DPR untuk melakukan pola korespondensi dengan pihak Kedutaan Besar negara yang menjadi sasaran studi banding untuk mencari bahan terkait sebuah RUU. "Nanti pihak Dubes kita bisa menjelaskan di hadapan anggota DPR terkait data-data yang didapat di negara yang dimaksud," paparnya.
Ignatius menyebutkan sejatinya kuantitas kunjungan ke luar negeri DPR cukup sedikit dibandingkan jumlah RUU inisiatif DPR. "Jadi tidak semua RUU selalu ke luar negeri. Kita hanya ada 12 RUU yang dijadwalkan kunjungan ke luar negeri dari 36 RUU inisiatif DPR," cetusnya. [mdr]

Tidak ada komentar: