VIVAnews -
Keberadaan Suku Anak Dalam yang masih mendiami empat kawasan hutan
konservasi di Jambi menjadi perhatian Kuntoro Mangkusubroto, Ketua
Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation). Kuntoro meminta pengelolaan hutan harus memperhatikan suku-suku terasing yang ada.
"Yang paling penting adalah pengentasan kemiskinan, pengelolaan hutan yang baik serta komunitas suku terasing. Ini harus menjadi satu kesatuan," kata Kuntoro Mangkusubroto di Jambi.
Kuntoro mengaku sengaja datang ke Jambi untuk mengetahui sejauh mana pengelolaan hutan yang ada. Kuntoro ingin mengetahui kondisi sebenarnya dari informasi yang tidak hanya disampaikan pemerintah daerah namun beberapa organisasi yang ada. Khususnya menyangkut rencana REDD+ ke depan.
"Bila ada konsesi hutan oleh perusahaan dianggap bisa merusak ekosistem yang ada, meski secara aturan sudah benar. Saya siap merekomendasikan ke Kementerian Kehutanan agar ada peninjauan ulang asal itu jelas," ujarnya lagi. "Bagi saya, berbicara REDD+ erat kaitannya dengan karbon dan emisi."
Menurut Kuntoro, pengelolaan hutan harus melihat jangka panjang. Kondisi Suku Anak Dalam di Jambi juga harus benar-benar diperhatikan.
Untuk itu, Kuntoro berharap agar organisasi lingkungan di Jambi benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik, khususnya pada pengawasan dan benar benar jelas tujuannya. Kerjasama dengan pemerintah daerah juga diharapkan lebih erat demi penyusunan kerangka wilayah untuk masa depan yang lebih baik.
Bahkan ia mengatakan, munculnya konflik lahan dan hutan di hampir terjadi di seluruh daerah di Indonesia merupakan warisan pengelolaan wilayah pemerintah terdahulu. Kondisi itu perlu dilakukan perbaikan.
Direktur Eksekutif Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Jambi, Rakhmad Hidayat mengusulkan kawasan Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba) sekitar 161 ribu hektar di Kabupaten Bungo bisa ditetapkan menjadi kawasan ekosistem pembelajaran mitigasi perubahan iklim.
"Sistem keberagaman wilayah dan ekologi di Bujang Raba sangat mendukung dan sudah kami lakukan riset," kata dia.
Di dalam kawasan itu, kata dia, terdapat berbagai model pengelolaan hutan mulai dari hutan tanaman industri (HTI), hutan desa dan hutan adat yang dikelola masyarat, taman nasional. "Jadi tidak hanya sekedar penamaan. Apalagi di dalam ekosistem Bujang Raba juga didiami sedikitnya 200 jiwa warga Suku Anak Dalam," ujar Rakhmad.
"Yang paling penting adalah pengentasan kemiskinan, pengelolaan hutan yang baik serta komunitas suku terasing. Ini harus menjadi satu kesatuan," kata Kuntoro Mangkusubroto di Jambi.
Kuntoro mengaku sengaja datang ke Jambi untuk mengetahui sejauh mana pengelolaan hutan yang ada. Kuntoro ingin mengetahui kondisi sebenarnya dari informasi yang tidak hanya disampaikan pemerintah daerah namun beberapa organisasi yang ada. Khususnya menyangkut rencana REDD+ ke depan.
"Bila ada konsesi hutan oleh perusahaan dianggap bisa merusak ekosistem yang ada, meski secara aturan sudah benar. Saya siap merekomendasikan ke Kementerian Kehutanan agar ada peninjauan ulang asal itu jelas," ujarnya lagi. "Bagi saya, berbicara REDD+ erat kaitannya dengan karbon dan emisi."
Menurut Kuntoro, pengelolaan hutan harus melihat jangka panjang. Kondisi Suku Anak Dalam di Jambi juga harus benar-benar diperhatikan.
Untuk itu, Kuntoro berharap agar organisasi lingkungan di Jambi benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik, khususnya pada pengawasan dan benar benar jelas tujuannya. Kerjasama dengan pemerintah daerah juga diharapkan lebih erat demi penyusunan kerangka wilayah untuk masa depan yang lebih baik.
Bahkan ia mengatakan, munculnya konflik lahan dan hutan di hampir terjadi di seluruh daerah di Indonesia merupakan warisan pengelolaan wilayah pemerintah terdahulu. Kondisi itu perlu dilakukan perbaikan.
Direktur Eksekutif Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Jambi, Rakhmad Hidayat mengusulkan kawasan Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba) sekitar 161 ribu hektar di Kabupaten Bungo bisa ditetapkan menjadi kawasan ekosistem pembelajaran mitigasi perubahan iklim.
"Sistem keberagaman wilayah dan ekologi di Bujang Raba sangat mendukung dan sudah kami lakukan riset," kata dia.
Di dalam kawasan itu, kata dia, terdapat berbagai model pengelolaan hutan mulai dari hutan tanaman industri (HTI), hutan desa dan hutan adat yang dikelola masyarat, taman nasional. "Jadi tidak hanya sekedar penamaan. Apalagi di dalam ekosistem Bujang Raba juga didiami sedikitnya 200 jiwa warga Suku Anak Dalam," ujar Rakhmad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar