Jpnn
JAKARTA-Undang-Undang
Intelijen Negara memang telah disahkan rapat paripurna Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), 11 Oktober 2011 lalu. Namun kontroversinya sampai saat
ini masih terus membayangi. Salah satunya terkait pasal penyadapan dan
besarnya kewenangan yang dimiliki Badan Intelijen Negara (BIN).
"Undang-undang Intelijen rawan disalahgunakan. Keberatan kawan-kawan penggiat hak azasi manusia, lebih pada implementasinya. Terutama soal penyadapan,"kata Manajer Program Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi), Beni Sukadis, di Jakarta, Senin (22/10).
Penyadapan kata Benny, memang tidak bisa dilakukan begitu saja.Tapi harus melewati serangkaian proses perizinan, dimana hal tersebut jelas diatur dalam UU yang dimaksud. "Hanya saja, fungsi intelijen kan seharusnya lebih difokuskan perannya untuk menangkal intervensi negara asing. Tapi UU Intelijen kita, itu terlihat lebih condong pada penguatan intelijen dalam negeri,"katanya.
Hal inilah yang benar-benar sangat dikhawatirkan. Sebagai contoh, Benny memaparkan peran badan intelijen Amerika Serikat, Central Intelligence Agency (CIA). Lembaga ini, sama sekali tidak bisa beroperasi di dalam negeri. Karena tugas intelijen di dalam negeri, ditangani biro penyelidik federal atau biasa disebut Federal Bureau of Investigation (FBI). "Jadi disana, peran intelijen di dalam negeri lebih pada penegakan hukum. CIA itu hanya melakukan penangkapan di luar negeri. Tapi di sini, BIN itu merangkap intelijen dalam dan luar negeri. Sehingga benar-benar sangat powerful,"katanya.
Artinya dengan tidak adanya pembagian tugas dalam dan luar negeri, membuat otoritas kewenangan yang dimiliki BIN kata Benny, begitu besar. "Sehingga itu bisa saja disalahgunakan, misalnya dalam soal penyadapan," katanya. Untuk itu ia meminta, hal ini perlu segera menjadi perhatian bersama.
Namun sebagaimana diketahui, Rabu (10/10) lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak permohonan pengujian 16 pasal dalam Undang-undang (UU) nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, yang dimohonkan sejumlah LSM, pemerhati HAM dan warga masyarakat. Namun atas hal ini, para pemohon berencana akan kembali melakukan uji materi dengan perspektif yang berbeda.(gir/jpnn)
"Undang-undang Intelijen rawan disalahgunakan. Keberatan kawan-kawan penggiat hak azasi manusia, lebih pada implementasinya. Terutama soal penyadapan,"kata Manajer Program Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi), Beni Sukadis, di Jakarta, Senin (22/10).
Penyadapan kata Benny, memang tidak bisa dilakukan begitu saja.Tapi harus melewati serangkaian proses perizinan, dimana hal tersebut jelas diatur dalam UU yang dimaksud. "Hanya saja, fungsi intelijen kan seharusnya lebih difokuskan perannya untuk menangkal intervensi negara asing. Tapi UU Intelijen kita, itu terlihat lebih condong pada penguatan intelijen dalam negeri,"katanya.
Hal inilah yang benar-benar sangat dikhawatirkan. Sebagai contoh, Benny memaparkan peran badan intelijen Amerika Serikat, Central Intelligence Agency (CIA). Lembaga ini, sama sekali tidak bisa beroperasi di dalam negeri. Karena tugas intelijen di dalam negeri, ditangani biro penyelidik federal atau biasa disebut Federal Bureau of Investigation (FBI). "Jadi disana, peran intelijen di dalam negeri lebih pada penegakan hukum. CIA itu hanya melakukan penangkapan di luar negeri. Tapi di sini, BIN itu merangkap intelijen dalam dan luar negeri. Sehingga benar-benar sangat powerful,"katanya.
Artinya dengan tidak adanya pembagian tugas dalam dan luar negeri, membuat otoritas kewenangan yang dimiliki BIN kata Benny, begitu besar. "Sehingga itu bisa saja disalahgunakan, misalnya dalam soal penyadapan," katanya. Untuk itu ia meminta, hal ini perlu segera menjadi perhatian bersama.
Namun sebagaimana diketahui, Rabu (10/10) lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak permohonan pengujian 16 pasal dalam Undang-undang (UU) nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, yang dimohonkan sejumlah LSM, pemerhati HAM dan warga masyarakat. Namun atas hal ini, para pemohon berencana akan kembali melakukan uji materi dengan perspektif yang berbeda.(gir/jpnn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar