Pewarta: Frislidia
Pekanbaru (ANTARA
News) - Sekjen OKI, Eklemuddin Ihsanoglu, mengatakan negara-negara
muslim mendorong toleransi dan kebebasan beragama sebagai implementasi
dari Resolusi 16/18 Dewan HAM PBB.
"Resolusi tersebut adalah sebuah resolusi tentang memerangi
intoleransi, diskriminasi, xenofobia dan kekerasan terhadap seseorang
berbasis pada agama dan keyakinan, yang diusulkan oleh negara-negara OKI
pada tahun 2011," kata Eklemuddin Ihsanoglu dalam surat elektroniknya
yang disampaikan M. Choirul Anam, Wakil Direktur Eksekutif HRWG, dan
yang diterima Antara Riau, Selasa.
Hal itu berkaitan dengan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang
telah menyelenggarakan pertemuan para ahli untuk tindaklanjut
implementasi Resolusi 16/18 Dewan HAM PBB.
Kali ini, adalah pertemuan ketiga, setelah sebelumnya
diselenggarakan di Washington DC, Amerika Serikat (12/2011) dan London,
Inggris (12/2012).
Menurut OKI, Eklemuddin Ihsanoglu dalam statemennya menyatakan
bahwa intoleransi merupakan tantangan terbesar dunia saat ini sehingga
dalam satu dekade ini permasalahan ini pun telah menjadi salah satu
perhatian utama media dan wacana politik.
Konsensus dalam Resolusi 16/18, katanya, yang diakui secara luas
merupakan perkembangan positif. Hal ini menunjukkan bahwa OKI mampu
membentuk kesepakatan dalam isu-isu penting dalam hubungan
internasional.
Dengan demikian, katanya, menyampaikan dalam pembukaan Pertemuan
Ketiga Istanbul Process on the follow-up of Implementation of HRC
Resolution 16/18, di Jenewa.
Pertemuan ini juga dihadiri oleh Ketua Komisi Independen Permanen
HAM OKI (IPHRC), Siti Ruhaini Dzuhayatin. Menurut Ruhaini, Resolusi
16/18 menjadi jembatan bagi komunitas Muslim dan non-Muslim di dunia
untuk membangun peradaban yang toleran.
Ia menambahkan, bahwa keberadaan resolusi ini tidak dapat
dipisahkan dari praktik diskriminasi dan intoleransi yang banyak terjadi
sekarang ini, baik di Eropa dan Amerika terhadap non-Muslim ataupun di
Negara-negara Anggota OKI terhadap minoritas agama ataupun mazhab.
"Resolusi ini yang diusung oleh OKI ini harus dilihat dalam
hubungan resiprositas atau hubungan timbal balik. Artinya, Resolusi ini
dapat mencegah umat Islam di negara-negara non anggota OKI, tetapi di
sisi yang lain resolusi juga melindungi non-muslim di negara-negara
OKI," demikian menurutnya.
Dengan kata lain, "Resolusi ini juga harus digunakan oleh
negara-negara OKI untuk memerangi praktik intoleransi di negara-negara
anggotanya, karena juga intoleransi menjadi tantangan terbesar negara
muslim dewasa ini," imbuhnya.
Bagi Indonesia, Ruhaini menambahkan, bahwa Resolusi 16/18 sangat
relevan dan sejak awal, sebagai anggota negara OKI, Indonesia sangat
mendukung resolusi ini.
Bahkan, menurutnya, Indonesia dapat menjadi contoh bagi negara-negara lain untuk praktik toleransi dan kebebasan beragama.
"Indonesia seharusnya pula menjadikan Resolusi ini sebagai rujukan
dalam membangun toleransi. Beban yang ada di belakang saya sebagai wakil
Indonesia di IPHRC sangat berat, yaitu tradisi Islam yang selalu
identik dengan toleransi, kemajemukan dan ramah, sehingga bila citra
tersebut dirusak dengan praktik intoleransi, diskriminasi dan kekerasan
berlatar belakang agama, justru makin mempersulit kita mengajak negara
lain untuk mencontoh Indonesia," demikian Ruhaini menambahkan dari
Jenewa, Swiss.
Dalam kesempatan lain di Jakarta, Choirul Anam, Wakil Direktur
Eksekutif HRWG, mengatakan, bahwa HRWG mendukung pernyataan Sekjen OKI
dan Ketua IPHRC tersebut untuk mendorong implementasi Resolusi 16/18.
Hal ini karena relevansi Resolusi 16/18 dengan praktik intoleransi
dan kekerasan berbasis agama yang kian meningkat di Indonesia, katanya.
"Untuk itu, Kementerian yang terkait, seperti Kementerian Agama,
Kemenhuk dan HAM serta parlemen, harus pula mendukung terlaksananya
resolusi tersebut di level nasional," katanya.(F011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar