Oleh M Sunyoto
Jakarta (ANTARA
News) - Ada kabar gembira yang sedang ditunggu-tunggu realisasinya oleh
masyarakat luas yang ingin melihat negeri ini bebas dari korupsi yang
menyengsarakan banyak orang.
Kabar itu terkait dengan niat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
memiskinkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin,
yang kini mendekam di penjara karena terbukti sebagai pencuri harta
rakyat.
Metode yang ditempuh KPK untuk memiskinkan Nazaruddin adalah
dengan menerapkan pasal-pasal mengenai tindak pidana pencucian uang
untuk semua uang yang diperolehnya dari tindak korupsi sejumlah proyek
pemerintah dengan menggunakan Grup Permai.
Grup Permai yang memiliki 35 anak perusahaan itu berada di bawah
kontrol Nazaruddin dengan nilai proyek yang tak tanggung-tanggung, lebih
dari Rp6 triliun. Bisa dibayangkan berapa yang bisa dinikmati oleh sang
koruptor dengan nilai proyek semasif itu.
Namun, niat KPK itu tentu tak bisa dengan mudah terealisasikan
karena begitu kompleksnya dan ruwet tali-temali yang berkaitan dengan
kasus-kasus Nazaruddin sehingga Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas sempat
mengatakan bahwa secara teknis menghimpun semua kasus-kasus itu
sangatlah sulit.
Meski demikian, upaya untuk memiskinkan koruptor yang hendak
dilakukan KPK dengan mengawalinya pada terpidana korupsi Nazaruddin
pantas didukung oleh segenap kekuatan antikorupsi. Dukungan itu teramat
penting mengingat masih ada kekuatan-kekuatan yang tak setuju secara
diam-diam jika KPK berhasil memiskinkan para koruptor yang terbukti
melakukan tindak pidana pencucian uang.
Selama ini upaya pemiskinan para koruptor masih menjadi wacana di
media massa belaka. Para koruptor yang rata-rata masih menikmati harta
hasil jarahannya hanya dikenakan denda dalam hitungan ratusan juta
rupiah plus penjara tak lebih dari satu dekade. Padahal, nilai kekayaan
yang mereka kumpulkan dari tindak pidana korupsi bisa mencapai
hitungan puluhan bahkan ratusan miliar.
Sebetulnya, ancaman untuk memiskinkan koruptor masih bisa
dikategorikan terlampau ringan untuk kejahatan yang dampaknya begitu
masif. Mendiang Nurcholish Madjid pernah mengatakan bahwa apa yang
dilakukan Pemerintah China dengan menghukum mati koruptor adalah sebuah
bentuk hukuman yang adil.
Di saat-saat awal reformasi itu, Cak Nur menyodorkan solusi yang
menarik. Untuk korupsi yang dilakukan dimasa lalu, bolehlah ditolerir.
Yang terbukti cukup diminta dengan paksa mengembalikan harta hasil
korupsi itu. Tapi untuk masa yang akan datang, koruptor tak lagi diberi
ampun. Hukuman mati adalah konsekwensi setimpal untuk perbuatan mereka.
Karena kini hukuman mati sudah dianggap oleh kalangan penganjur
hak asasi manusia sebagai hukuman barbar yang harus diakhiri, hukuman
yang cocok bagi koruptor adalah hukuman seumur hidup. Lebih membuat jera
lagi jika hukuman seumur hidup itu dilakukan serentak dengan hukuman
pemiskinan sang koruptor.
Tentunya sifat penjeraan itu akan menjadi lebih dramatis jika
sang koruptor dipenjara di suatu wilayah yang jauh dari perkotaan.
Katakanlah wilayah dengan semacam konsep "tanah pembuangan" yang pernah
dibentuk para kolonialis di era ketika para perintis kemerdekaan RI
pernah mengalami siksa pembuangan itu.
Upaya KPK untuk memiskinkan koruptor tentu akan disiasati lebih
lihai lagi oleh sang koruptor. Mereka akan mengkorup uang rakyat dan
memindah-mindahkan harta mereka dengn lebih canggih lagi karena
cara-cara vulgar yang dilakukan para tersangka atau terdakwa koruptor
saat ini dengan menyembunyikan harta jarahan mereka lewat
perempuan-perempuan simpanan mereka dengan mudah bisa ditelisik dan
dikejar para penegak hukum.
Sampai detik ini, mereka yang terindikasi melakukan tindak korupsi
juga masih banyak yang melakukan aktivitas politik dengan leluasa.
Bahkan bisa mencalonkan diri untuk menjadi anggota legislatif dalam
pemilu mendatang.
Kejahatan berupa tindak pidana korupsi mestinya menghentikan
semua aktivitas politik sang pelaku. Kejahatan korupsi harus
diperlakukan secara beda dari tindak kejahatan lain, yang asumsinya
bahwa hukuman penjara adalah bentuk purifikasi yang menjadikan sang
terpidana bersih kembali untuk menjalankan aktivitas sipil dan
politiknya setelah semua hukuman dijalankan.
Tingkat destruksi tindak kejahatan korupsi berlapis-lapis. Bukan
cuma menyengsarakan banyak orang, terutama mereka yang hidup dalam ranah
sosial ekonomi periferi, tapi juga membiakkan korupsi-korupsi yang lain
sehingga terjalinnya apa yang disebut sebagai budaya korupsi. Ibarat
kanker, korupsi menggurita dan menggerogoti tubuh institusional dan
sosial.
Jika kanker itu dalam bentuk penyakit fisiologis, antitesisnya,
sebelum ditemukan obat ampuh, adalah amputasi. Koruptor pun harus
diperlakukan sebagai tumor ganas yang mesti disingkirkan dari tubuh
sosial. Pilihannya antara lain: pemenjaraan di tanah pembuangan untuk
waktu sepanjang hayat.
Pilihan itu tentu hanya sebatas obsesi utopis sebab realisasinya
terpulang pada kesepakatan wakil rakyat untuk mewujudkan obsesi itu
dalam bentuk legislasi yang bisa dijalankan KPK.
Untuk saat ini, yang paling realistis adalah menunggu hasil kerja
KPK yang kepada publik telah menyatakan tekadnya untuk memiskinkan
terpidana koruptor Muhammad Nazaruddin. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar